JAGA AMAL SHALIH UNTUK JIWA
JAGA AMAL SHALIH UNTUK JIWA
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Lebih dari satu bulan, Komunitas Ngaji Bahagia (KNB) berhenti beraktivitas dalam bentuk pengajian rutin. Puasa tentu menjadi alasan untuk menghentikan sementara ngaji bahagia yang diikuti oleh para jamaah konsisten. Hal itu dilakukan sebab kalau malam sudah ada kuliah tujuh menit atau kultum menjelang shalat tarawih dan kalau pagi pada ngaji One Day One Juz. Alhamdulillah dua acara yaitu malam dan pagi hari tersebut dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan.
Selasa, 08/04/2025 acara ngaji bahagia dimulai lagi. Dan sebagaimana biasa diikuti oleh jamaah yang berkomitmen untuk tersenyum dan tertawa, sambil memperkaya pengetahuan tentang ajaran Islam. Meskipun temanya bervariasi, akan tetapi tetap ada benang merahnya, bahwa yang dikedepankan oleh ngaji bahagia lebih banyak aspek tabsyir atau kemudahan atau kebahagiaan di dalam beragama dan bukan semata-mata tandzir atau kesulitan dan kerumitan dalam beragama. Jadikan beragama secara aktivitas happy dan bukan beragama dengan nafsu kekakuan dan menyulitkan.
Untuk mengawali pengajian ini, maka saya yang menjadi pemantik diskusi. Agak berbeda dengan pengajian di masjid lain yang lebih bercorak monolog, maka pengajian di masjid ini lebih bercorak dialog. Jadi terkadang nara sumber berfungsi mengantarkan diskusi dan para jamaah bisa memberikan penjelasan tambahan. Saya menyampaikan tiga hal, yaitu:
Pertama, kita adalah hamba Allah yang beruntung. Orang yang sudah bisa menyerasikan antara kesalehan ritual dan kesalehan social. Kesalehan ritual tersebut ditandai dengan selama satu bulan penuh kita menjalankan puasa dan melakukan amal kebaikan kepada sesama manusia. Pada bulan yang penuh dengan rahmat dan pengampunan tersebut, kita sudah melakukan hal-hal yang wajib dan juga hal-hal yang sunnah. Kehidupan kita benar-benar full ibadah. Memang harus tetap bekerja akan tetapi kita bersyukur bisa menyeimbangkan antara dunia kerja dengan dunia ibadah.
Selama bulan puasa seluruh keyakinan dan ritual telah kita lakukan. Semua sudah menjadi kelaziman. Tentu yang diharapkan adalah bagaimana sesudahnya. Apa kita masuk dalam kategori yang meningkat, yang biasa saja atau bahkan yang menurun. Ini yang harus menjadi atensi kita semua. Yang diharapkan tentu saja sekurang-kurang sama atau mungkin bahkan bertambah. Bulan Syawal itu maknanya meningkat atau peningkatan. Akan tetapi sekali lagi bahwa ibadah itu adalah kecenderungan jiwa, apakah akan bersearah dengan roh atau bersearah dengan jasad atau fisik.
Kedua, ada satu ayat Alqur’an di dalam Surat Al Fusshilat, ayat 46, yang teksnya berbunyi: “faman ‘amila shalihan falinafsihi, wa man asaa fa’alaiha, fa ma Rabbuka bidhallami lil ‘abid”, yang artinya: “maka siapa yang beramal kebaikan maka untuk dirinya sendiri, dan yang melakukan kejelekan juga untuk dirinya sendiri, akan tetapi Tuhanmu tidak sekali-kali akan berbuat dhalim terhadap hambanya”. Terjemahan di dalam Alqur’an tarjamah nyaris semuanya sama menjelaskan bahwa fa linafsihi adalah untuk dirinya sendiri.
Akan tetapi saya mencoba untuk menjelaskan bahwa falinasihi itu titik tekannya pada dimensi kejiwaan. Diri sendiri yang terkait dengan dunia Jiwa. Jadi khitab atau obyek ayat ini adalah kepada jiwa. Nafsun secara bahasa adalah jiwa. Di dalam diri seseorang terdapat tiga dimensi yang bercorak sistemik, yaitu raga atau fisik, jiwa atau nafs dan roh. Roh adalah milik Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Sedangkan raga dan fisik akan kembali ke surga atau neraka. Tetapi kita yakin bahwa peluang ke surga sangat besar karena kasih sayang Allah SWT kepada hambanya.
Saya berpandangan bahwa yang akan mendapatkan kenikmatan atau kesengsaraan di alam akherat adalah jiwa dan raga. Sedangkan roh akan kembali kepada Tuhan. Mustahil Allah akan menyiksa kepada Roh yang merupakan bagian Tuhan. Allah meniupkan roh kepada manusia, artinya Roh adalah milik Tuhan yang abadi. Secara logika pernyataan ini benar, hanya saja tentu ada pro-kontra atas penjelasan teks seperti ini. Tetapi bisa juga dipahami diri sendiri itu dengan matra jasad, jiwa dan roh.
Ketiga, Jiwa memang harus dimanej. Jiwa atau nafs akan dapat dipengaruhi oleh jasad atau oleh roh. Jika yang berpengaruh itu jasad atau aspek hayawaniyah, maka jadilah yang dominan adalah sifat hayawan. Makan yang serba enak, minum yang serba nikmat dan juga memanjakan syahwat lainnya. Tetapi jika yang berpengaruh adalah roh, maka akan berkecenderungan menyukai kebaikan dan kebenaran. Pengaruh agama di dalam kehidupan hakikatnya kala jiwa dipenuhi dengan roh yang merupakan percikan Tuhan.
Untuk memanej jiwa agar selalu berselaras dengan roh, maka Allah menurunkan agama sebagai pedoman untuk melakukan tindakan. Agama sebagai pattern for behaviour. Ada petunjuk untuk melakukan kebaikan baik vertical maupun horizontal. Yang vertical misalnya membaca shalawat. Ibadah lain itu masih berada di antara diterima atau ditolak, tetapi shalawat Nabi pasti diterima. Apalagi jika melakukannya dengan Ikhlas dan penuh pengharapan. Ada raja’ atau harapan di dalam membaca shalawat agar kita mendapatkan syafaat dari Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
Kalimat thayyibah sangat besar pengaruhnya untuk memanej jiwa atau memanej hati. Maka secara proposisional bisa dinyatakan bahwa semakin banyak bacaan kalimat tahyyibah yang dilantunkan oleh seseorang, maka makin besar peluangnya untuk dapat menjaga hati atau jiwanya.
Kita harus yakin, bahwa bacaan kalimat thayyibah tersebut akan dapat menjadi perantara agar kita selalu berada di dalam naungan rahmat dan hidayah Allah SWT.
Wallahu a’lam bi al shawab.