MEMBANGUN INTEGRITAS DARI YANG KECIL
Berita di Jawa Pos (22/01/10), tentu sangat menarik. Kios koran milik Bagus Susilowanto dijadikan sebagai cara untuk mengajak berbuat jujur. Dan menurut pengalaman pemiliknya, bahwa setahun terakhir pelanggan selalu bayar. Ayo Jujur, demikianlah nama kios koran yang terdapat di Sidoarjo, Jawa Timur. Di kios kejujuran tersebut tertulis dengan tegas: “Jangan Berbuat Zalim” di selembar kertas ukuran folio yang di tempel di kios kejujuran tersebut. Untuk para pembeli, cukup menaruh uangnya di kotak gabus yang diletakkan persis di bawah tulisan “Jangan Berbuat Zalim”. Di situ ada tulisan, “Tempat Bayar Koran dan Tabloit”. Kios koran itu tidak ada yang menjaga, sehingga pembeli langsung bisa mengambil koran dan membayarnya sendiri.
Sebenarnya, konsep kejujuran dengan memulainya dari yang kecil, sudah dilakukan oleh beberapa lembaga. KPK misalnya sudah merilis warung kejujuran. Demikian pula beberapa lembaga pendidikan juga sudah melakukannya. Di antara pengalaman membangun kejujuran lewat warung tersebut juga bervariasi. Ada yang berhasil dan ada juga yang kurang berhasil. Namun demikian, pengembangan nuansa kejujuran lewat cara-cara seperti ini tentu harus diapresiasi sebagai model untuk membangun integritas di kalangan komunitas-komunitas.
Kejujuran adalah konsep yang sangat universal. Semua agama mengajarkan kejujuran sebagai pilar di dalam membangun relasi antar manusia. Islam bahkan sangat mengapresiasi terhadap kejujuran tersebut dalam ajarannya. Ketika Muhammad, Saw dijadikan utusan oleh Khadijah –seorang pedagang perempuan yang kaya raya—ke negeri Syam untuk berdagang, maka Muhammad Saw menerapkan konsep kejujuran tersebut di dalam perdagangannya. Makanya beliau mendapatkan julukan al-Amin, orang yang bisa dipercaya, sebagai manifestasi kejujurannya dalam berdagang. Karena kejujurannya itu pula, maka Beliau dipilih untuk menjadi orang yang akan menempatkan kembali kiswah di Ka’bah, ketika hampir saja terjadi konflik karena berebut siapa yang akan menempatkan kembali kiswah tersebut. Maka, kemudian ditunjuklah Muhammad Saw dan kemudian Beliau meminta kepada seluruh pimpinan kabilah di sekitar Ka’bah untuk memegangnya. Maka, terpasanglah kiswah itu dan konflik antar suku dapat dihindarkan.
Untuk berbuat jujur memang tidak mudah, apalagi di tengah tuntutan kehidupan yang semakin keras. Di tengah kehidupan yang semakin materialis dan konsumtif yang semuanya membutuhkan penggunaan uang, maka semua orang mengejar uang sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan ini. Saya jadi teringat dengan Lagunya Rhoma Irama, di tahun 1980-an yang mendendangkan lagu Melayu berjudul “Rupiah”. “Banyak orang menjadi gila, itu karena rupiah”, begitu kata Rhoma Irama.
Kehidupan memang menjadi sangat keras. Dunia kepentingan menjadi sesuatu yang tidak terhindarkan. Orang berkepentingan untuk menjadi kaya, menjadi terkenal, menjadi sejahtera dan sebagainya. Hanya saja terkadang menggunakan cara-cara yang tidak senonoh. Untuk menjadi kaya, maka orang lalu korupsi. Untuk menjadi terkenal, orang lalu melakukan kolusi. Dan orang ingin sejahtera tetapi melalui penyelewengan kekuasaan. Semuanya dilakukan karena rendahnya integritas di dalam dirinya.
Betapa masih banyak orang yang menyelewengkan kekuasaan untuk meraih uang. Betapa masih banyak orang yang menggunakan jabatannya untuk meraih kekayaan. Banyaknya pejabat negara, politisi dan tokoh masyarakat yang dihukum akhir-akhir ini dalam kasus korupsi, tentu menandakan bahwa integritas tersebut belum menjadi kesadaran di antara semua warga masyarakat. Ada semacam tindakan permissiveness yang terkait dengan pengelolaan anggaran.
Di tengah kemiskinan yang masih mendera, terbukti dengan masih adanya seorang Ibu yang mencuri sebotol susu untuk anaknya, maka juga banyak orang yang sudah kaya, tetapi masih menggunakan uang negara untuk kepentingan pribadi. Ini semua menandakan bahwa masih ada sesuatu yang salah di dalam diri. Yaitu rendahnya kejujuran sebagai bagian integral di dalam sistem kehidupan. Terhadap yang miskin kemudian melakukan pencurian untuk kepentingan yang jelas, maka negara seharusnya memikirkannya. Tetapi terhadap yang kaya yang melakukan pencurian sistematis, maka negara juga harus melakukan tindakan yang sepadan.
Mungkin saja, kita memang harus mendorong agar semua orang memiliki konsern terhadap kejujuran ini. Jika Bagus Susilowanto melakukan dalam skala kecil, Kios Kejujuran, maka yang besar, para pejabat, politisi dan tokoh masyarakat juga harus berani melakukannya. Jangan sanpai terjadi ironi. Yang “kecil” berani dan berhasil, sementara yang “besar” justru tidak berani melakukan dan tentu saja pasti tidak akan berhasil.
Jadi, memang harus ada yang memulai untuk melakukannya.
Wallahu a’lam bi al shawab.