• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

BERDZIKIR DALAM ISLAM

BERDZIKIR DALAM ISLAM

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Di dalam Alqur’an sebagaimana pedoman utama dalam ajaran Islam ada banyak ungkapan yang menunjukkan tentang keutamaan dzikir. Di dalam konteks ini, dzikir diartikan sebagai upaya untuk membaca kalimat thayyibah sebagaimana diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW dan diteruskan oleh para ulama sebagai pewaris para Nabi. Ada banyak jenis ucapan di dalam kalimat thayyibah, misalnya la ilaha Illallah, Allahu Akbar, Subhanallah, Alhamdulillah, Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammad, Ya hayyu Ya Qayyum, Ya Lathif, Ya Jalal Ya Qahhar, Ya Rahman Ya Rahim dan sebagainya.

Dzikir secara bahasa berarti mengingat. Dari akar kata dzakara atau mengingat. Makanya berdzikir kepada Allah berarti mengingat akan keberadaan Allah. Berdzikir itu tidak sama dengan berpikir. Artinya bahwa jika berpikir menggunakan kemampuan otak atau akal atau rational intelligent, maka berdzikir itu ada kaitannya dengan perasaan, hati atau qalbun. Makanya sumber dzikir adalah hati. Kata mengingat itu sudah melampau proses kesadaran. Berdzikir itu memanggil kembali atas hal-hal yang pernah diketahui atau dipahami dan sudah bersemayam di dalam gudang inderawi atau sensory storage, lalu pada suatu saat dipanggil kembali.  Di dalam sensory storage itu  terdapat jutaan konsep atau kata atau relasi antar konsep, kata, fakta dan realitas yang saling terhubung secara sistemik.

Dari perluasan makna, maka kata tadzakkarun juga dimaknai mengambil pelajaran. Kata mengambil pelajaran memiliki keterkaitan dengan mengingat. Mengambil  pelajaran berarti atas sesuatu yang sudah dipahaminya atau diketahuinya. Dengan memahami dan mengetahui maka akan dapat mengambil pelajaran. Orang bisa mengambil pelajaran jika yang bersangkutan menyadari atas apa yang menjadi kesadarannya.

Di dalam surat An Nahl ayat 17 dijelaskan: ”afamay yakhluqu kamal la yakhliqu afala tadzakkarun”, yang artinya: “Maka apakah (Allah) yang menciptakan itu sama dengan yang tidak dapat menciptakan (apa-apa), maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran.” Ayat ini sesungguhnya merupakan cara Allah untuk mengingatkan kepada kaum musyrik tentang perilaku mereka dalam menyembah berhala. Mereka yang menciptakan berhala dan kemudian disembahnya. Di sini Allah mengajarkan bahwa yang seharusnya disembah adalah Dzat yang Maha Pencipta, bukan benda-benda yang tidak dapat menciptakan apa-apa.

Dengan menggunakan logika, maka tidak mungkin manusia menyembah berhala yang diciptakannya. Mestinya berhala yang menyembah manusia yang menciptakannya. Jika diperdalam, maka manusia tidak jadi atau eksis dengan sendirinya, alam juga tidak terjadi dengan sendirinya, alam yang teratur dalam perjalanannya dipastikan ada Dzat yang Maha Kuasa untuk menciptakannya. Ada creator yang Maha Tahu dan Maha Kuasa untuk menciptakan keteraturan alam. Kecanggihan  penciptaan manusia dan kecanggihan dalam menjaga bagaimana agar alam berjalan sesuai dengan kodratnya merupakan obyek yang diciptakan oleh subyek yang hebat tak tertandingi. Tidak mungkin keteraturan terjadi dengan tiba-tiba tanpa ada yang menciptakannya. Ada kebenaran dari hipotesis tentang “The Supreme Being” atau “agen utama penciptaan alam” atau “ada akal sempurna sebagai pencipta alam semesta”.

Di dalam ayat di atas dijelaskan bahwa tidak sama antara yang dicipta dan mencipta.  Di dalam berbagai cerita tentang kenabian, maka dapat dipahami bahwa pada saat manusia berada di dalam masa yang jauh dari Nabi sebagai penyebar ajaran agama, maka manusia lalu membuat kreasi untuk menciptakan berhala-berhala yang disembahnya. Mereka menyatakan bahwa berhala adalah lambang atau symbol Tuhan. Mereka menyembah simbolnya dan bukan menyembah atas hakikat Tuhannya. Bagi mereka berhala adalah lambang Tuhan di dunia, sehingga mereka menyembahnya. Berhala dibuat oleh ahlinya, dan kemudian ditempatkan di suatu tempat yang dianggap sacral lalu disembahnya.

Fir’aun menciptakan patung dirinya untuk disembah oleh masyarakatnya. Fir’aun adalah Tuhan dan patungnya adalah simbolnya. Sama dengan Namrudz yang mengaku dirinya Tuhan, dan kemudian ahli patung diminta untuk membuat patungnya dan masyarakat dipaksa menyembahnya. Di dalam cerita tentang Nabi Ibrahim, maka ada patung besar dan patung-patung kecil, semua ditempatkan di tempat yang dianggap suci dan kemudian mereka melakukan upacara keagamaan di tempat tersebut. Kala patung yang kecil dirusak oleh Nabi  Ibrahim AS, maka Ibrahim AS menyatakan bahwa yang merusak patung kecil adalah patung yang besar, maka mereka beranggapan bahwa patung tidak dapat merusak lainnya. Jadi, sesungguhnya mereka paham dan mengerti bahwa patung tidak dapat melakukan apapun. Akan tetapi karena doktrin yang dipaksakan atas masyarakat maka mereka melakukannya.

Afala tadzakkarun sesungguhnya merupakan teguran Allah kepada manusia agar bisa memahami dan belajar atas berbagai realitas social yang ada di sekelilingnya. Ayat ini secara spesifik memberikan pemahaman kepada manusia agar bisa membedakan antara yang benar dan yang salah. Antara yang rasional dan tidak rasional. Antara yang haq dan bathil. Manusia dengan akal dan rasio yang dimilikinya selayaknya bisa membedakannya. Dari pembelajaran atas akal tersebut maka akhirnya dapat dijadikan sebagai pencerahan batin. Dari pencerahan pikiran ke pencerahan batin. Sebuah system yang diciptakan oleh Tuhan hanya untuk manusia dan bukan untuk makhluk lainnya.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

Categories: Opini
Comment form currently closed..