• May 2024
    M T W T F S S
    « Apr    
     12345
    6789101112
    13141516171819
    20212223242526
    2728293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

KETUPAT LEBARAN

KETUPAT LEBARAN

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Ketupat adalah Bahasa Indonesia. Dalam Bahasa Jawa disebut kupat dan dalam Bahasa Arab disebut Kaffatan. Ketiganya secara substansial memiliki makna yang sama. Yaitu sebuah istilah untuk menggambarkan suatu aktivitas, khususnya dalam tradisi Islam Jawa. Hanya saja, kaffatan di dalam Bahasa Arab menunjuk pada kesempunaan pengamalan dalam ajaran Islam. Kaffah artinya sempurna atau menyeluruh. Di dalam ayat Alqur’an dinyatakan: udkhulu fis silmi kaffah. Masuklah ke dalam ajaran Islam secara sempurna.

Di dalam tradisi Jawa istilah kaffah menjadi kupat. Mengubah ucapan dengan menyesuaikan dengan lidah orang Jawa adalah kekhasan cara para Waliyullah, Wali Sanga, dalam menyebarkan Islam. Istilah wudhu di dalam Bahasa Arab berubah menjadi ulu atau udu, sama halnya dengan shalat dhuhur menjadi sembahyang luhur atau sembahyang lohor. Salamatan dalam Bahasa Arab menjadi slametan dalam Bahasa Jawa atau barakah dalam Bahasa Arab menjadi berkat dalam Bahasa Jawa.
Namun secara substantial tentu yang dimaksudkan adalah ajaran kesempurnaan tentang orang yang sudah menyelesaikan ibadah puasa atau juga upaya untuk membersihkan atau menyempurnakan diri dalam menghadapi puasa. Maka, di dalam tradisi Islam Jawa dikenal ada tradisi kupatan Ruwah atau Sya’ban. Orang Jawa sesuai dengan penanggalan yang dibuat oleh Sultan Agung menyebutkan bulan Sya’ban dengan Wulan Ruwah. Rangkaiannya adalah Rejeb, Ruwah, dan  Poso atau di dalam kelender Islam disebut sebagai rajab, sya’ban dan Ramadlan. Doa kita di dalam Bahasa Arab adalah allahumma bariklana fi rajab wa Sya’ban wa balighna Ramadlan, yang artinya: “Ya Allah berkahi kami di bulan Rajab dan Sya’ban dan sampaikan  kami di Bulan Romadlon”.

Kupat di dalam Bahasa Jawa kemudian berubah menjadi Ketupat di dalam Bahasa Indonesia. Sampai hari ini, orang-orang pedesaan Jawa masih menggunakan istilah kupat dan bukan ketupat. Acara untuk melakukan selamatan di Masjid atau Mushalla atau balai desa disebut sebagai kupatan. Acara berdoa bersama dengan masing-masing individu pelakunya membawa kupat di dalam baskom atau lainnya yang disertasi dengan lepet dan sayur mayur serta daging ayam, yang digoreng atau dijadikan kare. Makanan  kare merupakan makanan favorit pada masyarakat pedesaan, yang terdiri dari daging ayam, dan bumbu kare yang terdiri dari santan, dan bumbu lengkap dengan campuran cabe sesuai dengan selera. Ada juga yang membawa sayur lodeh, biasanya buah pepaya muda dicampur dengan bumbu lengkap dan ditambah tahu, tempe atau kulit sapi atau kerbau yang biasanya disebut cecek. Keduanya, baik kare atau lodeh tentu nikmat dimakan dengan kupat.

Kreasi-kreasi semacam ini biasanya dinisbahkan dengan Kanjeng Sunan Kalijaga. Jadi jika dilihat masa hidup Kanjeng Sunan Kalijaga, maka kupat atau kupatan sudah terjadi di Nusantara, khususnya Jawa pada awal abad ke 15 sampai akhir abad 16. Berbagai Riwayat menyatakan bahwa nama Beliau semula adalah Raden Said, putra Bupati Tuban Wilwatikta dengan  Dewi Nawangrum. Beliau juga disebut sebagai Brandal Lokajaya. Beliau melakukan perampokan pada orang kaya yang tidak mau membayar zakat, dan hasil kegiatannya itu dibagi-bagikan kepada rakyat miskin di Kabupaten Tuban.

Beliau menjadi santri setelah bertemu dengan Kanjeng Sunan Bonang, yang diabadikan dengan simbolisasi buah kelapa yang berubah menjadi emas. Melalui lelaku atau ritual khusus untuk calon waliyullah dalam bimbingan Sunan Bonang, maka akhirnya Raden Said atau Brandal Lokajaya  menjadi waliyullah yang digelari dengan nama Sunan Kalijaga.

