• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

SUPORTER BOLA BONEK

 Pada tanggal 16 Januari 2010, saya menghadiri acara pengukuhan guru besar di Universitas Wisnuwardhana Malang. Yang dikukuhkan adalah Prof. Dr. Soenyono, SH, Msi, sebagai guru besar Sosiologi Hukum. Bertepatan dengan acara pengukuhan tersebut di Surabaya diselenggarakan acara pertandingan sepakbola antara Persebaya dengan Persema Malang. Pertandingan antara Persebaya dengan Persema memang agak unik, sebab suporter Persebaya tidak diperkenankan menjadi penonton di Stadion Gajahyana Malang dan sebaliknya penonton Persema dilarang menonton pertandingan di Gelora Tambaksari Surabaya. Dikhawatirkan akan muncul keributan dari para suporter jika mereka bertemu dalam satu stadion.

Dua kubu suporter ini memang dikenal sebagai suporter bola yang sangat fanatik. Keduanya memiliki rasa memiliki dan fanatisme yang luar biasa. Begitu kuatnya fanatisme tersebut, maka mereka akan melakukan apa saja untuk tim kesayangannya itu. Mereka disebut sebagai bonek atau bondo nekad, yaitu sekelompok orang yang rela melakukan sesuatu untuk tim kesayangannya tetapi hanya bermodal kenekadan semata. Nekad dalam konteks bahasa Jawa merupakan tindakan yang dilakukan oleh seseorang hanya bermodal keberanian. Makanya, kelompok ini dikenal sebagai kelompok bonekmania.

Disebabkan oleh kenyataan tidak boleh datang ke Surabaya, maka mereka secara kelompok berkeliling di jalan-jalan utama kota Malang. Dengan atribut Persema, mereka bersepeda motor keliling kota Malang. Mereka membawa tongkat, bendera, dan juga kain syal yang diputar-putar sekenanya. Mereka bersepeda motor tanpa menghiraukan aturan lalu lintas, seperti helm, kecepatan, marka jalan dan sebagainya. Semua aturan lalu lintas dilanggarnya. Mereka menjadi raja jalanan saat itu. Mereka kuasai jalanan pada jam itu. Mereka lakukan gerakan anti keteraturan waktu itu.

Bertepatan saat itu saya menggunakan mobil dinas rektor, plat merah. saya yang tidak mengetahui bahwa perseteruan itu juga melibatkan orang-orang di luar suporter. Maka, saya dengan tenang saja melintas di jalan dan  berpapasan dengan gerakan suporter yang menguasai jalan tersebut.    Tiba-tiba mobil saya dipukul dengan tongkat dan dengan terpaksa saya harus minggir dan berhenti sampai iringan suporter itu lewat.

Saya lalu menjadi bertanya, apakah memang seperti itu ulah suporter bola. Artinya memandang siapapun yang berbeda dengannya dianggap sebagai rival kalau bukan lawan atau musuh. Jadi mereka memusuhi terhadap lambang-lambang yang menggambarkan Surabaya, termasuk plat nomor mobil. Saya akui bahwa saya juga penggemar bola tetapi lebih suka menonton bola di televisi ketimbang di stadion. Mungkin saya tidak termasuk yang disebut sebagai fans sepak bola. Hanya sekedar penggemar saja.

Saya menjadi ingat beberapa tahun lalu, ketika suporter Persebaya juga mengamuk dan meluluhlantakkan kereta api. Kaca-kaca banyak dipecahkan. Persoalannya karena mereka tidak mendapatkan tempat. Makanya, ketika Persebaya melawan Persib Bandung di Stadion Bandung dan ternyata suporter Persebaya jumlahnya cukup banyak, maka dikerahkan kereta api klas ekonomi untuk mengantar suporter itu pulang kampung. Mereka bisa tertib karena ketercukupan sarana transportasi tersebut. Hanya juga menjadi menarik, sebab ketika kereta itu melintas di Lamongan, maka serangan lemparan batu terhadap kereta itu juga terjadi. Kali ini tentu datang dari suporter Persela Lamongan.

Saya lalu menjadi teringat, ketika Persebaya melawan Persela di Stadion Jokotingkir Lamongan. Saat itu saya pulang ke Tuban dan kembali sore hari, ketika pertandingan antara dua tim sepakbola ini berakhir. Maka di jalan antara Tuban-Babat, tepatnya di sebelah timur pertigaan Tuban-Bojonegoro, saya diberhentikan oleh polisi. Semua saya berpikir apa yang salah dalam perjalanan saya. Tetapi kemudian polisi itu dengan hormat memberitahu agar saya lewat Tuban-Gresik-Surabaya lewat pantura. Katanya, nanti di Lamongan akan bertemu dengan suporter sepakbola dua tim itu. Agar perjalanan saya aman, polisi dengan santun mempersilahkan saya lewat pantura saja.

Benar saja, saya memang harus lewat pantura meskipun jaraknya menjadi lebih jauh karena harus berputar, tetapi melihat arahan polisi itu saya menjadi mafhum. Dan menjadi lebih mafhum lagi ketika saya di Malang memperoleh perlakuan yang kurang enak, yaitu dengan terpaksa diberhentikan oleh suporter yang sedang menguasai jalanan.

Saya jadi teringat bahwa sepakbola memang olahraga yang sangat populer dan menjadi idola dari banyak orang. Mereka adalah fans yang seakan menyerahkan seluruh energinya untuk membela klub yang disayanginya. Bahkan mereka juga bangga menjadi fans suatu klub sepakbola. Mereka rela antri, berdesakan dan bahkan terkadang nyawa pun dipertaruhkan.

Sepakbola memang memiliki magnit luar biasa. Sepakbola bisa menyedot fansnya untuk berbuat apa saja. Sepakbola itu seperti candu yang memabukkan. Dan  membuat orang lupa akan siapa dirinya.   Sepakbola telah membuat rasio tidak lagi berguna dan yang ada hanya emosi dan perasaan in group. Sehingga siapa saja yang berada di luar (out group) adalah lawannya. Tidak perduli, apakah yang dihadapinya itu suporter lawan atau hanya sekedar orang yang numpang lewat jalan saja.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini