IBADAH TRANSAKSIONAL
IBADAH TRANSAKSIONAL
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Saya semula menyatakan bahwa kebanyakan di antara kita di dalam beribadah lebih cenderung mengarah kepada perilaku untung rugi. Jadi pemikirannya lebih mengarah kepada pemikiran rasional semata. Jika untungnya banyak dikerjakan, jika untung sedikit bisa ditinggalkan dan jika tidak menguntungkan tentu tidak dilakukan.
Sebagai contoh, jika pada bulan puasa, maka kuantitas ibadah kita cenderung meningkat. Bahkan meningkat luar biasa. Amalan-amalan sunnah nyaris semua dilakukan. Mulai dari shalat sunnah tarawih dan witir, dzikir atau wirid juga ditambah, jumlah bacaan shalawat ditambah, lalu tadarrus Qur’an juga dilakukan secara lebih maksimal. Mengapa begini? Karena Allah akan melipatgandakan pahala orang yang melakukannya.
Lalu, ada seorang jamaah pada Komunitas Ngaji Bahagia (KNB), 07/05/2024, Namanya Pak Dr. Wardi yang nyeletuk menyatakan: “ibadah kita transaksional”. Ungkapan transaksional itu menarik, sehingga kata itu yang saya gunakan untuk menggambarkan cara orang beribadah yang hanya bertumpu pada pahala yang berupa surga. Jadi yang dicari adalah surga, yang dilambangkan sebagai tempat yang luar biasa, dengan berbagai kenikmatan yang bisa membuat seseorang menginginkannya. Bukankah manusia memang memiliki kecenderungan pada kenikmatan atau hedonis. Jadi, kalau kemudian manusia tergiur dengan surga tidak lain adalah keinginannya untuk memuaskan nafsu kenikmatan yang luar biasa tersebut.
Di dalam Alqur’an banyak dijumpai gambaran pahala yang akan diberikan kepada orang yang suka beribadah kepada Allah yang berupa surga. Surga itu digambarkan sebagai: “jazauhum ‘inda rabbihim jannatu adnin tajri min tahtihal anhar” (Surat Al Bayyinah: 8), yang artinya: “balasan mereka di sisi Tuhannya adalah surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai”. Mereka yang tergolong orang yang beruntung disebut sebagai ashhabul yamin, yaitu orang yang dijanjikan Allah akan menjadi ahli surga. Dinyatakan di dalam Alqur’an (Surat Al Waqiah, 27-30) : “wa ashhabul Yamini, ma ashhabul yamin, fi sidrim makhdhud wa thalhim mandhud wa dzillin mamdud wa main mashub, yang artinya: “dan golongan kanan, alangkah bahagianya golongan kanan itu. Berada di antara pohon bidara yang tak berduri, dan pohon pisang yang bersusun-susun (buahnya), dan naungan yang terbentang luas”.
Bahkan juga gambaran ahli surga adalah: “usianya berkisar 33 tahun, yang masuk surga berwajah bersinar seperti bulan purnama, tidak buang air besar dan kecil, tidak ingusan, tidak meludah, dan keringatnya seperti minyak pewangi dan disediakan dua orang istri yang sangat putih bahkan tulang betisnya kelihatan, dan tidak ada permusuhan. Selain itu juga bisa saling melihat dan memiliki rumah yang mewah. Mereka berkata dengan lemah lembut, dan hidup dalam kenyamanan, kedamaian dan kerukunan. (Rumah Zakat, 24/11/23).
Membaca dan menghayati atas gambaran ahli surga yang seperti itu tentu sangat pantas jika orang merindukan surga. Sebagai makhluk yang menyenangi kelezatan, kenikmatan, kenyamanan dan kedamaian, maka gambaran surga itu sungguh menakjubkan. Begitulah cara Allah mengajarkan kepada Nabi Muhammad SAW agar seseorang bercita-cita menjadi ahli surga. Sebuah ajaran moral yang sangat luar biasa untuk memberikan literasi religious betapa surga tersebut sangat menjajikan dan manusia dapat berada di sana selama amalan kebaikannya baik dan banyak.
Alqur’an sebagai pedoman utama di dalam ajaran Islam diturunkan pada masyarakat Arab yang kondisi geografis dan topografi kering kerontang, masyarakat banyak hidup nomaden karena mengikuti sumber air yang tersedia atau jika menetap tentu karena ketersediaan sumber bahan makanan dan minuman pada masa itu, sehingga Nabi Muhammad SAW banyak memberikan kabar gembira atau tabsyir agar masyarakat Arab mengikuti ajaran Islam. Misalnya digambarkan bahwa di dalam surga terdapat air mengalir dari sungai-sungai, tumbuhannya menghijau, rumahnya indah-indah, bahkan juga kenikmatan syahwati yang tiada taranya. Semua itu menggambarkan bahwa ada konteks social pada zaman Nabi Muhammad dengan teks suci yang hadir pada mereka. Itulah sebabnya banyak ulama Arab yang kemudian mengagumi tanah Nusantara, sebab di mana-mana gambaran Alqur’an tentang geografis dan topografis bumi Nusantara itu sebagaimana gambaran di dalam Alqur’an. Pada zaman Presiden Soekarno, ada mufti Mesir dan Rektor Al Azhar University, Prof. Mahmud Syaltut, yang datang ke Indonesia dan menyatakan bahwa: “Indonesia adalah percikan surga di dunia”.
Oleh karena itu, jika banyak orang yang memohon kepada Allah agar diganjar dengan surga tentu bukanlah sebagai kesalahan. Begitulah adanya. Namun demikian, yang sesungguhnya jauh lebih penting adalah seseorang memohon kepada Allah agar mendapatkan ridha-Nya. Melalui keridhaan Allah atas diri manusia tersebut, maka dipastikan manusia akan memperoleh surga-Nya.
Doa tertinggi kepada Allah adalah untuk memperoleh ridha Allah melalui jiwa yang tenang. Seseorang yang memilikinya maka dialah yang memperoleh ridha Allah yang kemudian berujung kepada jalan menuju surga. Jadi ada tiga hal mendasar yaitu berdoalah untuk mendapatkan ridhanya dan surganya Allah serta memohon agar terhindar dari api neraka.
Wallahu a’lam bi al shawab.