KEBENARAN AGAMA: AINUL YAQIN, ILMUL YAQIN DAN HAQQUL YAQIN
KEBENARAN AGAMA: AINUL YAQIN, ILMUL YAQIN DAN HAQQUL YAQIN
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Akhir-akhir ini pembicaraan tentang relasi agama-agama sedang booming. Perbincangan tersebut terutama melalui channel Youtube, yang hingar bingar. Kita tentu bergembira dengan perbincangan relasi agama-agama karena tentu akan membawa kepada pendewasaan bagi pemeluk agama. Tentu yang diharapkan adalah semakin meningkatnya pemahaman agama yang benar dengan tetap berpegang teguh pada toleransi beragama yang selama ini telah menjadi ciri khas di dalam kehidupan beragama di Indonesia.
Selasa, 10/09/2024, jamaah Masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency yang tergabung di dalam Komunitas Ngaji Bahagia (KNB) mendapatkan asupan spiritual yang terkait dengan menemukan kebenaran agama berdasarkan metode ‘ainul yaqin, ilmul yaqin wa haqqul yaqin. Ketiganya merupakan metode yang bisa dijadikan sebagai sarana untuk menemukan kebenaran agama.
Agama memang menyajikan kebenaran yang bersifat mutlak. The ultimate concerned. Kebenaran mutlak tersebut misalnya terkait dengan kebenaran Tuhan. Keberadaan Tuhan merupakan bagian dari truth Claimed yang tidak bisa dibantah. Dalil kemutlakan Tuhan itulah yang menjadi ciri khas keyakinan di dalam beragama. Selama ini kita memahami agama itu lebih banyak dimensi doktrinernya terutama terkait dengan rukun iman. Keberadaan Allah, Malaikat, Rasul, Kitab Suci, Surga dan neraka, Hari Kiamat, serta Takdir merupakan doktrin keimanan yang harus diyakini. Tanpa melalui kajian atau pendalaman, tentu ada di antara kita yang langsung mengucapkan “Tidak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah”. Ini merupakan doktrin yang harus diyakini kebenarannya tanpa ragu-ragu.
Di dalam pengajian di KNB saya sampaikan tiga hal terkait dengan cara dalam mempelajari kebenaran agama, khususnya Islam. Pertama, kajian yang bertumpu pada konsep ‘ainul yaqin. Konsep ini bisa diterjemahkan sebagai kajian berdasarkan atau melalui pengindraan. Ada perluasan makna dari ‘ain atau mata menjadi penginderaan. Jika dimaknai sebagai penginderaan maka seluruh panca indera kita bisa digunakan untuk memahami ajaran agama. Karena penginderaan, maka yang dipahami adalah hal-hal yang bersifat bendawi. Di dalam Islam disebut sebagai ciptaan Tuhan. Khalqillah. Islam mengajarkan agar manusia belajar tentang ciptaan Allah. Ciptaan yang bersifat material atau bendawi. Tafakkaru fi khalqillah. Manusia diminta oleh Allah untuk memahami ajaran agama tersebut berdasar atas apa yang dipahami dari penginderaannya. Kita diberi seperangkat alat penginderaan, seperti mata, telinga, hidung, dan sebagainya yang berfungsi untuk mengenal ciptaan Allah. Dari mengenal ciptaan Allah itulah akhirnya kita sampai pada kesepahaman bahwa semua yang diciptakannya itu adalah untuk mempelajari akan keberadaan Allah. Kita diberi kecerdasan untuk memilah mana yang benar dan mana yang salah. Jika kita mendengar tentang kebenaran maka kita akan membenarkannya, dan sebaliknya. Jika kita melihat matahari, lalu berpikir bahwa matahari tentu ada yang menciptakannya. Jika kita menghirup udara segar, maka dipastikan bahwa udara yang segar itu juga ada yang menciptakannya. Demikanlah seterusnya.
