KETEGARAN SEORANG ANTASARI
Saya memang tidak secara terus menerus mengikuti persidangan kasus Antasari Azhar yang direlay oleh stasiun TVone. Hanya sesekali saja. Itupun juga tidak secara utuh. Sepotong-sepotong. Tentu saja karena waktu yang sangat terbatas untuk mengikutinya. Pekerjaan kantor tentu menyita cukup banyak waktu untuk mengerjakan pekerjaan rutin, baik yang terkait dengan pekerjaan administratif maupun akademis. Makanya kesempatan untuk melihat televisi menjadi sangat terbatas. Tetapi itu bukan berarti tidak care terhadap situasi di luar, tetapi semata-mata karena waktu memang hanya 24 jam, tidak bisa lebih.
Saya dan kiranya banyak orang menjadi terkejut ketika jaksa menetapkan hukuman mati bagi Antasari Azhar. Keterkejutan itu tentunya didasari oleh kenyataan bahwa ada kasus serupa yang keterlibatan tersangkanya jauh lebih kentara, tetapi tidak dituntut dengan hukuman mati. Tetapi dalam kasus Antasari—yang konon katanya lebih kental nuansa politik ketimbang kasus hukumnya—ternyata harus terkena palu godam. Hukuman mati. Pro dan kontrapun merebak, sehingga di koran-koran banyak tulisan yang menganggap bahwa penetapan hukuman mati tersebut sangat ambisius dan berlebihan.
Memang terhadap hukuman mati masih terdapat pro dan kontra. Ada yang menganggap bahwa hukuman mati bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) yang meniscayakan bagi manusia untuk berubah dan memperbaiki perilakunya. Sementara itu, ada juga yang menganggap hukuman mati adalah bagian dari proses hukum yang harus ditegakkan, agar orang tidak lagi melakukan hal yang sama. Saya bukan ahli hukum, sehingga tidak ingin memasuki ranah yang rumit ini, apalagi memberikan komentar tentang hal itu.
Bagi saya yang penting adalah bagaimana hukuman diberikan kepada seseorang dengan memperhatikan keadilan substantif. Suatu istilah yang paling disukai oleh Prof. Abdul A’la, tentang hal-hal yang bercorak substantif. Ada Islam substantif dan ada pula keadilan substantif. Keadilan substantif tentu saja tidak menghilangkan keadilan formal, yaitu keadilan yang didasarkan oleh aturan-aturan yang kaku, tetapi menjadi fleksibel ketika aturan tersebut bertemu dengan dimensi kemanusiaan.
Sayyidina Umar RA, salah seorang Khulafaur Rasyidin, pernah melakukan substantifikasi hukum dan keadilan ketika beliau harus mengadili orang yang mencuri karena keterpaksaan. Dia harus memberi makan anaknya, sementara itu dia tidak memiliki sejumput makanan apapun. Hukum mencuri adalah potong tangan. Tidak ada eksepsinya. Bahkan digambarkan oleh sebuah teks, yang menyatakan seandainya Fatimah RA, putri Nabi Muhammad saw mencuri, maka akan berlaku hukum potong tangan padanya. Akan tetapi Sayyidina Umar, justru berpikir substansi hukum ketimbang formalitas hukum. Seseorang yang ketangkap mencuri, tetapi karena keterpaksaan tersebut, maka Sayyidina Umar tidak memotong tangannya, tetapi dengan hukuman yang lain.
Kasus Antasari memang sangat banyak menyita perhatian masyarakat. Makanya, media juga menayangkan penyidangan kasus tersebut dalam liputan eksklusif. Bahkan untuk menarik minat pemirsa, juga dipadu dengan tayangan infotainment, misalnya ada analisis yang dilakukan oleh para ahli hukum, sosial dan politik untuk meramaikan peristiwa tersebut. Jadi, persidangan pun bisa jadi tontonan yang menarik jika ditayangkan di televisi. Akhir-akhir ini banyak kasus hukum yang ditayangkan melalui televisi dan radio. Tentu saja, ada aspek positifnya, bahwa semua menjadi transparan. Namun juga ada aspek negatifnya, sebab ada hal-hal yang terkadang seharusnya tidak pantas diungkapkan ternyata tertayangkan. Tentu semua maklum, sebab semuanya terjadi karena tayangan langsung.
Tulisan ini memang ditulis tidak untuk memberikan dukungan atau apapun untuk Antasari Azhar. Tulisan ini juga jangan ditafsirkan untuk memberikan dukungan moral untuk hakim atau lainnya. Akan tetapi hanya menguraikan seulas saja tentang bagaimana ketegaran Antasari Azhar dalam menghadapi sidang-sidang yang melelahkan. Melalui proses hukum seperti itu tentu sangat berpotensi membuat seseorang menjadi stress. Tidak terkecuali siapapun.
Namun mengamati secara selintas terhadap apa yang ditampilkan oleh Antasari Azhar dalam menghadapi sidang yang ketat dan melelahkan tersebut, ternyata Antasari sangat tegar dan terkesan the show must go on. Dia memang harus menghadapinya. Apapun yang akan terjadi, terjadilah. Dan mungkin juga meyakini, bahwa semua sudah ada kepastiannya dari atas sana. Hanya saja, dia harus tetap berani menyatakan apa yang dilakukannya dan apa yang tidak dilakukannya.
Dan di atas semua itu, tentunya juga ada Dzat yang Maha Tahu tentang apa yang benar dan apa yang direkayasa. Kita semua akan mengetahui beberapa pekan ke depan, bagaimana nasib Antasari Azhar yang sekarang tengah berjuang untuk meloloskan diri dari jerat hukum yang melilitnya.
Wallahu a’lam bi al shawab.