MENCINTAI ILMU: BERAGAMA UNTUK MASA DEPAN
MENCINTAI ILMU: BERAGAMA UNTUK MASA DEPAN
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Salah satu yang membahagiakan di dalam kehidupan ini adalah di saat kita bisa tertawa bersama-sama. Tertawa lepas lagi. Hal itu terjadi karena pertemuan dengan sesama jamaah ngaji bahagia. Sebuah komunitas yang berkeinginan menjadikan tersenyum dan tertawa sebagai Solusi kebahagiaan. Jadi, ya ngaji, ya tertawa, ya bahagia. Trilogy yang menjadi visi Komunitas Ngaji Bahagia (KNB) Masjid Al Ihsan.
Kali ini tema yang saya angkat adalah mengenai “cinta terhadap ilmu pengetahuan”. Sebuah tema yang menarik di tengah keinginan untuk belajar ilmu pengetahuan secara lebih luas. Sebuah tema yang saya angkat sesuai dengan Panca Cinta, sebagaimana yang digagas oleh Prof. Dr. Nasaruddin Umar, Menag, di dalam konteks Beragama Berbasis Cinta (BBC). Ngaji ini diselenggarakan pada tanggal 30/09/2025 di Masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency Ketintang Surabaya. Ada tiga hal yang saya sampaikan, yaitu:
Pertama, Islam itu hadir untuk mencerdaskan kehidupan manusia. Bisa dibayangkan bahwa ayat pertama yang turun di Goa Hira yang disampaikan kepada Nabi Muhammad adalah iqra atau bacalah. Secara lebih lanjut, bunyi ayat pertama yang disampaikan oleh Malaikat Jibril kepada Muhammad adalah: “iqra’. Bismi rabbikal ladzi khalaq. Khalaqal insana min ‘alaq, iqra’ warabbukal akramul ladzi ‘allama bil Qalam. Allamal insana ma lam ya’lam”. Muhammad di dalam uzlahnya itu diminta oleh Malaikat Jibril untuk membaca, akan tetapi Muhammad tidak mampu membacanya. Ma ana bi qari’in, saya tidak bisa membacanya. Yang diminta membaca adalah bismi rabbika, bacalah nama Tuhanmu. Jadi jangan dibayangkan Muhammad diberi selembar kertas oleh Malaikat Jibril, lalu Muhammad harus membacanya. Yang diminta untuk membaca adalah Nama Tuhanmu, Nama Allah yang menjadi ilah dan rab atas semua hambanya. Itulah sebabnya Muhammad menyatakan tidak mampu membacanya. Di dalam ayat ini Malaikat Jibril mengajarkan tentang Nama Allah yang Maha Agung yang menjadi sesembahan seluruh alam dan juga Tuhan yang Maha Esa yang menguasai dan memiliki seluruh alam. Untuk menyebut itulah yang Muhammad belum bisa melakukannya.
Membaca adalah pintu untuk memahami, menyadari dan menghayati atas ayat-ayat Tuhan, baik ayat qauliyah maupun ayat kauniyah. Membaca teks Alqur’an dan Hadits dan membaca alam secara keseluruhan. Membaca itu yang disentuh mata atau iqra’ bil aini, lalu membaca dengan pikiran atau iqra’ bir ra’yi dan membaca dengan batin atau hati atau iqra’ bi qalbi. Kedua, Ada tingkatan di dalam konteks iqra’. Yang dilakukan oleh kita setiap hari adalah iqra’ bil aini yaitu dengan membaca Alqur’an dan terjemahannya. Membaca dan memahami sedikit artinya. Ini yang disebut dengan membaca dengan panca indra. Sedangkan bagi para ahli ilmu pengetahuan, maka membacanya dengan pikiran atau membaca melalui penelitian atas alam semesta. Lalu yang ahli batin atau spiritual maka membacanya dengan hati dan perasaan atau bil qalbi.
Melalui bacaan atas alam, maka ada saintis yang kemudian menjadi muslim. Melalui pendekatan rasional, maka kebenaran agama di dalam teks-teksnya dapat dikaji dengan perangkat riset ilmiah. Yang sangat terkenal adalah Maurice Buchaile yang melakukan kajian atas mummi Fir’aun yang di dalam Alqur’an dinyatakan tenggelam di laut, dan terbukti secara empiris bahwa di mulut Fir’aun memang terdapat zat garam yang sangat berlebih dibandingkan dengan manusia pada umumnya. Maka, Buchaile pun masuk Islam. Islam mengajarkan addinu huwal aqlu. La dina liman la aqla lahu. “Agama adalah akal, dan tidak beragama bagi yang tidak berakal”. Orang yang tidak memanfaatkan akalnya dinyatakan sekan-akan tidak beragama.
Membaca dengan batin atau iqra bil qalbi. Membaca dengan hati adalah membaca dengan cara yang mendalam atau membaca dalam dimensi esoteris. Level ini memasuki dunia tasawuf atau membaca dengan ihsan. Kita menyembah Allah dan Allah itu berada di depan kita, seakan-akan kita bermuwajahah atau bertemu dengan Allah. Tentu saja kita menyadari bahwa yang bisa melakukannya hanyalah Nabi Muhammad SAW, sedangkan Nabi lain, misalnya Nabi Musa hanya bisa bercakap-cakap tetapi tidak mampu untuk bertemu dalam satu pertemuan khusus. Tentang Nabi Muhammad SAW itu bertemu dengan badan, jiwa dan rohnya atau rohnya saja, masih menjadi perdebatan di kalangan ahli ilmu kalam. Untuk yang seperti ini, maka dalilnya wallahu a’lam bi al shawab. Tetapi bagi orang-orang khusus, tentu ada yang memiliki pengalaman terbukanya hijab atau penghalang antara hamba dan rabnya. Ada cerita-cerita yang dapat diyakini bahwa ada orang-orang yang diberi ototitas untuk bisa “merasakan” kehadiran Allah di dalam ibadah-ibadahnya.
Ketiga, mencari ilmu adalah kewajiban. “Thalabul ‘ilmi faridhatun ‘ala kulli Muslimin wa muslimatin”, yang artinya: “mencari ilmu merupakan kewajiban atas kaum Muslimin dan kaum muslimat”. Mencari ilmu itu hukumnya wajib secara perseorangan utamanya mencari ilmu agama. Sedangkan untuk mencari ilmu umum itu tergantung kepentingan, bisa dinyatakan sebagai wajib kifayah atau kewajiban atas sebagian saja.
Mencari ilmu bisa dalam bentuk pendidikan formal seperti sekolah, baik di SD, SMP, SMA atau MI, MTs, MA dan sampai PTU dan PTKI. Tetapi juga bisa belajar secara nonformal, misalnya kursus atau lainnya, dan bisa juga secara informal. Yang kita lakukan setiap hari mulai Senin sampai Jum’at, dengan tahsinan dan ceramah agama adalah pendidikan informal. Kita belajar di sini dan kita memahami ilmu agama di sini.
Sungguh suatu kebahagiaan, bahwa di saat usia kita semakin merambat senior, dan kita semakin menyadari tentang pentingnya belajar. Kita sudah mengamalkan iqra, sebagaimana diprintahkan membaca kepada Nabi Muhammad SAW. Kita semua berharap bahwa dengan mencintai ilmu pengetahuan, maka akan menambah amalan ibadah kita, terutama membaca shalawat, sehingga kita akan menjadi sahabatnya Nabi Muhammad SAW.
Wallahu a’lam bi al shawab.