Kedua, konsep ‘ilmul yaqin. Yaitu cara menemukan kebenaran melalui ilmu pengetahuan. Kebenaran penginderaan bisa menghasilkan kebenaran, akan tetapi kebenaran yang dihasilkannya tentu sangat terbatas pada kemampuan manusia untuk menginderakannya atau melihat, mendengar, merasakan dan sebagainya. Melalui pendekatan ilmul yaqin, maka kebenaran itu akan lebih meyakinkan. Misalnya kita mendengar dari para penceramah agama tentang proses penciptaan manusia di dalam Alqur’an. Dimulai dari masuknya sperma ke dalam Rahim perempuan. Lalu jadilah manusia. Dengan pendekatan doktriner, kita yakin kebenarannya. Tidak ragu-ragu. Kita mendengar bahwa Fir’aun tenggelam di kala mengejar Nabi Musa. Kita mendengar ada sejumlah pemuda yang tertidur di Goa selama 3.5 abad, dan sebagainya. Kita semua mendengarnya dari teks suci Alqur’an. Maka secara doktriner kita wajib mempercayainya.
Kebenaran ilmu pengetahuan itu melalui verifikasi. Jadi harus diverifikasi apakah pernyataan di dalam Alqur’an tersebut apa benar. Ternyata bahwa dunia sains atau dunia ilmu pengetahuan membenarkannya. Misalnya kajian tentang penciptaan manusia di dalam Aqur’an, atau kebenaran Fir’aun tenggelam di Laut Mati melalui kajian atas mumminya, atau keberadaan pemuda Ashabul Kahfi berdasarkan manuskrip Laut mati atau dokumen Qumron. Yang lagi mengedepan sekarang tentang nasab Kaum Ba’alawi. Berdasarkan cerita-cerita di dalam berbagai teks ada yang menyatakan sanadnya tersambung kepada Rasulullah. Tetapi lalu dikaji dengan ilmu nasab atas keberadaan tokoh Ba’alawi atas kitab-kitab sezaman, maka tidak didapati tokoh historis dimaksud. Berdasarkan kajian ilmiah yang dilakukan Kyai Imad, maka akan menghasilkan ilmul yaqin, bahwa nasab Ba’alawi tidak tersambung kepada Rasulullah. Ini berdasar atas ilmu yang menggunakan prinsip verifikasi. Ilmu merupakan system pengetahuan berbasis riset atau penelitian untuk menghasilkan kebenaran ilmiah atau teori.
Ketiga, haqqul yaqin. Kebenaran yang diyakini kebenarannya atau kebenaran sebenar-benarnya. Haqqul yakin adalah kebenaran yang diperoleh melalui kebenaran observasional atau penginderaan lalu dikaji secara ilmiah dan akan menghasilkan kebenaran yang asasi. Kita akan semakin meyakini kebenaran Alqur’an setelah membaca hasil penelitian atau mendengarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh para ahli di bidangnya. Fir’aun tenggelam telah didapatkan hasil penelitiannya, Ashabul Kahfi sudah didapatkan verifikasi atas kebenarannya, kita mendapatkan hasil kajian tentang bulan pernah terbelah. Semua ini menggambarkan bahwa melalui ilmu yaqin, maka yang semula doktriner akhirnya menjadi kenyataan dalam ilmu pengetahuan. Hal ini yang saya sebut sebagai kebenaran yang sebenar-benarnya atau kebenaran asasi atau kebenaran hakiki. Dalam design Tuhan lalu ada perangkat test DNA untuk menguji nasab siapa dari siapa.
Di dalam Alqur’an dikenal konsep afala tubsirun atau apakah kamu melihatnya atau dimensi penginderaan lalu menjadi afala ta’qilun atau memikirkannya melalui kesadaran dan akhirnya menjadi afala tadzakkarun atau membenarkannya dengan kesadaran. Sesungguhnya prinsip di dalam menemukan kebenaran tersebut dapat dikomparasikan dengan prinsip di dalam menemukan kebenaran di dunia sains yaitu empiric sensual atau observasional, lalu empiric rasional atau empiris berbasis pemikiran, lalu empiris etis atau dibenarkan berbasis pada etika dan yang terakhir kebenaran berbasis empiric transcendental atau keyakinan atas kegaiban di dalam kehidupan.
Wallahu a’lam bi al shawab