DZIKIR SAMBIL GELENG KEPALA, APAAN ITU?
DZIKIR SAMBIL GELENG KEPALA, APAAN ITU?
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Mungkin ada di antara kita yang bertanya sambil heran, mengapa ada orang yang dzikir sambil kepalanya digeleng-gelengkan. Aneh bin Ajaib. Begitulah pikiran orang yang tidak tahu dan tidak memahami tentang apa dibalik tindakan dzikir sambil menggelengkan kepala seakan-akan orang yang sedang fly karena minum ganja. Tetapi nanti dulu. Jangan berburuk sangka, jangan suudzon. Biasa sajalah.
Semenjak kecil di wilayah pedesaan yang saya dilahirkan di sana, maka sudah saya temui orang yang berdzikir atau membaca wirid dengan geleng-geleng kepala. Terutama kakek saya, Mbah Ismail, yang didapuk sebagai modin atau Bahasa Arab Imamuddin atau pemuka agama. Lidah orang Jawa suka untuk menyingkat ucapan menjadi lebih mudah. Imamuddin menjadi modin, atau sayyidati menjadi Siti atau maulud menjadi mulud dan barakah menjadi berkah atau bahkan berkat. Biasalah suatu wilayah telah memiliki cara untuk mengungkapkan kebahasaannya sesuai dengan lidah dan ucapannya.
Ada tiga penjelasan saya tentang wirid atau dzikir geleng-geleng tersebut. Pertama, ada wilayah yang penting di dalam ritual dzikir, yaitu kening atau kepala bagian depan, yang identic dengan pemikiran atau ide atau gagasan. Jika orang mengajak berpikir maka yang ditunjuk adalah keningnya, bukan kepala bagian belakang. Bukan dada atau bukan kaki. Artinya bahwa berpikir itu ada kaitannya dengan kepala terutama bagian depan. Kening.
Orang yang berdzikir, lailaha illallah, terutama ba’da shalat jamaah, maka ada yang berdzikir dengan cara geleng kepala. Maka, yang disentuh dengan kalimat la adalah kepala atau pikiran. Mengapa pikiran? Pikiran adalah bagian dari tubuh yang sering bertanya, termasuk mempertanyakan tentang Tuhan, Allah SWT. La ilaha artinya menafikan dan illallah adalah menetapkan. Dzikir la ilaha illah disebut sebagai nafi isbat. Maknanya pemikiran yang menafikan dan dada sebelah kanan dan kiri adalah yang menetapkan.
Yang disentuh dengan kata Ia adalah pikiran, sebab pemikiran itu yang akan mengantarkan seseorang akan menjadi mukmin dan muslim. Dengan pikiran orang akan menetapkan apakah Allah itu wajibul wujud atau bukan. Orang yang atheis atau tanpa mempercayai Tuhan karena pikirannya yang menyebabkannya. Sebaliknya orang yang meyakini Tuhan karena pikirannya yang mempercayainya. Ada kepercayaan atas hal-hal gaib yang menjadi kata kunci untuk dipercayainya.
Jadi orang yang membaca tahlil dengan melakukan gerakan kepala itu artinya berada di dalam kerangka menetapkan tidak ada ilah selain Allah. Kala membaca la berada tepat diubun-ubun lalu ilaha ditarik ke arah dada bagian kanan, dan illallah ditarik ke bagian dada kiri. Kala menyebut lailaha orang mengisi otaknya dengan kata tidak dan kala menarik ada Tuhan ke dada kanan artinya ada gerakan menarik kala la di otak ke ilaha di dada kanan, dan kala membaca illallah maka ditarik ke dada kiri. Kata ilaha ditaruh di dada kanan atau daerah hati Nurani dan kemudian ditarik ke dada kiri atau daerah hati sanubari dengan kata illallah. Putaran la di ubun-ubun atau kening dan ilaha ke hati Nurani atau daerah dada kanan dan ilallah di dada kiri atau daerah hati sanubari akan membentuk segitiga, system otak, system hati Nurani dan system hati sanubari. Coba perhatikan orang yang beragama Nasrani juga melakukan seperti itu. Jika akan memulai sesuatu atau mengakhiri sesuatu maka ada tiga segitiga yang disentuhnya. Dahi, Pundak kanan dan Pundak kiri. Tentu bukan suatu kebetulan, akan tetapi sebagai sesama agama Abrahamic tentu bisa saja terdapat kesamaan dalam konteks perilaku keberagamaannya.
Kedua, ekspresi beragama memang bermacam-macam. Bisa jadi berdzikir dengan geleng-geleng kepala tidak dijumpai nash qath’inya. Tetapi fenomena seperti ini adalah salah satu cara dari kaum muslimin untuk mengekspresikan ajaran agamanya. Ada cara orang berdzikir dalam hening seperti bertapa, ada juga yang mengekspresikannya dengan tarian dan ada yang mengekspresikannya dengan dzikir dengan geleng kepala. Yang seperti ini tentu tidak layak dianggap sebagai penyimpangan. Orang melakukan ibadah dengan konteks dirinya. Orang beribadah sesuai dengan nuansa hatinya dan orang beribadah dengan cara melakukan gerakan tubuh yang ternyata bisa saja menjadi medium untuk konsentrasi bahkan mengalami pengalaman religious yang khas. Makanya, biarkanlah mereka yang melakukan seperti itu. Yang terpenting mereka tetap berada di dalam koridor menyatakan ketiadaan Tuhan selain Allah.
Ketiga, dunia beragama adalah dunia tafsir selain Kitab Suci Alqur’an dan hadits-hadits shahih yang qat’iyud dalalah atau dalil yang tegas artinya. Makanya setiap amalan beragama tentu didasari oleh keyakinan dan pengalaman. Yakin terhadap apa yang diucapkan dan dilakukannya dan kemudian menghasilkan pengalaman beragama yang khas dan tidak bisa ditiru oleh yang lain. Masing-masing merasakan aura ketuhanan di dalam keadaan dzikirnya. Bisa jadi, mereka melakukan dzikir dengan caranya yang khas sebab mereka memiliki pengalaman yang mengantarkannya untuk mengulanginya.
Dan mereka menemukan Tuhannya dengan cara-cara yang mereka rasakan. Janganlah dianggap kesalahan apalagi penyimpangan. Biarkanlah mereka beribadah dengan kekhasannya.
Wallahu a’lam bi al shawab.