NABI IBRAHIM SEBAGAI USWAH HASANAH
NABI IBRAHIM SEBAGAI USWAH HASANAH
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Komunitas Ngaji Bahagia (KNB) tetap terus berlangsung. Kita semua tentu bisa bersyukur karena Allah masih memberikan karunia yang berupa kesehatan di tengah berbagai macam pekerjaan yang kita lakukan. Meskipun kita berbeda usia dan pekerjaan, akan tetapi tetap bisa bersama di dalam acara tahsinan dan juga Ngaji Selasanan yang rutin dilakukan. Pada Hari Rabo, 11/02/2025, kita mengaji sambil membahas tentang keteladanan yang dilakukan oleh Nabiyullah Ibrahim AS.
Di dalam Surat Al Mumtahanah, ayat 6 dinyatakan: “sungguh pada mereka itu (Ibrahim dan umatnya) terdapat suri tauladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (pahala) Allah dan (keselamatan pada) hari kemudian, dan barang siapa berpaling, maka sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Kaya, Maha Terpuji”. Seperti biasa, setelah Al Hafidz Alief Rifqi membacakan terjemahnya, maka saya yang memberikan ulasan. Saya menyampaikan tiga hal, yaitu:
Pertama, teladan dalam ketauhidan. Di antara Nabi Allah yang secara langsung disebut sebagai uswah hasanah adalah Nabi Ibrahim AS dan Nabi Muhammad SAW. Hal ini memberikan indikasi bahwa yang dibawakan oleh keduanya adalah ajaran yang sama, yaitu ajaran untuk mengesakan Allah dan ajaran syariat yang sama, yaitu syariat Islam sebagaimana yang telah dilakukan oleh Nabi Ibrahim AS dan kemudian direkonstruksi ulang oleh Nabi Muhammad SAW.
Ajaran Nabi Ibrahim AS dalam dimensi ketuhanan atau teologis tidak ada bedanya. Ada kesamaan antara Nabi Muhammad SAW dengan Nabi Ibrahim AS, yaitu ajaran untuk mengesakan Allah SWT. Tidak ada Tuhan selain Allah, la ilaha illallah. Apa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW adalah ketauhidan yang sama dengan apa yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim AS. Bahkan semua Nabi dan Rasul yang menjadi utusan Allah mengajarkan ajaran ketauhidan yang sama. Semenjak Nabi Adam AS sampai Nabi Muhammad SAW mengajarkan kalimat Tauhid. Hal ini tentu sangat wajar, sebab semua Nabi mendapatkan wahyu yang sama tentang system ketuhanan dari Allah SWT.
Semua Nabi dan Rasul adalah Bapak Monotheisme. Hanya saja secara ilmiah yang dinyatakan sebagai Bapak Monotheisme adalah Nabi Ibrahim AS yang mengajarkan tentang monotheisme sebab agama-agama yang turun sesudahnya, seperti agama Yahudi juga mengajarkan monotheisme, agama Nasrani juga mengajarkan monotheisme dan demikian pula agama Islam juga mengajarkan monotheisme. Agama-agama ini dikenal sebagai agama Semitis, artinya agama-agama yang bersumber dari tradisi ketauhidan dalam masyarakat Semit.
Sesungguhnya, agama Yahudi dan Nasrani juga agama monotheisme. Hanya saja karena penafsiran atas teks-teks yang variative, sehingga terdapat perbedaan dalam menafsirkan monotheisme dimaksud. Ada yang kemudian menyebutnya dengan trinitas dalam agama Nasrani dan ada juga Trimurti di dalam agama Hindu, dan sebagainya. Ini persoalan persoalan penafsiran, akan tetapi secara substansial tetaplah dianggap sebagai agama yang monotheistic.
