Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MODEL TWIN TOWERS UNTUK ISLAMIC STUDIES

 Kira-kira dua bulan yang lalu, melalui website IAIN Sunan Ampel, ada seorang dosen IAIN Sunan Ampel yang mempertanyakan tentang rencana pengembangan ilmu-ilmu Islam melalui model twin towers. Di dalam tulisannya itu, dinyatakan bahwa twin towers hanya untuk bangunan fisik IAIN sunan Ampel, bukan untuk membangun keilmuan Islam yang berbasis model twin towers. Maka, tim ICT IAIN Sunan Ampel saya minta untuk mengup load tulisan saya tentang “Membangun Keilmuan Islam Multidisipliner” sebagai jawaban atas tulisan di website tersebut.

Konsep twin towers sesunggguhnya saya ungkapkan ketika saya akan mencalonkan diri sebagai rector IAIN Sunan Ampel, pada bulan Agustus 2008. Pada saat itu saya ingin memberi label terhadap pengembangan Ilmu Keislaman yang khas IAIN Sunan Ampel Surabaya.

Saya agak risau ketika semua UIN di Indonesia sudah membuat ancangan tentang bagaimana pengembangan ilmu-ilmu Keislaman. Melalui Prof. Imam Suprayogo, UIN Malang sudah mendesain pengembangan ilmu keislaman yang diberi label “Pohon Ilmu”, sedangkan UIN Jogyakarta melalui Prof. Amin Abdullah mengembangan kajian ilmu keislaman yang bercorak integrasi dan interkoneksi, Demikian pula yang lain. Dari kerisauan itulah yang kemudian saya membuat ancangan pengembangan ilmu keislaman multidisiplier yang dilabel Twin Towers. Yaitu pengembangan ilmu keislaman yang saling menyapa dengan ilmu-ilmu social dan humaniora bahkan sains.

Mengapa perlu saling menyapa antara ilmu keislaman dengan ilmu social,  humaniora dan sains, sebab menurut keyakinan saya bahwa imu pengetahuan akan dapat berkembang dengan cepat melalui pendekatan bukan pada aspek obyek kajian. Inilah yang kemudian disebut sebagai Ilmu Keislaman Mutidisipliner yang digambarkan sebagaimana menara kembar yang saling berhubungan. Ilmu keislaman yang normative, bisa didekati dengan ilmu-ilmu  deskriptif. Di dalam hal ini, maka ilmu tafsir atau ilmu hadits bisa didekati dengan dunia ilmu pengetahuan deskriptif, sehingga akan menghasilkan jenis sub bidang baru yang disebut, misalnya Al Qur’an dan strukturalisme, Al Qur’an dan penomenologi, dan sebagainya.

Akan tetapi bahwa sebagai ilmu pengetahuan yang memiliki otonominya sendiri, maka dipastikan bahwa masing-masing keilmuan tersebut memiliki corak pengkajian yang tersendiri dan tidak bisa dipaksa untuk menggunakan pendekatan-pendekatan lainnya. Sehingga, misalnya tafsir atau hadits akan tetap bisa dan harus dikaji dengan substansi keilmuannya sendiri tersebut. Jadi, ilmu normative akan memperoleh tempat penyemaian yang tidak kalah subur dengan pengembangan ilmu keislaman yang menggunakan pendekatan keilmuan lainnya.

Ilmu deskriptif akan berkembang secara wajar, demikian pula ilmu normative juga akan berkembang secara wajar. Namun diantara keilmuan tersebut ada suatu ranah yang bisa saling dinegosiasikan. Wilayah negosiasi tersebut yang kemudian disebut sebagai ilmu keislaman multidispliner.

Dengan demikian, ilmu fiqih, ilmu tafsir, ilmu hadits dan sebagainya akan dapat berkembang secara memadai. Antropologi, sosiologi, psikhologi, ilmu politik dan sebagainya akan berkembang secara memadai. Tetapi ilmu-ilmu tersebut bisa saling disapakan atau dikaitkan melalui berbagai pendekatan yang dianggap relevan.

Jadi, twin towers sebagai model penggambaran  pengembangan ilmu keislaman adalah pengembangan tiga matra keilmuan sekaligus, yaitu ilmu deskriptif, ilmu normative dan  ilmu multidisipliner.

Tentu ke depan harus dicari jawaban ontologis dan epistemologis serta aksiologisnya sehingga model ini akan relevan dengan tuntutan eksistensi keilmuan di satu sisi dan dapat diimplementasikan ke dalam bangunan struktur keilmuan yang relevan dengan tuntutan kebutuhan masyarakat.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini