• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

TRILOGI JALAN KE SURGA: SEMBAH, TAQWA DAN PATUH PADA ALLAH

TRILOGI JALAN KE SURGA: SEMBAH, TAQWA DAN PATUH PADA ALLAH

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Tulisan ini bukanlah tafsir atas ayat Alqur’an,  akan tetapi sebagai upaya untuk memahami kandungan ayat Alqur’an dalam konteks sosiologis. Saya tentu tidak berani menafsirkan ayat-ayat Alqur’an, sebab disiplin keilmuan saya bukanlah berada di dalam ilmu Tafsir yang mempersyaratkan penguasaan ilmu alat atau Bahasa Arab dan segala hal yang terkait dengan metode dan konten memahami ayat-ayat Alqur’an.

Pembahasan ini, saya sampaikan dalam acara Tahsinan Alqur’an pada Surat Nuh, yang menggambarkan tentang pentingnya ibadah sebagai sarana pengabdian, bertaqwa dan mematuhi apa yang diajarkan oleh Allah melalui Nabi Muhammad SAW. Acara tahsinan tersebut dilaksanakan pada Hari Senin, ba’da Shubuh, tanggal 06/05/2024. Sebagaimana biasanya, maka Ustadz Alif Rifqi membacakan terjemahannya, dan kemudian saya memberikan sedikit ulasan dalam konteks sosiologisnya.

Ada tiga kata kunci di  dalam Surat Nuh, khususnya pada ayat 3, yaitu: “ani’ budullaha wat taquhu wa ati’un”. Artinya” “(yaitu) sembahlah Allah, bertaqwalah kepada-Nya dan taatlah kepadaku”.  Jadi tiga hal ini merupakan satu kesatuan system yang saya sebut sebagai trilogy jalan bagi para pencari surga. Dengan melakukan ketiganya, maka Allah akan mengampuni sebagian dosa-dosanya dan memberikan kepastian akan dijaganya sampai seseorang kemudian harus meninggalkan dunia fana untuk memasuki alam lainnya.

Jika digambarkan di dalam suatu lingkaran, maka di tengah-tengahnya adalah iman kepada Allah dan seluruh keimanan di dalam Islam, lalu di luar inti tersebut terdapat konsep ibadah, taqwa dan patuh kepada Allah SWT. Iman menentukan seseorang untuk melakukan ibadah, bertaqwa dan patuh kepada Allah. Ketiga aspek ibadah, taqwa dan patuh merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Tidak cukup dengan ibadah tetapi juga harus bertaqwa kepada Allah dan mematuhi ajaran yang disampaikan Allah kepada umat manusia.

Iman juga selalu berpasangan dengan amal saleh. Tidak akan terdapat amal saleh yang diakui di dalam Islam kecuali didasari oleh iman kepada Allah. Tetapi juga keimanan kepada Allah tidak boleh berhenti disitu. Sama halnya dengan ibadah, taqwa dan patuh juga merupakan impak dari iman yang diyakini oleh manusia.

Pertama, Tuhan Allah sebagai pusat sesembahan. Tuhan Allah adalah rabb atau sesembahan seluruh alam. Tidak hanya manusia yang menyembah Allah tetapi juga tumbuh-tumbuhan, binatang dan jagad raya. Semua menyebut nama Allah SWT sebagai ilahnya dan juga rabbnya. Semua alam tunduk pada hukum Allah SWT tanpa paksaan. Matahari beredar pada poros edarnya, bumi berputar sesuai garis edarnya, bintang dan seluruh tata surya berrotasi sesuai dengan hukum yang diciptakan Allah. Melalui kepatuhannya tersebut, maka alam menjadi teratur dan fungsional bagi semuanya.

Allah telah menata bahwa air menjalankan fungsinya untuk menumbuhkan tanaman dan menghidupkannya. Jadi hujan adalah uap air dari lautan dan daratan yang naik ke atas menjadi awan, lalu awan yang berkumpul menjadi hujan turun ke bumi dan begitulah seterusnya hukum alam, yang semuanya patuh atas desain Allah atas alam. Semuanya fungsional bagi kehidupan yang sistemik untuk jagad raya.

