• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

BUKAN SEKEDAR BONEK

 Memang harus diakui bahwa melihat perilaku para bonekmania rasanya jengkel  juga. Bagaimana tidak, bahwa perilakunya yang ingin menguasai jalan dengan cara kekerasan, menggunakan pentungan untuk memukuli kendaraan, memaksa orang lain untuk patuh kepadanya, dan berbagai tindakan melanggar aturan, rasanya memang tidak pantas dilakukan masyarakat di negara yang menganut aturan perundang-undangan. Bagi orang yang tidak terbiasa melihat perilaku kerumunan seperti itu, rasanya ada kengerian yang mendalam. Pantaslah, jika sopir saya  pada waktu berpapasan dengan tim bonek Persema dan kemudian dipaksa untuk minggir dan berhenti, kemudian berkata kepada saya: Pak apakah tidak diganti plat Malang saja, saya akan pinjam ke kawan saya”. Mungkin juga perasaan ini menghinggapi orang Malang yang mobilnya berplat Malang ketika berpapasan dengan kaum bonek Persebaya ketika berada di Surabaya.

Jika kita melihat terhadap perilaku bonekmania, pantas kalau ada kengerian itu. Lebih dari sekedar ketakutan. Gambar jepretan Jawa Pos, Sabtu, 23/01/10, maka kita melihat sebuah tontonan yang menghadirkan ”kengerian”. Kaum bonekmania yang bergelantungan di kereta api jurusan ke Bandung untuk menjadi suporter Persebaya ketika akan melawan Persib Bandung di lapangan bola Jalak Harupat, Bandung. Bonek juga bikin rusuh di Solo  dan satu meninggal terjatuh dari kereta. Lebih dari itu juga ada yang terluka karena terkena lemparan batu.

Mereka benar-benar nekad, sebab Komisi Disiplin PSSI sudah menjatuhkan keputusan bahwa laga away persebaya tanpa ditonton oleh para supporternya. Tetapi kenekadan para bonekmania memang tidak terukur. Meskipun tanpa uang sepeserpun mereka akan berangkat. Makanya, jika ada pertandingan sepakbola di suatu tempat yang bertepatan dilalui oleh kereta api, maka pasti akan terdapat kerugian. Ada yang hanya bayar 75%, ada yang tidak bayar dan kacar kereta juga banyak yang pecah. Seperti peristuwa di Solo, maka kereta banyak yang pecah karena terjadi saling lempar batu antara suporter dan warga masyarakat.

Menurut kaum fenomenologis, bahwa para Bonek ini sudah menghadirkan dua kekarasan sekaligus. Pertama, kekerasan simbolik, yaitu kekerasan yang diakibatkan oleh tindakan kekerasan yang menakut-nakuti dengan berbagai benda yang berada di tangannya sehingga menghadirkan ”kengerian” dan selain itu juga menghadirkan kekerasan aktual, karena mereka tidak sekedar menakut-nakuti tetapi juga memukul, melempar, merusak apa yang ditemui di dalam perjalanan. Apalagi jika tim yang didukung kalah, maka mereka menjadi emosional dan menumpahkan kekesalannya pada apa saja yang ditemuinya.

Akibat lebih jauh, masyarakat pun antipati terhadap mereka. Ketika kereta melintas di jalan-jalan yang dilalui oleh kereta api yang mengangkut bonekmania, maka masyarakat juga melakukan pelemparan terhadapnya. Jawa Pos, 26/01/10, juga melaporkan bahwa puluhan bonek babak belur, sebab sepanjang perjalanan dari Bandung ke Surabaya, mereka mendapatkan serangan berupa lemparan batu, kayu, botol dan sebagainya, sehingga banyak di antaranya yang terluka. Kondisinya juga memprihatinkan, sebab ada yang hanya memakai celana pendek, tanpa baju, luka-luka di tubuhnya dan sebagainya. Mereka kemudian diamankan di Mapolres Ngawi, diberi pengobatan, pakaian layak pakai dan makan dan kemudian diantarkan ke Surabaya menggunakan truk.

Saya kira memang juga banyak orang yang pernah menjadi korban para bonek, sehingga menjadi semacam archetype –pengalaman yang terdalam dan membekas—sehingga kemudian memunculkan kebencian yang sekali waktu lalu dimuntahkannya. Mereka yang melakukan pelemparan terhadap para bonek di dalam perjalanan panjang adalah mereka yang memiliki pengalaman tidak mengenakkan itu.

Tentu juga banyak orang yang merasakan bagaimana ketika mobilnya atau kendaraannya dipukul atau dilempar batu atau kayu oleh para bonekmania. Mereka tentu menjadi trauma. Saya yang hanya diberhentikan dan dipinggirkan dengan hanya diacung-acungi tongkat saja merasakan ada ”kengerian” apalagi yang pernah sampai dilempar atau dipukul kendaraannya.

Dunia sepakbola tanpa supporter memang hambar, seperti hambarnya sayuran tanpa garam. Tetapi kebrutalan supporter yang tidak terkendali juga menghadirkan kekerasan simbolik dan aktual. Lalu apa yang bisa dilakukan?

Memanej suppoter sudah dilakukan.  Melibatkan  keamanaan juga sudah dilaksanakan. Menghukum supporter agar tidak mendatangi laga away juga sudah dijatuhkan. Maka yang perlu adalah  penyadaran diri para supporter, bahwa yang dilakukan itu adalah sesuatu yang bisa merusak ketertiban. Jadi, memang harus kembali kepada masing-masing supporter. Itu saja.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini