Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

LESSON LEARNED TENTANG KEHIDUPAN DAN KEMATIAN

LESSON LEARNED TENTANG KEHIDUPAN DAN KEMATIAN

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Selalu ada saja yang menarik di dalam acara tahsinan Alqur’an di Masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency Ketintang Surabaya. 23/05/2024. Acara tahsinan ini dipandu oleh Ustadz Alief Rifqi, Al Hafidz, Imam tetap masjid Al Ihsan. Seperti biasa bahwa acara ini selalu saja ada hal-hal menarik yang menjadi bahan pembicaraan. Ada humor, ada taushiyah dan ada juga penerjemahan ayat-ayat yang dibaca. Pada acara seperti ini, semua bisa menjadi narasumber.

Kali ini pembicaraan pengantar disampaikan oleh Pak Mulyanta, Ketua RW 8 yang menjadi pengikut setia di dalam Komunitas Ngaji Bahagia (KNB), yang digelar setiap hari Selasa ba’da shalat Shubuh dan juga acara tahsinan yang dilakukan setiap ba’da shubuh di Masjid ini. Meskipun pesertanya tidak membludak, tetapi anggotanya merupakan orang-orang yang sukses pada zamannya dalam berbagai profesi atau dalam profesi yang sedang dilakoninya.

Pak Mul, begitulah sesama kita menyebutnya,  bercerita tentang “kematian” dan hal-hal lain di sekelilingnya. Pak Mul bercerita tentang kematian seorang sahabatnya, dari daerah lain. Sahabatnya adalah orang yang sukses di dalam kehidupannya, anak-anaknya sukses di dalam perjalanan kehidupannya. Ada bahkan yang hidup di Amerika Serikat. Yang lain juga sukses hidup di Indonesia. Hanya sayangnya, anak-anaknya yang sukses tersebut berada di luar rumahnya atau kota tempat tinggalnya. Jauh dan tidak bisa setiap saat berada di dekatnya. Maklumlah mereka sudah memiliki pekerjaan dan harus bertanggungjawab atas kehidupan keluarganya. Di masa tuanya, sahabatnya ini harus hidup sendiri tanpa siapapun. Hidup seorang diri. Kala wafat,  sahabatnya ini berada d rumah saudaranya, sementara rumahnya sendiri kosong. Tentu doa kita untuk aktivis Islam ini adalah semoga amal kabaikannya diterima oleh Allah dan mendapatkan rahmat Allah SWT untuk menjadi barisan dari ahli surga. Bukankah setiap mengawali acara tahsinan selalu kita lantunkan doa: Allahumaghfir li wa li walidaiyya wa lil mu’minin wal mu’minat. Amin ya rabbal alamin”. Sebuah doa yang luar biasa yang tidak hanya untuk kepentingan diri tetapi juga untuk kepentingan umat Islam. Semua didoakan agar mendapatkan ampunan dari Allah SWT.

Salah seorang sosiolog, David Reisman, pernah menulis tentang “lonely in the crowd”  atau kesepian di tengah keramaian. Konsep ini memang relevan untuk menggambarkan tentang kehidupan kaum modernis yang sarat dengan dunia materialistic dan kelimpahan kakayaan. Di kala masyarakat berada di dalam posisi yang beranggapan bahwa ukuran kesuksesan adalah kesejahteraan lahiriyah, maka bisa dibayangkan bahwa persoalan batiniah  tidak terlalu penting. Sesungguhnya basis pemikiran seperti ini hadir bersamaan dengan semakin menguatnya modernisasi yang hinggap di dalam kehidupan masyarakat.

Memang harus diakui bahwa keberhasilan anak secara ekonomis tentu membanggakan orang tua. Banyak di antara kita yang beranggapan bahwa ukuran kesuksesan anak adalah di kala mereka berhasil secara ekonomi. Tidak jarang di antara kita menceritakan kesuksesan anak karena keberhasilan secara ekonomi. Kita bangga jika anak kita dapat  memiliki benda-benda penting seperti rumah, kendaraan roda empat, dan peralatan rumah tangga yang hebat serta asesori kehidupan yang mewah. Inilah ukuran keberhasilan.

Ternyata di dalam kehidupan ini keberhasilan anak bukan dari bagaimana kesejahteraan anak itu terdapat di dalam kehidupannya. Tetapi keberhasilan anak jika anak bisa melakukan “kebaikan” bagi keluarganya, khususnya pada kedua orang tuanya. Kebaikan itu saya berikan tanda petik, sebab kebaikan itu bermakna khusus, yaitu kebaikan yang basisnya adalah ajaran agama. Kebaikan dalam Islam itu bagi orang tua adalah ungkapan birrul walidain. Kata birr itu khusus kebaikan yang berdasar atas ajaran agama.  Berbeda dengan khair yang basisnya bisa selain ajaran agama. Misalnya tradisi yang tidak memiliki basis keagamaan.

Di dalam tradisi Jawa dikenal ungkapan “mangan ora mangan yen ngumpul” artinya makan tidak makan yang penting adalah berkumpul. Orang Barat salah memahami ungkapan ini yang dianggap sebagai cara berpikir kemiskinan. Padahal ungkapan ini menggambarkan tentang tradisi Jawa yang beranggapan bahwa “yang penting berkumpul”. Jadi bukan pada konteks makannya, tetapi pada konteks kumpul atau menyatu dalam kesatuan keluarga. Ada banyak tradisi Jawa yang bersenada dengan perkumpulan, misalnya slametan, brokohan, kendurenan atau banyak lainnya. Kata kuncinya adalah berkumpul.

Islam mengajarkan agar anak selalu berbakti kepada orang tua. Kapan dan di mana saja. Berbakti tersebut bisa memiliki makna memberikan ketercukupan kasih sayang, memberikan ketercukupan kehidupan fisikalnya, dan memenuhi ketercukupan kebutuhan batinnya. Orang tua tidak hanya membutuhkan ketercukupan kebutuhan fisik saja. Kebutuhan makan, minum dan menempati rumah yang layak, akan juga memerlukan kebutuhan akan ketenangan batinnya.

Islam mengajarkan agar menjadi anak yang saleh dengan indicator melakukan upaya untuk membahagiakan orang tua, baik kebahagiaan fisik dan batin. Kebahagiaan fisik dengan mencukupi kebutuhan fisiknya dan kebahagiaan batin jika anaknya menjadi anak yang saleh yang dapat mendoakannya. Anak yang saleh tidak akan terputus sampai manusia berada di dalam alam barzakh. Kala manusia wafat,  maka semuanya ditinggalkan kecuali tiga hal saja, yaitu shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak saleh yang bisa mendoakannya.

Harapan kita semua tentu adalah agar  tidak terputus untuk mendoakan orang tua kita baik yang masih hidup atau sudah wafat. Doa yang terus kita lantunkan adalah: “Ya Allah ampunilah aku dan ampunilah kedua orang tuaku dan rahmati keduanya sebagaimana mereka mengasuh aku kala masih kecil”.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..