BULAN RAJAB SEBAGAI BULAN MENANAM KEBAIKAN
BULAN RAJAB SEBAGAI BULAN MENANAM KEBAIKAN
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Salah satu kebahagiaan yang dinantikan oleh para anggota Komunitas Ngaji Bahagia (KNB) pada Masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency Ketintang Surabaya adalah jika datang hari Selasa pada waktu ada acara mengaji Selasanan. Ngaji rutin dengan tema-tema yang actual, dipandu oleh Ustadz Dr. Cholil Umam, Ustadz Sahid Sumitro dan saya. Pak Cholil biasanya yang mengaji dengan tema-tema keagamaan “murni”, sedangkan Pak Sahid sering memberikan pengajian dengan tema-tema motivasi keagamaan, sedangkan saya memberikan materi kekinian, mencoba untuk menemukan relasi antara ajaran agama dan kehidupan social sehari-hari.
Pada Selasa, 07/01/2025, datanglah lengkap jamaah ngaji Bahagia ba’da shubuh. Dan yang saya meminta untuk memberikan ceramah adalah Ustadz Sahid. Dan sebagaimana biasanya, setelah Ustadz Sahid memberikan ceramah, maka saya memberikan tambahan sekedarnya. Pak Sahid, begitulah saya biasa memanggilnya, memberikan ceramah terkait dengan keutamaan Bulan Rajab. Di dalam Islam terdapat empat bulan yang sungguh dimuliakan oleh Allah, yaitu Bulan Rajab, Sya’ban, Ramadlan dan Dzulhijjah.
Bulan-bulan ini disebut sebagai asyhurul hurum atau bulan-bulan haram, yaitu bulan yang manusia dilarang untuk melakukan Tindakan kesalahan dan dosa dan dilarang perang. Pada bulan Rajab itu terdapat peristiwa yang sangat penting yaitu peristiwa Isra’ dan Mi’raj, yang diyakini terjadi pada tanggal 27 Rajab. Meskipun ada beberapa pendapat, akan tetapi yang banyak diikuti adalah terjadinya Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad SAW pada tanggal tersebut.
Peristiwa Isra’ dan Mi’raj merupakan peristiwa yang menjadi mu’jizat Nabi Muhammad SAW karena tentu tidak masuk akal, bahwa Nabi Muhammad SAW melintasi perjalanan dari Masjidil Haram ke masjidil Aqsha dalam waktu semalam dan dilanjutkan dalam perjalanan ke Sidratul Muntaha, Mustawa dan kemudian bermuwajahah dengan Allah SWT. Perjalanan ke Sidratul Muntaha dibersamai oleh Malaikat Jibril, namun Jibril terhenti di situ karena tidak kuasa untuk meneruskan perjalanan bertemu Allah tersebut. Hanya Nabi Muhammad SAW seorang insan kamil mutlak yang diberi kekuatan dan kekuasaan oleh Allah untuk menjumpainya dan menerima perintah shalat sebanyak lima kali sehari. Di antara umat Nabi Muhammad SAW yang langsung percaya atas peristiwa ini adalah Abu Bakar Ash shiddiq.
Doa kita pada saat bulan Rajab adalah “Allahumma bariklana fi Rajab wa Sya’ban wa ballighna Ramadlan”, yang artinya: “Ya Allah berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban dan pertemukan kami dengan Bulan Ramadlan”. Bulan Rajab adalah bulan menanam kebaikan dan dilanjutkan dengan Bulan Sya’ban dan kemudian akan dipanen pada Bulan Ramadlan. Rasanya tidak ada orang yang akan panen, jika tidak menanam dulu. Maka marilah kita menanam kebaikan, agar kita bisa panen kebaikan pada bulan Ramadlan. Jika kita melakukan kebaikan, maka kita akan dilipatgandakan pahalanya, maka jika kita melakukan kejelekan juga akan dilipat gandakan kejelekannya.
