• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

DIAM SEBAGAI TINDAKAN KEARIFAN

DIAM SEBAGAI TINDAKAN KEARIFAN

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Sungguh menarik ceramah yang disampaikan oleh Pak Cholil Uman, Dr, MPdI., yang memberikan ceramah agama di Masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency Ketintang Surabaya. Sebuah ceramah yang sangat menarik dengan tema pembahasan tentang “Diam dalam perspektif ajaran Islam”. Acara ini dilakukan pada Selasa, 06/05/2025, diikuti oleh Komunitas Ngaji Bahagia (KNB) gabungan peserta dari Masjid Ar Raudhah Perumahan Sakura Regency Ketintang Surabaya dan jamaah Masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency. Ceramah Pak Cholil menggunakan referensi Kitab Nashaihul Ibad.

Di dalam ceramahnya ini Pak Cholil mengupas tentang manfaat diam dalam konteks ajaran Islam dan kehidupan manusia, khususnya masyarakat Islam. Ada tiga hal yang akan saya bahas tentang ceramah Pak Cholil dimaksud. Pertama, sebuah hadits Nabi Muhammad SAW memberikan gambaran tentang bagaimana seharusnya akhlak umat Islam di dalam kehidupannya untuk relasi social yang harus dilewatinya. Ternyata “diam” menjadi kata kunci penting di dalam kehidupan. Orang yang diam ternyata memperoleh apresiasi yang sangat tinggi di hadapan Allah SWT. Rasulullah SAW menjelaskan di dalam salah satu haditsnya: “barang siapa beriman kepada Allah dan hari kiamat, hendaknya berbicara yang baik atau lebih baik diam”. Islam mengajarkan agar umat Islam tidak banyak omongnya sehingga banyak kesalahannya. Katsir kalam dalam Bahasa Arab suqiyah, ternyata tidak dikehendaki di dalam ajaran Islam. Umat Islam hendaknya berkata-kata yang baik, jika tidak bisa melakukannya, maka hendaknya diam. Banyak kerja dan bukan banyak kata. Di dalam peribahasa Indonesia dinyatakan: “tong kosong nyaring bunyinya”. Artinya orang yang banyak omong itu menandakan bahwa ilmunya tidak dalam”. Masyaallah.

Kedua, ada sejumlah manfaat “diam” di dalam ajaran Islam, yaitu: diam adalah awal ibadah. Diam itu merupakan awalnya ibadah kepada Allah. Ibadah itu, misalnya shalat tentu yang diperkenankan untuk membaca bacaan yang jahr hanyalah imam saja, sementara itu makmumnya harus berada di dalam nuansa diam. Bayangkan jika di dalam shalat berjamaah lalu, terjadi kesamaan membaca doa dalam keras, maka tentunya akan terjadi crowded. Tentu akan tidak bisa konsentrasi. Ibadah di dalam diam itu untuk membangun konsentrasi di dalam ibadahnya. Konsentrasi atau focus atau khusyu’ merupakan persyaratan agar ibadah diterima oleh Allah. Tanpa kekhusyuan maka ibadah akan menjadi sia-sia.

Tidak hanya di dalam ibadah yang diharuskan untuk berada di dalam konsentrasi penuh, tetapi juga di dalam relasi social. Umat Islam  diminta untuk tidak melakukan Tindakan yang dapat menyebabkan adanya ketidakserasian social, misalnya banyak menggunjing, banyak membulli, dan banyak melakukan kebohongan atas apa yang diucapkan. Lakukan pembicaraan sesuai dengan kepentingannya, sesuai dengan keperluannya. Omong yang penting dan yang penting diomongkan. Bicara yang perlu dan dibicarakan yang perlu. Jika prinsip ini dapat dilakukan, maka keselamatan akan didapatkan. Adanya kesalahpahaman, yang paling banyak diakibatkan karena omongan yang salah. Lalu, diam itu meningkatkan ibadah. Sekali lagi bahwa jika tidak banyak mengumbar omongan, maka dampaknya adalah ibadah kita akan meningkat. Orang yang sudah memasuki dunia ibadah yang sungguh-sungguh, maka akan dapat menghasilkan perilaku yang menghargai orang, yang memanusiakan manusia. Para waliyullah atau walisongo itu adalah orang yang mengajarkan Islam dengan perilaku dan bukan hanya dengan ucapan. Perilakunya menjadi contoh. Itulah sebabnya, Allah mengingatkan di dalam Alqur’an, bahwa: “sebuah dosa bagi seseorang di sisi Allah tentang perkataan yang tidak dilakukannya”. Jadi berdakwah atau menyebarkan ajaran Islam itu akan lebih afdhal dengan kesesuaian antara perkataan dan pernyataan. Masyaallah.

Berikutnya, diam itu seutama-utamanya ibadah. Bahkan dinyatakan bahwa diam itu lebih utama dibandingkan shalat dan puasa. Bagaimana kita memahami pernyataan ini? Diam ternyata menjadi kunci ibadah, shalat dan puasa. Di dalam shalat harus focus dan itu artinya kita memanfaatkan batin dan ucapan yang seharusnya dibaca dengan batin dan pikiran atau hati. Jika kita tidak mampu melakukannya, maka shalat kit aitu akan sia-sia. Khusyu’ adalah persyaratan di dalam ibadah shalat. Demikian pula puasa. Di dalam puasa itu tidak boleh menggunjing, dan yang pasti menggunjing itu dengan ucapan. Tidak ada menggunjing yang dilakukan sendirian, pasti ada kawannya. Puasa itu perisai diri agar kita tidak melakukan Tindakan yang dapat merusak pahala puasa, dan salah satunya adalah menggunjing atau menggosip. Termasuk kala kita menunaikan haji, maka kita juga diminta untuk tidak melakukan gunjingan, berbuat kefasikan dan berdebat yang tidak ada manfaatnya. Jadi diam merupakan Tindakan yang sangat baik.

Kemudian, diam itu perhiasan bagi orang-orang alim. Orang yang berilmu itu orang yang memahami secara mendalam tentang pengetahuannya. Dan yang bersangkutan akan menjaga agar melakukan yang terbaik dengan ilmunya. Mereka akan menempatkan pembicaraan sesuai dengan maqam dan tempatnya. Tidak berbicara dengan ilmunya kecuali dalam keyakinan akan kebenaran apa yang disampaikannya. Mereka akan menyampaikan yang benar dan diyakini kebenarannya.

Ketiga, ajaran tentang diam, sebenarnya merupakan ajaran Islam yang sangat substansial. Nabi Muhammad SAW seakan telah memprediksi akan terdapat  suatu zaman dimana pergunjingan, bullying, gossip justru menjadi komoditas. Zaman itu adalah zaman sekarang, suatu zaman yang banyak hiruk pikuk tentang konten media social. Melalui media social maka terdapat komodifikasi yang luar biasa. Betapa berseliweran di Tengah media social tentang gossip, bergunjing, bullying yang seakan menjadi ruh media social. Bahkan agamapun bisa menjadi komoditas, karena di dalam media social tersebut terjadi proses untuk saling menyalahkan di ruang public.

Sungguh ajaran Islam ini patut menjadi renungan. Jika di masa lalu, mulutmu harimaumu, maka sekarang tanganmu menjadi harimaumu. Inilah realitas social yang sedang kita hadapi dewasa ini.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

Categories: Opini
Comment form currently closed..