Jin dan manusia diciptakan oleh Allah untuk beribadah atau menyembah Allah. Di kala manusia lalai, maka Allah menurunkan utusannya. Allah memberikan petunjuk melalui Nabi atau Rasulnya. Itulah sebabnya setiap kaum diberi oleh Allah utusannya untuk menjadi pengingat bagi kaumnya. Rasul kebanyakan memang diturunkan di bumi Timur tengah, tetapi Nabi-Nabi Allah yang berjumlah 126.000 orang bisa diturunkan di mana saja. Bahkan juga diturunkan ke masyarakat Nusantara. Di Italia, di India dan Afrika Allah juga menurunkan Nabi-Nabinya. Mereka semuanya berfungsi untuk menjadi pemberi nasehat agar manusia kembali kepada Allah SWT. Kembali mempercayainya dan kembali untuk menyembahnya.

Kedua, manusia harus bertaqwa kepada Allah.  Manusia  diminta untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Taqwa itu tidak dimaknai sebagai takut tetapi selalu berada di dalam pengawasan Allah. Jadi orang yang bertaqwa selalu mendapatkan pengawasan dari Allah yang Maha Kuasa. Kita meyakini bahwa apa yang kita lakukan selalu berada di dalam pantauan Allah. Jika kita melakukan kekhilafan, maka segeralah berbuat baik, karena perbuatan baik itu akan dapat menghapus kekhilafan. Berbuat baik tersebut misalnya memohon ampunan kepada Allah, berdzikir kepada Allah dan juga berbuat baik kepada sesama manusia bahkan kepada alam di sekeliling kita. Ada Sabda Nabi yang menyatakan agar kita bertaqwa kepada Allah di mana saja, dan jika kita berbuat salah atau khilaf agar kita sesegera mungkin untuk berbuat baik, karena perbuatan baik tersebut dapat menghapus dosa-dosa kita. Semoga Allah selalu membimbing kita untuk melakukan yang terbaik di dalam koridor keberagamaan.

Ketiga,  patuh kepada Allah dan Rasulnya. Patuh kepada keduanya tentu berbeda level. Ada level hakikat substansial dan ada level hakikat instrumental. Patuh kepada Allah itu kemutlakan yang tidak boleh dipertanyakan, dan kepatuhan kepada Nabi Muhammad merupakan washilah untuk kepatuhan tersebut. Artinya orang yang patuh kepada Allah dipastikan juga patuh kepada ajaran Islam yang disampaikan oleh Nabi Muhammad. Karena kita adalah makhluk, maka untuk menyampaikan kalam Tuhan yang tak terhingga juga harus menggunakan perantara manusia, dan manusia tersebut adalah telah diwahyukan kalam Tuhan dimaksud. Jadi kala kita berwashilah kepada Nabi Muhammad SAW artinya bahwa kita menyadari jika posisi kita sebagai manusia yang menjadikan manusia sempurna, insan kamil, yaitu Nabi Muhammad sebagai perantara kita kepada Allah SWT. Ada satu doa yang kita baca setiap selesai adzan dikumandangkan: “Ati Sayyidana Muhammadanil washilata wal fadhilah”, yang artinya kurang lebih adalah: “datangkanlah junjungan kami Nabi Muhammad sebagai washilah dan keutamaan”.

Jadi janganlah menyatakan bahwa patuh kepada Nabi Muhammad itu kesesatan, sebab Allah memang menurunkan ayat-ayatnya baik qauliyah maupun kauniyah itu melalui Nabi Muhammad. Patuh kepada Nabi Muhammad hakikatnya adalah patuh kepada Allah SWT. Nabi Muhammad adalah hakikat kepatuhan secara instrumental atau kepatuhan melalui ajaran Allah yang diwahyukannya. Dan hakikat atau substansi kepatuhan tersebut tentu adalah milik Allah SWT.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..