Secara hipotesis dapat dinyatakan bahwa tradisi kupatan merupakan kreasi Kanjeng Sunan Kalijaga di dalam mensimbolisasikan tradisi slametan dalam bentuk ritual kupatan yang dilakukan sebagai persiapan berpuasa dan setelah berpuasa. Tradisi kupatan menjelang puasa atau nisfu sya’ban dikaitkan dengan persiapan menghadapi ritual puasa dan tradisi kupatan sepekan setelah hari raya idul fitri dikaitkan dengan symbol keberhasilan melakukan puasa selama sebulan.

Kupat terbuat dari beras yang sudah dicampur air atau dipususi lalu dimasukkan ke dalam anyaman daun kelapa yang dibuat dalam segi empat atau segi tiga. Tidak mudah untuk membuat kupat. Harus belajar secara serius. Di masa  remaja  saya diajari untuk membuat kupat itu. Hingga hari ini saya masih bisa membuatnya. Tetapi anak-anak saya rasanya sudah tidak bisa membuatnya. Di era segalanya bisa dibeli, maka keterampilan untuk membuat kupat atau lepet sudah tidak lagi diminati. Kira-kira prinsipnya: bisa membelinya.

Kupatan tahun ini terasa ada yang kurang. Biasanya, saya dan keluarga datang ke Mojokerto di Desa Kutogirang, Ngoro, Mojokerto. Emak Hajjah Muthainnah selalu membuat kupat dan lepet yang diberikan khusus kepada saya. Hingga satu pekan kupat dan lepet tersebut tidak basi. Katanya karena dimasak dalam waktu yang lama, sehingga tahan lama. Selain itu juga rasanya yang menantang lidah untuk memakannya.

Sekarang Emak sudah tidak ada lagi. Tidak ada lagi yang bisa membuat kupat dan lepet khas seperti itu. Agak berbeda dengan kupat dan lepet di Tuban, tepatnya di Desa Sembungrejo, Merakurak, di orang tua saya, Hj. Turmiatun. Meskipun sesama kupat dan lepet, akan tetapi taste-nya agak berbeda. Saya merasakan kupat dan lepet di Mertua saya  lebih enak  dinikmati. Menikmati makanan khas seperti itu tetap ada kelebihannya di tengah semakin banyaknya inovasi tentang jajanan yang berkembang dewasa ini.

Kupat dan lepet terbuat dari bahan daun kelapa, yang disebut janur. Baik yang terbuat dari daun kelapa atau daun lontar, akan tetapi keduanya tetap disebut sebagai janur. Janur sering dipakai oleh masyarakat Nusantara untuk kepentingan upacara-upacara, misalnya upacara pernikahan. Janur merupakan keratabasa atau singkatan yang menggambarkan sejatining nur atau cahaya sejati atau sejatining rasa.

Kita masih ingat konsep Nur Muhammad, yang diciptakan oleh Allah sebelum menciptakan alam semesta dan manusia di dalamnya. Yaitu sebuah pemahaman bahwa semua yang diciptakan Tuhan itu berasal dari Nur Muhammad. Di dalam filsafat Jawa dikenal konsep Sang Hyang Nur Rasa, yaitu kekuatan cahaya rasa yang agung, yang bisa menyinari atas kehidupan manusia. Dengan kata lain bahwa di dalam diri manusia terdapat unsur Sang Hyang Nur Rasa, atau roh yang ditiupkan kepada janin kala di alam perut ibu. Dengan Sang Hyang Nur Rasa itulah manusia akan hidup dengan dimensi cahaya Tuhan atau Nurullah.

Kupat atau ketupat merupakan simbolisasi dunia spiritualitas yang harus disiapkan untuk menjalani puasa dan setelah selesai puasa. Kupat yang terbuat dari janur sebagai keratabasa sejatining rasa harus disiapkan kesuciannya untuk bertemu dengan bulan yang suci dan juga menandakan kelulusan rasa spiritualitas setelah selama satu bulan disucikan.

Orang Jawa, khususnya, memang sering berurusan dengan dunia simbolik. Dan kupatan adalah symbol kesucian untuk menjemput kesucian, bulan  puasa yang disucikan  dan keberhasilan dalam mengalami  pergulatan menahan hawa nafsu  di bulan kesucian.

Wallahu a’lam bi asl shawab.

 

 

Categories: Opini
Comment form currently closed..