Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PENGEMBANGAN ILMU KEISLAMAN MULTIDISIPLINER

 Di dalam suatu perkuliahan program doktor IAIN Sunan Ampel, maka ada salah seorang mahasiswa yang bertanya tentang apakah ilmu keislaman multidisipliner itu dan bagaimana proses pengembangannya ke depan terkait dengan institusi pendidikan tinggi agama Islam? Tentu saja pertanyaan ini pantas untuk dijawab. Sebab hakikatnya bahwa pengembang ilmu-ilmu keislaman multidispliner tidak lain adalah mereka yang sekarang sedang mengambil program doktor yang akan menulis disertasi untuk kepentingan tersebut.

Di institusi pendidikan tinggi Islam, sesungguhnya telah dikembangkan ilmu-ilmu keislaman, yang kiranya dapat dibagi menjadi tiga bidang, yaitu: Ilmu normatif dan Ilmu historik. Pembagian ini tentu saja terkait dengan obyek kajian ilmu keislaman yang memang di satu sisi ada dimensi normativitasnya dan disisi lain ada  dimensi historisitasnya.

Dalam studi yang bercorak normatif, maka akan dilakukan kajian yang lebih bersumber kepada teks-teks agama Islam, misalnya teks hadits, tafsir, fiqih, dan sebagainya. Kajian ini memang menjadikan teks-teks ajaran Islam sebagai sasaran kajiannya. Kemudian didapati kajian yang bercorak historisitas. Kajian ini lebih menjadikan fenomena sosial sebagai sasaran kajiannya. Di sini terdapat ilmu sejarah, sosiologi, antropologi, psikhologi, ilmu hukum dan sebagainya.

Kajian Islam pada kenyataannya memang banyak yang menggunakan studi normativitas. Misalnya, kajian tentang Kufur dalam konsepsi Islam atau Tobat dalam Konsepsi Al-Qur’an, atau Pendidikan Pra Natal dalam Konsepsi Hadits Nabi Muhammad saw, dan sebagainya. Sedangkan dalam kajian historis, maka misalnya dikaji tentang Religi Orang Bukit, Islam Pesisir, Bisnisman Muslim di Jatinom, dan sebagainya.

Di sisi lain, ada kajian-kajian yang diberi label ”Ilmu Keislaman Multidispliner”. Dasar filosopi labeling ini adalah kajian keislaman yang menggunakan berbagai pendekatan seperti ilmu-ilmu sosial dan humaniora dan bahkan sains. Maka di dalam kenyataannya akan didapati kajian yang bercorak teks keislaman tetapi didekati dengan ilmu-ilmu lainnya.

Dalam pembicaraan tentang disiplin ini, maka biasanya satu disiplin menjadi sasaran kajian dan lainnya menjadi pendekatan. Sehingga, teks-teks keislaman menjadi sasaran kajiannya sedangkan ilmu-ilmu sosial dan humaniora menjadi pendekatan atau metodologisnya. Ilmu Al Qur’an, Ilmu Hadits, Ilmu Fiqh dan sebagainya dapat didekati dengan ilmu sosial dan humaniora. Salah satu contoh yang sangat bagus adalah kajian disertasi yang dilakukan oleh Prof. Abdul Jalal, ketika beliau melakukan kajian ”Kuantifikasi ilmu Tafsir”. Kajian perbandingan tafsir yang dilakukannya,  kemudian dianalisis dengan statistik setelah data yang berupa respon para penggunanya didapatkan. Jadi, kajian tafsir ternyata bisa didekati dengan metode ilmu yang positivistik. Contoh lain, misalnya Studi Tafsir al-Qur’an yang dilakukan berdasarkan konstruksi sosial masyarakat Islam. Kajian yang dilakukan oleh Prof. Zaitunah tentang ”Tafsir Kebencian” adalah tentang bagaimana penafsiran yang dilakukan oleh para mufassir yang bertendensi bias jender.  Dalam bidang fiqih, misalnya kajian tentang Konstruksi Sosial Elit Islam tentang Hukuman mati dan sebagainya.

Kajian yang dilakukan oleh mahasiswa program doktor di IAIN Sunan Ampel, lebih banyak nuansa sosial humanioranya ketimbang kajian Ilmu Keislaman Multidisipliner. Mengapa kajian tersebut lebih dianggap sebagai kajian sosial humaniora, sebab banyak kajan yang menjadikan masyarakat Islam sebagai sasaran kajian, sehingga sasaran kajiannya adalah masyarakat Islam sebagaimana masyarakat pada umumnya. Makanya, kajian Al-Qur’an dan Strukturalisme jauh lebih merupakan kajian Ilmu Keislaman Multidisipliner ketimbang Islam Pesisir atau Konstruksi Sosial tentang Pesugihan. Sebabnya adalah kajian al-Qur’an dan Strukturalisme menjadikan Teks Al-Qur’an sebagai sasaran kajian dan menjadikan strukturalisme sebagai pisau pendekatan untuk membedah sasaran kajian tersebut. Demikian pula kajian Fenomenologi Al-Qur’an jauh lebih bercorak kajian Ilmu Keislaman Multidisipliner sebab yang menjadi sasarannya adalah teks al-Qur’an dan fenomenologi sebagai pendekatannya.

Namun demikian, kajian tentang masyarakat Islam bisa saja menjadi bagian dari kajian Ilmu Keislaman multidisipliner sejauh yang dikaji adalah bagaimana masyarakat memahami teks sebagai sesuatu yang disakralkan.

Wallahu a’lam bi al shawab.        

Categories: Opini