TRILOGI IMAN, TAWAKKAL DAN DOA (BAGIAN KEDUA)
TRILOGI IMAN, TAWAKKAL DAN DOA (BAGIAN KEDUA)
Prof. Dr. Nur syam, Msi
Artikel ini merupakan bagian kedua dari tulisan hasil ceramah saya di Masjid A Ihsan Perumahan Lotus Regency Ketintang Surabaya. Ceramah diselenggarakan pada hari Selasa, 18/02/2025. Pada tulisan pertama, telah saya jelaskan tentang tipologi iman dalam kenyataan sosio-historis. Di dalam artikel ini, saya akan memfokuskan pada aspek tentang tawakkal dan doa. Ada dua hal yang akan saya sampaikan, yaitu:
Pertama, tawakkal itu pasrah atau menerima apa adanya. Tidak mempertanyakannya dengan pertanyaan yang berbasis pada kekuatan pemikiran. Yang dilakukannya adalah menerima takdir dengan apa adanya. Di dalam kehidupan ini terdapat konsep olah rogo, olah pikir, olah roso dan olah roh. Yang menjadi gradasinya didahului dengan olah rogo atau gerak badan. Orang bekerja itu menggerakkan badan. Dalam posisi apapun di dalam bekerja, maka yang mendasar adalah menggerakkan badan, seperti kaki, tangan, tubuh dan sebagainya. Physical movement.
Kemudian olah pikir. Di dalam bekerja, seseorang juga melakukan atau menggunakan pemikiran. Pemikiran itu dominan dan biasanya terkait dengan untung rugi. Jika dilakukan apa untungnya dan jika tidak dilakukan apa kerugiannya. Kemudian olah roso, yaitu setara lebih mendalam dalam gerakan manusia. Yang digerakkan adalah rasa, bisa berupa simpati atau empati bahkan anti pati. Rasa beragama tentu terkait dengan simpati atau empati dan bukan anti pati. Orang mudah tersentuh perasaannya jika terdapat orang lain yang menderita. Orang dengan mudah mengeluarkan dana untuk pilantropi, orang dengan sadar bergerak untuk membangun masjid, lembaga pendidikan dan sebagainya.
Di dalam menerima takdir Tuhan, maka yang dijadikan dasar atau basisnya adalah rasa dan bukan pemikiran. Pemikiran atau logika sering menjadikan diri itu tidak menerima atas kepastian yang datang dari luar dirinya. Selalu dipertanyakan apa yang menjadi penyebab kegagalannya. Dalam contoh kehidupan, maka sikap dengki yang dimiliki oleh Qabil atas Habil pada awal sejarah manusia dipicu oleh pikiran mengapa korban yang dilakukan tidak diterima Tuhan. Dia berpikir untung rugi. Yang dikorbankan adalah hasil tanaman yang sudah rusak dan akibatnya korban tersebut tertolak. Dia tidak menggunakan rasa, bahwa yang dikorbankan seharusnya yang terbaik.
Ada beberapa contoh terkait dengan ketaqwaan, yaitu: ketaqwaan yang didasarkan atas keyakinan bahwa Allahlah yang menentukan segala-galanya. Tidak ada yang berkuasa untuk menentukan segala yang terjadi di dunia kecuali Tuhan. Keberagamaan seperti ini tentu saja dipandu bukan oleh rasio akan tetapi oleh perasaan beragama. Sebagai contoh orang yang bertaqwa kepada Allah adalah Sayyidati Masithah, istri Fir’aun, yang begitu mempercayai bahwa segala sesuatunya adalah takdir Allah. Jadi di kala akan dimasukkan di dalam kuali besar berisi air panas yang mendidih, maka dipercayainya bahwa hal itu adalah kepastian Tuhan yang tidak bisa dihindarinya. Sesuatu yang harus terjadi di dalam kehidupannya. Yang penting baginya adalah tetap menjaga keyakinannya kepada Tuhan.
Prototipe lainnya adalah Sayyidati Hajar, seorang perempuan yang menerima takdir Tuhan apa adanya. Tidak mempertanyakan dengan pikirannya mengapa beliau harus ditempatkan di tanah tandus dan gersang, sebab Hajar memiliki kepasrahan bahwa yang dilakukan Nabi Ibrahim pasti berasal dari wahyu yang diterimanya dari Allah SWT. Sama sekali tidak terbersit pemikiran untuk bertanya bagaimana Hajar ditempatkan di padang tandus yang kering kerontang. Kala perbekalannya sudah habis, maka Hajar secara mandiri mencari dan menemukan sumber air yang merupakan sumber air dari surga. Sumur Zam Zam.
Lelaki biasanya sarat dengan pertanyaan rasional. Tetapi tidak dengan Abu Bakar. Diterimanya semua yang datang dari Nabi Muhammad SAW sebagai kebenaran. Kala diceritakan peristiwa Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad SAW, maka tidak ada pertanyaan kecuali mempercayainya. Demikian pula Sayyidati Khadijah. Seorang tuan tanah dan pedagang yang sukses. Dua pertiga tanah Mekah adalah miliknya. Harta ini kemudian habis tidak tersisa untuk memperjuangkan Islam bersama Nabi Muhammad SAW. Bahkan di kala wafat tidak memiliki kain untuk kafannya. Allah SWT lalu menurunkan lima kain kafan, yaitu untuk Siti Khadijah, Siti Fathimah, Sayyidina Ali, Sayyidina Hasan dan untuk Nabi Muhammad SAW. Satu cucu Nabi Muhammad SAW, Sayyidina Husen, menjadi syahid dan tidak memerlukan kain kafan. Subhanallah.
Kedua, manusia membutuhkan doa. Usaha dan doa merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan di dalam kehidupan. Ada yang menyatakan bahwa doa menempati prosentase yang besar dibandingkan dengan usaha. Seseorang yang sukses ditandai dengan doanya yang sangat kuat. Orang yang memiliki prestasi di hadapan Allah dipastikan akan memperoleh imbalan yang baik di hadapan Allah SWT. Ada orang yang bisa membaca shalawat sebanyak 10.000 tiap hari, maka dia akan memperoleh kelebihan yang datang dari Allah. Ada orang yang berjalan kaki dari Banyuwangi ke Banten sambil menghafal Alqur’an, maka Allah pasti akan memberikan kelebihan di dalam dirinya.
Bisa jadi mereka akan memiliki ‘ainun bashirah atau penglihatan mata batin yang hebat yang tidak dimiliki orang lain. Allah tidak akan memberikan madharat atas orang-orang yang memiliki kelebihan seperti ini. Tiada niqmat di dalam kehidupannya tetapi yang ada adalah ni’mat. Allah pasti akan menyayangi orang-orang dengan prestasi yang seperti itu.
Wallahu a’lam bi al shawab.