Keteladanan dalam ketauhidan tersebut digambarkan mengenai Nabi Ibrahim AS yang kukuh mempertahankan ketauhidannya di kala dipaksa oleh Raja Namrud untuk mengakui atas ketuhanannya. Meskipun diancam untuk dibakar hidup-hidup, akan tetapi Ibrahim AS tetap pada keyakinannya untuk menyatakan bahwa Tiada Tuhan Selain Allah. Kukuh, tegar dan tidak goyah imannya meskipun diancam dan dibakar hidup-hidup. Selama tujuh hari Nabi Ibrahim di dalam kobaran api, tetapi api tidak mau menjilat tubuhnya. Hukum api yang membakar apa saja yang ada di hadapannya, menjadi terbalik. Api tidak membakar. Surat Alanbiya, ayat 69: Qulna Ya Naru Kuni bardan wa salaman ala Ibrahim. Wahai api jadilah dingin dan keselamatan atas Ibrahim. Atas kun fayakun Allah, maka api menjadi dingin dan tidak membakarnya. Hal seperti ini dapat dijumpai di dalam cerita Ramayana dalam tradisi Hindu, Dewi Shinta yang tidak terbakar di dalam mempertahankan keyakinannya bahwa dirinya suci tidak tersentuh Raja Rahwana dan tidak bersalah.
Kedua, keteladanan dalam ritual keagamaan. Tentang shalat bisa saja berbeda caranya akan tetapi hakikatnya tentu sama, yaitu bentuk komunikasi antara manusia dengan Tuhannya. Yaitu sebuah upacara untuk mengagungkan dan mensucikan Namanya, menyembah dan membaktikan diri kepada-Nya. Hakikat shalat dalam agama-agama memiliki kesamaan. Tetapi sebuah tradisi yang kemudian diamanahkan untuk dilakukan terhadap umat Islam yang berkemampuan maliyah atau iqtishadiyah dan kemampuan fi’liyah atau fisikiyah adalah ibadah haji yang cikal bakalnya disyariatkan kepada Nabi Ibrahim AS dan dilanjutkan oleh Nabi Ismail AS dan Nabi-Nabi yang datang sesudahnya.
Nabi Muhammad SAW kemudian menapaktilasi atas syariat haji dimaksud dengan mengembalikannya kepada bentuk awal ibadah haji. Ibadah haji dengan mengelilingi ka’bah tujuh kali tetap dilakukan semenjak Nabi Ibrahim sampai datangnya Nabi Muhammad SAW. Bani Quraisy sebagai leluhur Nabi Muhammad SAW tetap menjalankannya akan tetapi dengan penafsiran bermacam-macam. Ada yang sudah diubah sesuai dengan tafsir para ulamanya dan ada yang tetap sebagaimana semula. Di kala Nabi Muhammad SAW datang dengan syariat Haji, maka diluruskan berbagai penyimpangan dimaksud. Heterodoksi dalam ibadah haji kemudian diortodoksikan. Dimurnikan sesuai dengan amanah yang diberikan Allah SWT di dalam syariatnya.
Ketiga, membangun kesatuan ibadah. Ka’bah sesungguhnya sudah didirikan oleh Nabi Adam AS. Dan kemudian tetap terjaga sampai datangnya Nabi Ibrahim AS. Bersama Nabi Ismail putranya, maka Ka’bah direnovasi dan kemudian ditata ulang oleh Nabi Muhammad SAW. Ka’bah itulah yang akhirnya dijadikan sebagai pusat kesatuan ritual di dalam Islam. Bukanlah umat Islam menyembah Ka’bah. Tetapi Ka’bah adalah hakikat kesatuan ritual di dalam agama Islam. Ka’bah merupakan pusat energi di dalam peribadahan.
Ka’baitullah merupakan tempat yang dijadikan oleh Allah SWT sebagai arah di dalam melakukan ritual khususnya shalat. Ka’bah menjadi tempat yang disucikan oleh Allah SWT karena di ka’bah itulah manusia menyatukan energi kebersamaan dan menjadi pusat peribadahan. Jika orang melakukan ibadah haji dengan mengelilingi ka’bah sebanyak tujuh kali dan juga melakukan perjalanan dari Shafa ke Marwah sebanyak tujuh kali, hakikatnya adalah melakukan ritual yang disyariatkan oleh Nabi Muhammad SAW. Di dalam agama selalu ada keyakinan, dan kita meyakini bahwa dipastikan ada hakikat kebenaran di dalam setiap perintah Nabi Muhammad SAW.
Wallahu a’lam bi al shawab.