• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

ALQUR’AN KITAB SUCI ORISINAL (2)

ALQUR’AN KITAB SUCI ORISINAL (2)

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Tulisan ini bukanlah termasuk dalam kajian tafsir atas Alqur’an akan tetapi lebih banyak dan bercorak kajian sosiologis-historis. Oleh karena itu jika kemudian terdapat pembacaan atas suatu ayat atau penjelasan tentang ayat Alqur’an bukan berarti berada di dalam kawasan tafsir tetapi hanya merupakan terjemahan dan pemahaman secara umum saja.  Hal ini perlu ditegaskan agar kita bisa memahami bahwa sebuah tulisan tentang Alqur’an tidaklah mesti berada di dalam ilmu tafsir akan tetapi bisa juga sosiologis, antropologis atau historis.

Alqur’an memang diturunkan di dalam Bahasa Arab, sebagai bahasa yang digunakan oleh Allah kepada umat Nabi Muhammad SAW yang memang pada awalnya berbahasa Arab. Oleh karena itu untuk memahami tafsir Alqur’an tentu saja harus menguasai Bahasa Arab dengan berbagai tata bahasanya, kosa katanya, langgam bahasanya, dan makna umum atau khasnya. Orang tidak hanya cukup untuk memahami Alqur’an melalui penguasaan Bahasa Arab secara umum, akan tetapi harus memahami ilmu nahwu, Sharaf, balaghah, ilmu arudh, ilmu qiraat dan sebagainya. Belum lagi ragam metodologi penafsiran, misalnya tafsir maudhui, tafsir ijmali, tafsir ra’yi, tafsir riwayah, dan sebagainya.

Salah satu keuntungan dari kodifikasi atas teks Alqur’an pada masa Usman bin Affan adalah memastikan bahwa urutan surat, ayat dan tulisan dalam Alqur’an dipastikan tidak berbeda dengan hafalan dan tulisan di dalam Alqur’an. Jadi Alqur’an yang kita baca sekarang dengan Alqur’an pada zaman Usman bin Affan dan masa tabiin dan tabiit-tabin tersebut sama. Yang berbeda adalah gaya penulisan,  bentuk tulisan dan cara membacanya. Yang saya maksud dengan gaya penulisan tentu terkait dengan model khat atau tulisan yang berkembang sesuai dengan tradisi pada masyarakatnya. Misalnya khat atau tulisan cetakan Alqur’an India atau mushaf India dan cetakan Singapura atau cetakan Mesir tentu bisa berbeda.

Alqur’an memang sudah lama dicetak, cetakan pertama dilakukan di Hamburg Jerman tahun 1694 pada Percetakan Abraham  Hincklemann dengan cetakan lengkap, ada tanda baca, tanda huruf, dan penomoran ayat. Cetakan ini menggunakan qiraat Ashim atas Riwayat  Hafs. Kemudian   misalnya cetakan India tahun 1870 M, sedangkan Alqur’an cetakan Singapura pada tahun 1860. Lalu ada cetakan Mesir tahun 1924 dan 1926. Di dalam cetakan Mesir tersebut tidak didapatkan harakat. Tetapi untuk cetakan India dan Singapura menggunakan harakat. Itulah sebabnya Alqur’an cetakan India dan Singapura banyak beredar di Indonesia. Cetakan Alqur’an yang sekarang di Indonesia, tentu diilhami oleh Alqur’an cetakan India dan Singapura dimaksud. Alqur’an dicetak dengan harakat tentu untuk memudahkan bagi masyarakat Nusantara yang tidak menguasai Bahasa Arab.

Alqur’an yang dicetak di Mesir tidak berharakat sebab masyarakat Mesir adalah masyarakat pengguna Bahasa Arab, sehingga lebih mudah untuk dapat membaca Alqur’an dan selain itu juga untuk kepentingan menjaga berbagai ragam bacaan di dalam Alqur’an. Pemerintah Mesir pada tahun 1924 juga menyelenggarakan upaya untuk membakukan bacaan Alqur’an dan dipililah bacaan Ashim atas Riwayat Hafs. Alqur’an cetakan Mesir ini kemudian disebarkan di seluruh dunia.

Sesuai dengan penuturan Menachem Ali, bahwa dari sisi tulisan atau rangkaian huruf maka tidak ada perbedaan antara satu dan lainnya. Meskipun berbeda cetakan dan tempat pencetakan Alqur’an, akan tetapi sama saja dalam teksnya. Yang berbeda adalah cara membacanya. Kita mengenal ada yang disebut sebagai Qira’ah Sab’ah atau tujuh cara membaca Alqur’an. Cara membacanya bukan teksnya. Juga dikenal ada qiraah asyrah atau bacaan 10 cara membaca Alqur’an.

Di dalam perkembangnya maka dikenal ada tujuh ragam bacaan Alqur’an. Berdasarkan nuonline (30/10/2021) dinyatakan ada tujuh imam di dalam bacaan Alqur’an. untuk memudahkan membacanya maka saya sebut nama-nama terakhirnya atau depannya saja, meskipun juga nama kepanjangannya. Yaitu Imam Nafi’ (Imam Nafi’ ibn Abdurrahman), Imam Ibn Katsir (Imam Abdullah Ibn Katsir), Imam  Amar (Imam Abu Amar Zabban ibn Al A’la Al Bashri),  Imam Abdullah (Imam Abdullah  ibn Amir al Syami), Imam Ashim (Imam Ashim bin Abi Al Najud al Kufi), Imam Al Zayyat (Imam Hamzah al Zayyat), dan Imam Hamzah (Imam Ali ibn Hamzah al Kissai).

Perbedaan atas langgam bacaan juga berimplikasi atas cara membacanya, sehingga jika orang tidak hati-hati akan beranggapan bahwa ada banyak versi di dalam Alqur’an. Jadi yang berbeda adalah cara membacanya, bukan teksnya. Semua teks Alqur’an sudah teruji tidak ada perbedaan. Satu teks adanya. Berdasarkan atas manuskrip-manuskrip yang didapatkan, maka diketahui bahwa urutan surat dan ayat di dalam Alqur’an teruji kesahihannya. Suatu contoh di manuskrip kuno Alqur’an di dalam Museum Birmingham, yang hanya tiga surat, ternyata susunan surat dan ayatnya sama dengan susunan surat dan ayat di dalam teks Alqur’an di dalam Mushaf Usman bin affan.

Kita tentu bersyukur bahwa Alqur’an yang kita yakini itu mengandung kesahihan dan terjaga thula makan wa  zaman, sepanjang tempat dan sepanjang waktu, yang menggambarkan bahwa Alqur’an itu memang benar-benar terjaga. Yang Alqur’an sudah terjaga secara azali, dan yang hadits dijaga melalui kehadiran imam-imam hadits yang melakukan seleksi secara akurat dan tepat.

Dua sumber hukum Islam sebagaimana terdapat di dalam Islam sungguh dapat menjadi sandaran atau pedoman tentang bagaimana kita membangun relasi dengan Allah, dengan sesama manusia dan dengan alam semesta.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

 

Categories: Opini
Comment form currently closed..