Bulan Rajab adalah bulan berdoa, bulan permohonan ampunan dan bulan larangan melakukan perbuatan kejelekan dan berperang. Makanya disebut sebagai bulan haram atau bulan larangan. Jika kita ingin dikabulkan do akita oleh Allah, maka pada bulan inilah Allah akan mengabulkannya doa tersebut. Oleh karena itu, marilah kita berlomba-lomba untuk berdoa kepada Allah SWT, semoga doa kita dikabulkan oleh Allah. Pasti Allah mendengarkan doa tersebut. Tidak ada sesuatu yang terlepas dari Allah. Hanya pengabulan doa tersebut yang terkadang bisa tertunda. Semoga doa kita pada bulan ini terkabul. Allahumma amin.
Pada kesempatan ini saya memberikan sedikit tambahan atas pernyataan Pak Sahid. Saya nyatakan bahwa yang terpenting pada bulan-bulan yang disebut sebagai asyhurul hurum atau bulan-bulan yang disucikan Allah dan dilarang untuk melakukan perbuatan dosa dan peperangan, maka kita perlu meningkatkan rasa cinta. Bulan-bulan suci dan bulan larangan melakukan Tindakan tercela termasuk peperangan, maka yang diagungkan adalah meningkatkan rasa cinta kepada Allah SWT, cinta kepada Nabi Muhammad SAW dan juga mencintai istri atau suami dan keluarga. Ini yang disebut sebagai trilogy cinta. Pak Mulyanta menimpali: “bukan cinta segitiga ya Prof”.
Mengapa kita harus mencintai Allah dan Rasulnya, yang artinya mencintai ajaran-ajarannya, sebab Islam itu agama yang turun terakhir dan yang paling sempurna. Pada saat haji wada’ Rasulullah menyatakan: “Inni akmaltu lakum dinakum wa atmamtu ‘alaikum nikmati wa radhitu lakumul isalama dina” , yang artinya kurang lebih: “sesungguhnya aku telah menyempurnakan agama untukmu dan telah mencukupkan nikmatku kepadamu dan meridhai Islam sebagai agamamu” (Surat Al Maidah, ayat 3).
Ayat ini memantik perbedaan pandangan. Pertama, Ada yang menyatakan bahwa agama Islam itu telah sempurna dan tidak perlu dan tidak boleh ditambah-tambah, baik dalam ritual-ritualnya maupun aturan-aturannya. Sudah komplit, sehingga yang menambah ritual atau aturannya dianggap sebagai orang yang melakukan bidh’ah. Yang termasuk di sini adalah kaum tekstualis atau kelompok yang hanya menterjemahkan teksnya tanpa mempertimbangkan aspek-aspek perubahan-perubahan social yang terjadi.
Kedua, Kemudian ada kelompok yang menterjemahkan teks dengan menyesuaikan dengan konteks zaman atau waktu dan makan atau tempat. Islam itu selalu relevan dengan zaman, sehingga diperlukan reaktualisasi ajarannya dalam ruang dan waktu. Di zaman Nabi Muhammad SAW, pada saat jumlah jamaah haji sedikit, maka Mina itu sudah ditentukan batas-batasnya, tetapi di kala jumlah jamaah haji mencapai jutaan orang, maka Mina yang ditentukan oleh Nabi itu sudah tidak mampu memuat, maka dikalangan ulama lalu dibuatlah fatwa tentang Mina jadid atau Mina baru yang diperluas. Atau di zaman Nabi tidak terdapat pekerja perempuan yang bekerja di luar negeri, maka di saat banyak perempuan yang bekerja di luar negeri, maka diperlukan reaktualisasi ajaran Islam melalui fiqih perempuan dan sebagainya. Kelompok ini disebut sebagai kelompok kontekstualis.
Ketiga, Lalu juga terdapat orang-orang yang tidak termasuk kaum tekstualis dan kontekstualis, mereka adalah kelompok penganut atau kaum ittibais atau orang yang mengikuti mana yang dianggap paling baik dan sesuai dengan keyakinannya. Kita ini bisa masuk di sini, sebab kita tidak memiliki sejumlah pengetahuan yang memadai untuk menjadi penafsir ajaran Islam. Makanya apa yang kita yakini benar dan sesuai dengan amalan-amalan ulama yang alim, maka itulah yang menjadi dasar pemahaman dan pengamalan di dalam beribadah.
Wallahu a’lam bi al shawab.