MEMBANGUN INTEGRITAS
Saya sebenarnya diundang oleh Prof. Dr. Kacung Marijan untuk sebuah diskusi di Universitas Airlangga, tepatnya di Fisipol, untuk berbicara tentang Peran Strategis Universitas dalam Membangun Public Integrity, pada tanggal 19 Januari 2010. Namun undangan ini terpaksa tidak saya datangi, sebab pada hari yang sama, Ibu Dra. Hj. Nurhayati Yusuf, mendadak meninggal dunia di kediamannya, Wonocolo, belakang IAIN Sunan Ampel. Dan sebagai pimpinan IAIN Sunan Ampel, saya mesti harus datang untuk mengantar kepergiannya yang terakhir. Dan seperti tradisinya, selalu diberi kesempatan untuk memberikan sambutan pelepasan. Saya sudah siapkan tulisan untuk bahan perbincangan—meskipun hanya mengutip beberapa tulisan—dan saya publish di blog saya. Maka saya kirim pesan pendek ke panitia, tentang udzur saya tersebut.
Sebagaimana saya tulis kemarin, bahwa pengertian integrity adalah kejujuran atau integritas. Jadi integritas berarti kesepakatan atau kesiapan untuk bertindak jujur. Melakukan sesuatu dengan jujur atau melakukan pekerjaan dengan jujur. Lalu pertanyaannya, apakah kejujuran itu? Pertanyaan ontologis atau pertanyaan hakikat sesuatu seperti ini menjadi penting, sebab saya khawatir bahwa kejujuran itu ternyata hanya sebuah ungkapan tanpa makna. Jujur adalah sebuah keadaan atau kenyataan di mana apa yang dilakukan sesuai dengan apa yang di dalam hati nurani dan apa yang ada di dalam hati nurani itu sesuai dengan aturan atau nilai yang telah disepakati bersama. Jadi kejujuran memiliki tiga dimensi penting, yaitu kelakuan, hati nurani dan nilai.
Dewasa ini banyak orang yang melakukan sesuatu dengan mengingkari hati nurani. Dewasa ini juga banyak orang yang melakukan sesuatu dengan mengingkari aturan atau norma yang telah mapan. Hal ini disebabkan oleh semata-mata adanya kesenjangan antara perilaku, hati nurani dan aturan. Pertanyaannya, mengapa hal ini bisa terjadi? Jawabannya, karena faktor lingkungan bagi kaum behavioralis, karena rendahnya kesadaran menurut kaum fenomenolog dan derivasinya dan karena penyebab eksternal menurut kaum positivis.
Terkait dengan peran pendidikan tinggi, maka jawabannya lebih bertumpu pada pertanyaan kedua. Peran pendidikan tinggi adalah peningkatan kesadaran akan sesuatu. Maka peran pendidikan tinggi adalah bagaimana memberikan solusi atas rendahnya kesadaran akan kejujuran. Jadi secara konseptual peran perguruan tinggi adalah menciptakan kejujuran sebagai produk dari pendidikan berbasis kejujuran.
Pendidikan tinggi memang memiliki peran strategis dalam kerangka menyiapkan generasi yang akan datang untuk melanjutkan kepemimpinan negeri ini. Tentu saja kepemimpinan dalam berbagai levelnya. Penyiapan sumberdaya manusia yang cerdas dan kompetitif memang akan dihasilkan oleh perguruan tinggi. Mereka yang telah lulus universitas atau institut adalah orang yang sudah memiliki kematangan profesional. Namun demikian, kemampuan profesional saja tentu tidak cukup, sebab di dalam kehidupan sosial itu sangat banyak variabel yang terlibat. Seseorang harus berada di dalam relasi sosial yang beraneka ragam. Ada yang baik dan ada juga yang jahat. Ada yang jujur dan ada yang tidak jujur. Dan hal ini merupakan laboratorium yang sesungguhnya di dalam dunia sosial.
Perguruan tinggi tentu saja harus menyiapkan generasi yang akan datang agar memiliki moralitas yang relevan dengan pattern for behavior agamanya. Kejujuran tentu saja adalah konsep yang sangat universal dan ada di setiap agama. Makanya mengajarkan kejujuran harus berada di dalam level trans-agama. Memang bisa saja menjadikan teks agama sebagai referensi, akan tetapi yang penting adalah bagaimana implementasi kejujuran tersebut di dalam kehidupan yang nyata.
Di dalam suatu seminar atau lokakarya, pernah ada seorang peserta yang bertanya, bagaimana mengajarkan kejujuran, sementara di sekeliling kita banyak ketidakjujuran. Maka peran dosen atau guru adalah mengajarkan tentang hakikat kejujuran dan memberikan penjelasan efek negatif ketidakjujuran dalam realitas sosial yang bisa dijelaskannya.
Oleh karena itu, setiap lembaga pendidikan lalu harus memasukkan konsep dan implementasi kejujuran tersebut dalam desain pendidikan yang integratif. Bisa saja, setiap kurikulum dan sillabus ditekankan akan arti pentingnya kejujuran itu sebagai bagian penting di dalam membangun keteraturan sosial. Selain itu, juga menjadikan kejujuran sebagai bagian dari tindakan sehari-hari, misalnya lewat tindakan nyata.
Jadi, yang sangat mendasar adalah membangun kejujuran itu dari diri sendiri terlebih dulu. Baru kemudian ke orang lain, ke komunitas dan ke masyarakat secara umum. Kita semua yakin, bahwa tanpa kejujuran, maka negeri ini akan menuai kebobrokan dalam semua lini.
Wallahu a’lam bi al shawab.