HADIRKAN KEBIASAAN UNTUK BERBUAT BAIK
HADIRKAN KEBIASAAN UNTUK BERBUAT BAIK
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Kebiasaan tentu berangkat dari proses belajar panjang. Tidak sesuatu yang tiba-tiba. Kebiasaan datang setelah melalui perjuangan. Jadi jika kita ingin membiasakan suatu tindakan yang baik, maka persyaratannya harus dilakukan secara terus menerus dengan kesungguhan dan dengan keikhlasan. Inilah kata kunci yang disampaikan oleh Ustadz Sahid Sumitro, narasumber dalam acara mengaji bahagia pada Hari Selasa, 11/06/2024, ba’da shubuh. Ustadz Sahid adalah salah satu naras umber yang terbiasa mengaji di Komunitas Ngaji Bahagia (KNB) di Masjid Al Ihsan, Perumahan Lotus Regency Surabaya.
Sebelum membahas tentang kebiasaan berbuat baik, Ustadz Sahid terlebih dahulu membahas tentang hari raya kurban dan ibadah-ibadah yang terkait dengan hari raya dimaksud. Dijelaskan bahwa ibadah hari raya idul adha dan upacara berkorban adalah bagian dari ajaran Islam sebagaimana pernah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim AS. Pada waktu Nabi Ibrahim AS berpindah dari Mesir ke Mekah dengan anak semata wayangnya dan Hajar istrinya, maka Allah menguji kecintaan Nabi Ibrahim kepada Allah dengan cara untuk mengorbankan putra semata wayangnya tersebut.
Nabi Ibrahim mematuhi perintah Allah dengan mengorbankan Ismail tetapi sebagai wujud rahman dan rahimnya Allah SWT kepada hambanya yang mematuhinya, maka yang dikorbankan adalah seekor domba yang diturunkan oleh Allah dari surga. Tradisi berkorban dengan domba atau yang diperbolehkan oleh Nabi Muhammad SAW, berupa unta atau lembu atau kerbau, maka tradisi itu diteruskan hingga kini.
Kemudian dari perkawinan Nabi Ibrahim dengan Sarah, kemudian melahirkan Nabi Ishaq AS yang kemudian menurunkan Nabi Musa, Isa yang menjadi cikal bakal agama Yahudi dan Nasrani. Sedangkan dari Ismail kemudian menurunkan Nabi Muhammad sebagai Nabi yang mendakwahkan Islam kepada umat manusia. Bagi umat Islam, agama Nabi Ibrahim yang disebut agama Hanif sesungguhnya adalah agama Islam.
Di antara ibadah utama di bulan Dzulhijjah adalah menjalankan ritual haji di Mekah. Ibadah haji merupakan rukun Islam yang kelima tetapi dengan catatan bagi yang mampu atau secara ekonomi telah tercukupi untuk pergi haji ke tanah suci. Tetapi bagi yang belum mampu maka Allah juga memberikan petunjuknya agar dapat melakukan serangkaian ibadah seperti berkurban kambing atau sapi dan juga menjalankan puasa selama 9 hari mulai tanggal 1 Dzulhijjah sampai 9 Duzlhijjah atau Puasa hari Arafah saja, yaitu tanggal 9 Dzulhijjah. Dinyatakan bahwa siapa yang melaksanakan puasa Arafah maka akan dihapus dosanya setahun yang lalu dan setahun yang akan datang. Oleh karena itu, semoga kita dapat melaksanakan puasa, sekurang-kurangnya puasa Arafah, sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Jika kita bisa melakukannya, maka kita tentu bisa termasuk orang yang mendapatkan hidayah Allah SWT. Puasa 1-7 hari mulai tanggal 1-7 Dzulhijjah disebut puasa Dzulhijjah, puasa tanggal 8 Dzulhijjah disebut puasa Tarwiyah dan puasa tanggal 9 Dzulhijjah disebut puasa Arafah. Tanggal 10 Dzulhijah setelah shalat Idul Adha umat dilarang untuk menjalankan puasa, karena tanggal tersebut disebut sebagai Idul Adha.
Yang menjadi masalah adalah bagaimana membiasakan diri kita untuk melakukan ibadah-ibadah penting di dalam Islam. Misalnya shalat berjamaah, puasa Senin dan kamis, puasa sunnah lainnya, dan juga dzikir dan shalat malam dan sebagainya. Inilah yang sungguh menjadi problem umat Islam, termasuk kita semua yang mengaji hari ini. Berat rasanya kita akan melakukan hal-hal kebaikan yang diwajibkan dan juga disunnahkan di dalam ajaran Islam. Ada pepatah di dalam Bahasa Inggris: “every beginning is difficult”. Setiap permulaan pasti sulit.
Berdasarkan buku “Atomic Habits” karya James Clear, dinyatakan ada beberapa tips dalam rangka untuk membiasakan berbuat sesuatu, khususnya perbuatan yang bermakna kebaikan. Dengan modifikasi, Ustadz Sahid memaparkan tiga hal penting untuk belajar habit atau belajar membiasakan perbuatan baik dimaksud, yaitu:
Pertama, perkuat niat untuk melakukannya. Di dalam Islam tentu kita dapati dalil yang menyatakan: “innamal ‘amalu bi niyat”, sesungguhnya setiap amal perbuatan tergantung niatnya. Jadi harus ada niat yang kuat, niat yang didasari oleh keinginan yang kuat. Jika niatnya hanya separoh-separoh, maka dipastikan tidak akan menjadi kebiasaan. Misalnya kita berniat olah raga setiap hari, katakanlah jalan kaki saja, maka jika kita tidak sungguh-sungguh niatnya, maka tidak akan didapatkan upaya yang sungguh-sungguh.
Kedua, persiapkan diri secara sungguh-sungguh. Misalnya, kita ingin terbiasa untuk olah raga jalan kaki. Maka malam harinya persiapkan celana training, kaos, sepatu dan kaos kaki. Taruhlah di tempat yang ketika bangun pagi kita sudah mengetahui bahwa kita ingin olah raga. Maka pikiran dan hati kita akan mantap untuk berolah raga. Jangan pagi hari masih harus menyiapkan pakaiannya. Siapkan malam harinya, sehingga pagi hari kita sudah ready for going sport. Jangan tunda untuk lain hari jika kita sudah berniat dengan sebenarnya. Persiapkan diri dan mental untuk melakukannya.
Ketiga, habit akan bisa terjadi melalui proses berkelanjutan atau kontinuitas. Upayakan setiap malam menyiapkan pakaian untuk olah raga, maka pagi harinya hati dan pikiran kita akan tergerak untuk melakukannya. Terus lakukan setiap hari, maka kebiasaan itu akan hadir di dalam diri kita. Tidak ada kebiasaan atau habit tanpa upaya untuk menyiapkan pikiran dan hati kita secara sungguh-sungguh.
Demikian pula untuk ibadah. Niatkan yang kuat, persiapkan pikiran dan hati dan lama kelamaan akan menjadi kebiasaan. Jika kita sudah terbiasa, maka kala tidak melakukan terasa ada yang kurang. Jika sudah seperti ini, maka tindakan tersebut telah menjadi kebutuhan. Kita yang butuh ibadah, kita yang butuh dzikir, kita yang butuh untuk berbuat baik. Selamat mencoba.
Wallahu a’lam bi al shawab.