Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MEMIMPIN DI ERA POLITIK KEPENTINGAN

 

Sesungguhnya setiap pemimpin memiliki kekhasannya sendiri-sendiri. Presiden Indonesia yang pertama, Soekarno,  memiliki kemampuan membangun nasionalisme yang digelorakan melalui pidato-pidato politik yang luar biasa. Beliau yang satu ini, bisa membius para audiennya melalui luncuran kata-kata yang indah, bertenaga, kuat dan agitatif sebagai ciri khas seorang orator. Menurut cerita, hanya HOS Tjokroaminoto yang mampu mengalahkannya dalam urusan berpidato.

Presiden Indonesia yang kedua, memiliki kekhasan dalam konsepsi pembangunan.

Soeharto menuangkan gagasannya dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang merupakan rencana pembangunan jangka menengah, lima tahunan. Meskipun waktunya pendek, Presiden Indonesia ketiga, KH. Abdurrahman Wahid, memiliki konsistensi dalam membangun demokrasi di Indonesia. Beliau mampu memberikan nuansa politik yang agak berbeda dengan mendorong  sipil masuk ke dalam lingkaran kekuasaan yang selama ini menjadi genggaman militer. Sementara Presiden ke enam, Susilo Bambang Yudhoyono, memiliki kekhasan dalam pengambilan keputusan yang sangat hati-hati dan penuh dengan analisis dan perhitungan. Meskipun Beliau berlatar belakang militer akan tetapi juga mampu mendorong demokratisasi secara sangat memadai. Bahkan dewasa ini, Indonesia jauh melebihi beberapa negara lain dalam hal implementasi demokrasi tersebut.

SBY memang berada di dalam tarikan dunia politik yang semakin mengarah kepada artikulasi kepentingan yang sangat kuat. Beliau menghadapi suatu moment yang luar biasa dengan berbagai kasus yang melilit pemerintahannya. Kasus kriminalisasi KPK di awal pemerintahannya dan kemudian kasus politisasi Bank Century yang belum jelas endingnya. Sehingga program seratus hari yang dicanangkannya juga menjadi tidak ada artinya. Program yang sesungguhnya akan menjadi titik tolak dalam membangun Indonesia lima tahun ke depan, ternyata kalah gaungnya dibandingkan dengan demonstrasi yang digalang untuk mengkritisi kepemimpinannya selama seratus hari tersebut.

Dunia politik memang dunia kepentingan. Sehingga siapa memperoleh apa merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam dunia politik. Dalam penentuan Kabinet, misalnya, maka presiden terpilih pasti akan menentukan orang yang dianggapnya mendukung terhadapnya. Dia akan ditentukan dari partai-partai politik mitra koalisi. Maka gemuknya Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II (KIB II) adalah sebagai akibat politik akomodasi terhadap kepentingan partai politik pendukung koalisi. Bisa dilihat bagaimana keterlibatan PKS, PPP, PKB dan lain-lain di dalam tubuh KIB II. Hal ini menggambarkan betapa pendukung politik selalu meminta jatah yang relevan dengan dukungannya.

Oleh karena itu, kita tidak bisa meminta lebih banyak terhadap prestasi yang total dari sesuatu yang dirancang berdasarkan atas pemenuhan kepentingan politik.

Melalui kabinet yang didesain untuk memenuhi janji politik pemimpin, maka seorang pemimpin tidak bisa dengan sesukanya memilih orang. Ada harga yang harus dibayar olehnya. Makanya, di dalam KIB II dijumpai sejumlah menteri yang merupakan representasi partai politik pendukung koalisi. Mereka memang orang terbaik sebagai representasi partai politik, akan tetapi mungkin masih bisa dipertanyakan kualifikasinya dibandingkan dengan lainnya

Di mana ada proses pilihan, maka di situ akan memunculkan dunia tarik menarik kepentingan yang sangat kuat. Ada koalisi, ada  pemenuhan kepentingan, ada pemenuhan kebutuhan dan sebagainya. Semua adalah hasil negosiasi antar berbagai faksi atau golongan atau partai politik yang mengusung kepemimpinan tersebut. Di dalam hal ini, maka yang penting adalah bagaimana pemenuhan kepentingan dimaksud.

Di era kehidupan yang semakin kompetitif dan bercorak materialistis, maka hampir seluruh desain kehidupan juga mengarah kepada dua hal tersebut. Makanya orang menjadi semakin bersemangat untuk berkompetisi dan meningkatkan perolehan materialnya. Di tengah nuansa kehidupan seperti ini, maka dunia kepemimpinan pun terkena imbasnya. Pemimpin tidak memiliki kebebasan untuk menentukan orang yang dianggap terbaik disebabkan oleh koalisi yang dibangun sebelumnya. Seorang pemimpin akan dimintai tanggung jawab moral terhadap dukungan yang selama itu telah diberikan.

Dengan demikian, maka di tengah dunia kepentingan yang sangat menonjol yang menjadi fenomena akhir-akhir ini adalah semakin tidak independennya seorang pemimpin dalam menentukan pilihan orang yang akan membantunya di dalam proses mencapai visi dan misi bagi institusi yang dipimpinnya.

Jadi, memang tidak mudah untuk menempatkan orang sesuai  dengan keahliannya. Right man on the right place lebih benar di dalam teks dan bukan di dalam konteksnya.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini