RASIONALITAS MENJADI UIN
Kemarin, Rabu, 20 Januari 2010, saya diwawancarai oleh kawan-kawan wartawan Solidaritas, majalah yang diterbitkan oleh Pers Mahasiswa IAIN Sunan Ampel (SA). Mereka bertanya seputar keinginan untuk menjadi UIN. Bukan wawancaranya yang penting, tetapi adalah keinginan mahasiswa yang sangat besar untuk memperoleh informasi tentang seputar konversi IAIN SA menjadi UIN itulah yang sangat patut untuk diapresiasi. Apalagi pertanyaannya sudah menggunakan model investigated news, artinya sebelum mewawancarai saya, mereka sudah melaukan pelacakan informasi ke sejumlah mahasiswa dan juga dosen IAIN SA.
Tentu saja ada sejumlah alasan mengapa harus menjadi UIN di era yang penting ini. Sesungguhnya keinginan untuk menjadi UIN bukan tidak ada pada 6 tahun terakhir, akan tetapi sebagaimana yang sering kita dengar dari Pak Menteri, Mohammad M. Basyuni –kala itu—maka sudah tidak lagi diperkenankan untuk menjadi UIN bagi IAIN Sunan Ampel dan lainnya. Bagi Pak Menteri waktu itu, bahwa harus tetap ada yang menjadi IAIN, jangan semua menjadi UIN. Begitulah alasan yang sering kita dengar dari Pak Menteri. Berangkat dari keinginan Pak Menteri seperti itu, maka IAIN Sunan Ampel tentunya tidak mungkin berubah.
Tetapi waktu berjalan terus dan perubahan-perubahan demi perubahan juga tidak dapat ditolak. Maka tentu ada saatnya untuk mencoba dan berusaha secara maksimal agar IAIN SA memperoleh kesempatan untuk melakukan konversi ke arah UIN dimaksud. Namun, tentunya untuk menjadi UIN juga bukan sesuatu yang mudah, sebab ada sejumlah tantangan yang jarus dipenuhi, baik tantangan internal mapun eksternal.
Untuk menjadi UIN tentunya ada sejumlah alasan. Pertama, tantangan ke depan yang semakin kompleks dan kebutuhan yang semakin banyak. Perguruan tinggi tentu diharuskan untuk merambah kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks. Perguruan tinggi (PT) tentu harus menyikapi perubahan sosial secara arif dengan menentukan sejumlah tindakan yang dianggap tepat dan penting. Tuntutan eksternal ini tentunya mengharuskan PT untuk selalu mengupdate program studi dan fakultasnya, bahkan kelembagaan payungnya agar terus relevan dengan tuntutan perubahan sosial dimaksud.
Kedua, IAIN memiliki potensi yang sangat kuat untuk berubah menjadi UIN. Komposisi dosen IAIN SA yang 60% studi agama dan 40% studi umum dalam berbagai variasinya adalah potensi nyata tentang kemungkinan IAIN berubah menjadi UIN. Sehingga IAIN SA tidak akan menghadapi kendala ketika harus berubah menjadi UIN. Dosen yang nantinya bergelar doktor dalam bidang kajian umum, yang jumlahnya semakin banyak, tentu saja relevan dengan perubahan nomenklatur institusi yang direncanakan.
Ketiga, perubahan menjadi UIN haruslah tetap berada di dalam jalur pengembangan ilmu keislaman multidisipliner. Jadi, core pengembangan keilmuan di UIN nantinya harus tetap berada di dalam konteks pengembangan ilmu Keislaman yang harus saling menyapa dengan ilmu umum yang memang diperlukan. Konsep twin tower yang kita gagas belakangan ini, akan sangat mudah dilakukan dengan menjadikan IAIN SA sebagai UIN. Ilmu keislaman bisa saling menyapa dengan Ilmu sosial, Humaniora dan ilmu alam. Dengan demikian, maka yang diharapkan adalah UIN berbasis Keislaman. Makanya, harus ada keseimbangan antara pengembangan ilmu keislaman dengan ilmu-ilmu umum.
Mungkin saja kita akan meniru model Cairo University dan al-Azhar university, di mana keduanya adalah universitas akan tetapi pengembangan ilmu keislaman sama sekali tidak berubah. Jadi kita tidak ingin menjadi Universitas Islam Indonesia atau Universitas Muhammadiyah, yang akhirnya ilmu keislaman harus menjadi kecil dan tidak berkembang.
Jadi, keinginan berubah tentu harus memenuhi persyaratan pengembangan keilmuan yang tetap consern terhadap pengembangan ilmu keislaman yang multidisipliner.
Wallahu a’lam bi al shawab.