MENJAGA KESEIMBANGAN RASIO DAN SPIRITUALITAS: KASUS ANDI IBRAHIM
MENJAGA KESEIMBANGAN RASIO DAN SPIRITUALITAS: KASUS ANDI IBRAHIM
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Selasa yang lalu, 24/12/2024, sebagaimana biasa, saya memberikan pengajian pada jamaah Masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency Surabaya. Hadir jamaah Masjid Al Ihsan Lotus Regency dan Masjid Raudhah Sakura Regency pada acara tersebut. Sudah dua kali berturut-turut acara Ngaji Bahagia ini diisi oleh Ustadz Dr. Cholil, karena ketetapan, saya ada pekerjaan di luar Surabaya. Pertama ke Pontianak dan berikutnya ke Tuban.
Makanya ada rasa kangen dengan guyonan atau joke yang selalu menghiasai acara ngaji bareng. Bayangkan di dalam acara ngaji itu setidak-tidaknya 17 kali tertawa. Dan jika kita dapat melakukan dengan tulus maka tertawa itu akan membawa kepada kesehatan. Adrenalin kebahagiaan akan muncul bersamaan dengan tertawa lepas tanpa rekayasa. Sungguh bagi Komunitas Ngaji Bahagia (KNB), ngaji bahagia adalah acara yang dinantikan.
Saya memberikan ceramah yang agak bernuansa kasuistis, yaitu kasus yang mendera Dr. Andi Ibrahim, akademisi dan birokrat dari UIN Alauddin Ujungpandang. Sebuah kasus yang menyita perhatian banyak orang sebab dilakukan oleh ASN dari Perguruan Tinggi Islam yang untuk wilayah Timur tentu merupakan barometer kemajuan PTKIN. Makanya, sontak peristiwa ini memantik riuh rendah pembahasan di media social yang sekarang ini menjadi trend untuk informasi apa saja.
Kita sungguh bisa bertanya, bagaimana seseorang dengan realitas well educated bisa melakukan kesalahan yang sangat fatal. Bahkan tidak masuk akal. Andi Ibrahim adalah seorang doctor dalam Islamic Studies dengan latar belakang Pendidikan yang sangat baik. Pernah menjadi pejabat, Wakil Dekan, dan sekarang menjadi Kepala Perpustakaan. Tetapi inilah dunia manusia yang tidak bisa diprediksi dengan nalar manusia. Selalu ada misteri di dalam kehidupan manusia yang sulit dinalar dengan pendekatan rasio belaka.
Sebagai akademisi tentu secara nalar bisa mengukur akibat dan resiko yang akan didapatkan jika tertangkap. Menggandakan uang akan memiliki resiko yang sangat berat bagi keuangan negara. Makanya setiap kejahatan penggandaan uang dipastikan akan dihukum yang sangat berat. Tidak juga Andi Ibrahim. Memang sedang dalam proses penyelidikan tetapi dengan barang bukti yang sudah ditemukan, maka Andi Ibrahim sudah dijadikan tersangka. Mungkin secara nalarnya Andi Ibrahim sungguh sudah sempurna pencetakan uang palsu tersebut, misalnya sudah memakai kecanggihan alat dan prosesnya, akan tetapi tidak ada kejahatan yang sempurna.
Atas kasus ini, maka saya coba untuk melakukan analisis sederhana dengan menggunakan pendekatan sosio-religious. Pertama, dari sisi kesenjangan pemahaman teologis, maka ada beberapa pandangan. Ada yang serba Tuhan atau Theocentrisme, bahwa apa yang dilakukan oleh yang bersangkutan adalah kepastian Tuhan dan dia dipastikan akan menjalaninya. Di sisi lain ada yang serba manusia atau antroposentrisme artinya bahwa yang dilakukan itu semata-mata kesalahannya. Tidak ada campur tangan Tuhan. Tetapi di sisi lain, juga kepastian sudah ditentukan tetapi manusia masih memiliki kemampuan untuk memilih yang terbaik berkat kemampuannya di dalam menterjemahkan pedoman yang berdasar atas ajaran agama. Aliran Asy’ariyah ini yang banyak pengikutnya di Indonesia. Ajaran agama, akal dan hatinya dapat mengubah takdir yang jelek menjadi baik.
Kedua, dari sisi kesenjangan pengetahuan agama dan pilihan perilaku. Semestinya, pengetahuan beragama berkorelasi dengan pilihan perilaku. Apa yang diketahui semestinya menjadi pilihan perilakunya. Apa yang tersaji di dalam tindakan Andi Ibrahim dalam kasus penggandaan uang merupakan sebuah kesenjangan yang sangat nyata antara pengetahuan beragama dengan pilihan perilakunya. Memang ini sebuah kasus yang di luar nalar. Artinya bahwa pengetahuan agama yang tinggi tidak menjamin perilaku pilihannya dalam menghadapi kehidupan yang nyata. Saya kira banyak orang yang seperti itu. Kita tentu bersyukur, meskipun tidak memiliki pengetahuan agama yang tinggi tetapi kita insyaallah bisa memilih tindakan sesuai dengan ajaran agama yang penting. Kita sudah memilih perilaku yang benar sesuai dengan tafsir agama yang kita yakini kebenarannya. Yang penting jangan ragu, bahwa yang kita lakukan dalam beragama ternyata memiliki dasar sebagaimana tafsir para ulama masa lalu sesuai dengan teks atau ajaran agama yang dipahaminya.
Ketiga, kesenjangan antara pengetahuan agama dan spiritualitas. Memang tidak mudah untuk menyerasikan antara pengetahuan agama dengan spiritualitas yang berbasis rasa. Jika selama ini kita lebih terfokus pada rasio atau akal, maka pada saatnya kita harus menyerasikan dengan rasa atau hati. Rasa itu sulit dibohongi sebab di dalamnya ada panggilan batin yang akan mengarahkan pada pilihan yang benar. Rasio itu lebih banyak terkait dengan untung rugi. Dan yang menjadi pertimbangan lebih banyak untung tersebut. Jika misalnya terdapat peluang kerugian, maka harus dicarikan kekuatan untuk memperoleh keuntungan. Itulah sebabnya dalam banyak kasus penyalahgunaan wewenang, tindakan melawan hukum dan tindakan menyimpang lainnya dipastikan disebabkan oleh pencarian untuk membenarkan tindakan rasional dimaksud.
Berdasarkan hati nurani tentu tidak mungkin bahwa orang dengan pengetahuan beragama yang sangat tinggi bisa melakukan tindakan menggandakan uang. Dengan alasan apapun tentu tidak masuk dalam dunia batin atau rasa. Tetapi jangan lupa bahwa di dalam hidup ini, ada hal-hal yang tidak masuk dalam pertimbangan hati nurani tetapi menjadi kenyataan.
Oleh karena itu berbahagialah bagi orang yang bisa menyeimbangkan antara pengetahuan dengan perilakunya, dan berbahagialah orang yang bisa menyerasikan antara pengetahuannya dengan spiritualitas berbasis hati nurani yang selalu menganjurkan akan kebaikan. Mungkin pengetahuan beragama kita termasuk golongan kaum minimalis, akan tetapi semoga perilaku kita termasuk yang maksimalis terbatas. Artinya di dalam shalat subuh, misalnya kita sudah maksimal, tetapi dalam yang lain, misalnya sedekah, kita termasuk yang minimalis.
Akan tetapi di atas itu semua kita tetap harus bersyukur sebab kita telah menjadi bagian dari dua milyar umat Islam di dunia yang telah menjalankan ajaran agama yang benar sesuai dengan keyakinan.
Wallahu a’lam bi al shawab.