DAKWAH YANG MENCERAHKAN (BAGIAN KEDUA)
DAKWAH YANG MENCERAHKAN (BAGIAN KEDUA)
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Sebagaimana telah umum diketahui bahwa melalui dakwah Islam yang dilakukan oleh para da’i, di Jawa dikenal dengan sebutan Walisanga, maka Islam berhasil menjadi agama mayoritas, dan tidak hanya di Jawa tetapi juga di seluruh Nusantara. Islam disebarkan dengan cara-cara yang berbasis hikmah atau kebijaksanaan yaitu dengan nasehat yang baik dan berdebat dengan penuh pemahaman dan kearifan. Semua ini menggambarkan bahwa dakwah tidak dilaksanakan dengan kekerasan tetapi dengan kelemahlembutan dan kasih sayang.
Dakwah menjadi awal dalam proses islamisasi. Tanpa adanya dakwah maka tidak akan didapati masyarakat Islam sebagaimana yang dapat dilihat sekarang. Perkembangan Islam yang sangat cepat di dunia tentu karena dakwah yang dilakukan oleh para da’i yang bekerja keras untuk mengabarkan tentang kebaikan Islam. Islam yang pada kelahirannya berada di wilayah gurun pasir, Saudi Arabia, akhirnya bisa memasuki seluruh benua. Benua Eropa, Amerika, Afrika dan Australia. Islam berkembang pesat di benua Eropa dan Amerika yang selama ini menjadi wilayah agama-agama lainnya. Kekosongan spiritualitas yang terjadi di Eropa dan Amerika akhirnya dapat diisi oleh spiritualitas Islam.
Islam yang semula asing, tetapi lambat tetapi pasti akhirnya bisa menjadi agama yang dipeluk oleh umat manusia di dunia barat. Orang Eropa yang sebelumnya menjadi penganut agama lain, akhirnya dengan dakwah yang dilakukan oleh para da’i yang dengan tulus ikhlas akhirnya terjadi proses Islamisasi dalam damai. Islam tidak disiarkan dengan kekerasan tetapi dengan perdamaian. Peacefull jihad. Jihad dengan perdamaian. Dakwah dengan cara kekerasan justru akan menjauhkan Islam dari umat manusia.
Dakwah Islam pernah diganggu oleh tindakan kaum teroris yang melakukan tindakan kekerasan dan mematikan, yaitu pengeboman beberapa wilayah di dunia. Pasca pengeboman World Trade Centre (WTC), maka imaje Islam menjadi sangat hancur, sebab yang melakukan tindakan pengeboman tersebut adalah oknum yang beragama Islam. Mereka melakukan tindakan teroris yang justru merusak nilai-nilai kebaikan universal di dalam Islam. Imaje Islam sepertinya hancur luluh karena tindakan kekerasan dimaksud.
Namun akhirnya, orang Barat justru dapat menilai mana orang Islam yang benar dan mana orang Islam yang salah. Mana pemeluk Islam yang bersearah dengan perdamaian dan keselamatan dan mana pemeluk Islam yang bersearah dengan kekerasan dan kehancuran. Justru dengan memahami Islam yang mengembangkan jihad dalam perdamaian itulah maka mereka menjadi bersimpati terhadap ajaran Islam dan kemudian memantapkan imannya di dalam Islam. Jika kemudian Islam menjadi pilihan keyakinan di Inggris, misalnya tentu disebabkan oleh kesadaran mereka tentang ajaran Islam yang mengedepankan perdamaian.
Islam memang sedang menapaki perkembangannya di negara-negara barat, dengan perkembangan yang sungguh menakjubkan. Tetapi di bagian lain, Islam masih berada di dalam nuansa saling berebut otoritas penafsiran keagamaan. Islam di negara-negara yang mayoritasnya umat Islam dengan pemahaman beragama yang kebanyakan adalah Islam ahlu sunnah wal jamaah, maka sesungguhnya sedang terjadi kontestasi. Dua kelompok ini saling berebut wacana di dalam dakwah khususnya di media social. Antara yang satu dengan lainnya saling mengklaim kebenaran. Yang satu menyatakan kebenaran mutlak atas tafsir keagamaannya, dan yang lainnya juga menyatakan klaim kebenaran atas tafsir agamanya. Yang satu menyerang dan yang lain bertahan. Konsekuensinya tentu menjadikan wacana Islam ramai dengan pernyataan yang saling merendahkan dan saling menyalahkan.
Islam sebagai agama tentu mengalami fase pemahaman yang berkembang. Para ulama yang menjadi penafsir atas ajaran agama juga mendasarkan tafsir agamanya sesuai yang diterima dan dinyatakan benar oleh ulama-ulama sebelumnya. Jika pada masa sahabat, maka jika ada masalah yang terkait dengan tafsir keagamaan, maka bisa ditanyakan kepada para sahabat Nabi Muhammad SAW, jika ada masalah yang terjadi pada masa tabiin, maka bisa ditanyakan kepada tabiin. Para tabiin adalah orang yang pernah hidup sezaman dengan para sahabat, dan tabiit tabiin adalah orang yang pernah hidup sezaman dengan para tabiin.
Oleh karena itu jika terjadi perbedaan penafsiran tentang agama, maka mereka bisa bertanya kepadanya. Itulah sebabnya, di saat muncul masalah di dalam tafsir agama maka rujukannya jelas. Hal ini tentu berbeda dengan zaman sekarang. Jarak waktu dengan Nabi Muhammad SAW selama 1446 tahun. Jarak yang sangat lama, sehingga dipastikan akan terjadi varian-varian tafsir atas agama. Di tengah banyaknya tafsir agama tersebut kemudian terdapat da’i yang mendakwahkan bahwa hanya fatsir ulamanya saja yang benar dan yang lain semuanya salah. Di sini terjadi truth claimed yang berlebihan. Keyakinan bahwa hanya tafsir agamanya saja yang benar itu berarti memutlakan kebenaran tafsir.
Kaum salafi, misalnya menyatakan bahwa hanya tafsir ulamanya saja, seperti Syekh Nashiruddin Albani, Syekh Abdullah bin Baz, atau Syekh Utsaimin saja yang dinyatakan memiliki kemutlakan dalam penafsiran ajaran Islam. Mereka adalah ulama yang paling otoritatif dalam penafsiran ajaran agama. Selain yang dari tafsirannya adalah kesalahan. Misalnya, membaca lailaha ilallah ba’da shalat secara berjamaah adalah bidh’ah, membaca doa bersama setelah shalat adalah bidh’ah, dan membaca dzikir bersama setelah shalat juga bidh’ah. Itulah sebabnya orang yang melakukannya dianggapnya pasti akan masuk neraka. Baginya, yang berhak masuk surga adalah kelompoknya sesama kaum Wahabi.
Inilah sekelumit dakwah yang sementara ini sedang dinikmati oleh masyarakat Indonesia. jika di negara-negara lain sedang terjadi upaya untuk mengislamkan orang non-muslim, maka di sini para da’inya sibuk untuk menyalahkan amalan umat Islam. Pertarungan menjadi semakin menguat melalui pasukan cyber yang dimilikinya.
Untuk itu, diperlukan dakwah yang bisa mencerahkan umat Islam untuk memahami Islam secara arif dengan cara menurunkan ego claimed kebenaran yang dapat menyesakkan relasi social antar umat beragama.
Wallahu a’lam bi al shawab.