• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

KEBAHAGIAAN HAKIKI

KEBAHAGIAAN HAKIKI

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Sebagai negara muslim terbesar di dunia, ternyata indeks kebahagiaan masyarakat Indonesia  masih jauh dari harapan. Berdasarkan penilaian World Happiness Report  (WHR), masyarakat Indonesia menempati posisi 80 dari sebanyak 143 negara yang disurvei. Peringkat indeks kebahagiaan tersebut diukur dari  evaluasi hidup (PDB perkapita, harapan hidup sehat,  dukungan social, kebebasan, kemurahan hati dan persepsi korupsi), emosi positif dan emosi negative. Sedangkan negara dengan kebahagiaan tinggi adalah Skandinavia, Finlandia,  Denmark dan Islandia. Dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara, Indinesia menempati urutan ke enam, setelah Singapura, Filipina, Vietnam, Thailand dan Malaysia (Yudi Latif, “Politik Kebahagiaan”, diunduh 14/04/2024).

Tampaknya memang ada paradoks. Di satu sisi masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang religious. Bahkan masyarakat yang sangat mempercayai keberadaan Tuhan. Masyarakat Indonesia dalam keyakinannya tentang Tuhan bahkan mengalahkan masyarakat Turki. Masyarakat Indonesia sebanyak 97 persen mengakui dan meyakini tentang keberadaan Tuhan, sementara masyarakat Eropa termasuk masyarakat dengan indeks kebahagiaan tertinggi tersebut lebih banyak yang tidak mempercayai Tuhan alias atheis. Jika membacanya seperti ini, maka tampaknya tidak ada kaitan antara agama atau keyakinan akan keberadaan Tuhan dengan kebahagiaan.

Nanti dulu untuk berkesimpulan seperti itu. Ukuran kebahagiaan sebagaimana yang dinyatakan oleh WHR, memang kebahagiaan berbasis pada pengukuran empiris dan lebih mendasar adalah dimensi ekonomi. Jika kita baca, maka ukurannya adalah hal-hal yang empiris, seperti pendapatan dan pengeluaran, harapan hidup sehat, relasi social dan juga emosi yang dihadapi oleh yang bersangkutan. Memang ukuran yang digunakan adalah bercorak material. Oleh karena itu, ukuran spiritual menjadi terabaikan. Karena ukurannya bercorak material seperti halnya pendapatan ekonomi, harapan hidup sehat, dukungan social dan kebebasan, maka tentu masih jauh harapan masyarakat Indonesia untuk mencapainya. Dilihat dari indeks Pengembangan Sumber daya Manusia, maka posisi Indonesia berada di angka 114 dari 180 negara di dunia.

Padahal sesungguhnya untuk mengukur kebahagiaan tidak sekedar ukuran material. Ada dimensi hati yang terlibat di dalamnya. Di sinilah, agama lalu menjadi penting untuk dilibatkan di dalam mengukur kebahagiaan. Sayangnya bahwa pemeringkatan kebahagiaan itu selalu hasil survey dari orang Barat yang hanya melihat kebahagiaan dari aspek kepemilikan harta. Asumsinya bahwa semakin kaya dengan asetnya yang banyak maka akan menentukan atas kebahagiaannya. Jadi, ukuran kebahagiaan adalah pada dimensi ekonomi secara lebih mendasar.

Jika menggunakan ukuran ini, maka kebahagiaan masyarakat Indonesia tidak akan beranjak naik secara drastic. Akan tetap berada di dalam kisaran 70-80 atau bahkan suatu Ketika akan turun menjadi di atas angka 80 dan di bawah angka 90. Dekat-dekat di situ. Memang harus diakui bahwa untuk mengukur kesejahteraan itu dapat dilihat kehidupan ekonomi. Jika secara ekonomi tercukupi, maka bisa dinyatakan sebagai hidup yang sejahtera.

Badan Pusat Statistik (BPS), telah merilis tentang Indeks kebahagiaan, dengan indicator: Dimensi Kepuasan Hidup yang terdiri dari Kesehatan fisik dan mental, Pendidikan dan keterampilan, pekerjaan, pendapatan rumah tangga, kondisi dan fasilitas rumah, keharmonisan keluarga, ketersediaan waktu luang, hubungan social, kualitas lingkungan, kondisi keamanan. Lalu dimensi perasaan  yang terdiri dari perasaan senang, tidak khawatir, tidak tertekan. Kemudian standart dimensi makna hidup yang terdiri atas penerimaan diri, tujuan hidup, pengembangan diri, kemandirian, penguasaan lingkungan, dan hubungan positif dengan orang lain.

Ukuran kebahagiaan yang dilansir oleh BPS sudah lebih maju dibandingkan dengan ukuran kebahagiaan yang diungkapkan oleh WHR. Ukuran kebahagiaan menurut BPS sudah melibatkan standart kepuasan hidup, domensi perasaan dan dimensi makna hidup. Standart kebahagiaan hidup menurut BPS lebih memberikan peluang kepada seseorang untuk menjadi bagian dari orang yang bahagia, sebab sudah memasukkan dimensi perasaan dan makna hidup. Perasaan senang, perasaan dihargai dan perasaan masih diperhatikan oleh lingkungan dan masyarakat.  Sudah terjadi perkembangan mengenai indeks kebahagiaan yang  sebelumnya hanya diukur dengan kepuasan hidup (satisfaction), lalu dikembangkan dengan perasaan (affection) dan makna hidup (eduaimonia). Melalui pengukuran baru, maka memungkinkan terjadinya perubahan dalam realitas kebahagaiaan pada masyarakat Indonesia. Tingkat kebahagiaan masyarakat Indonesia rata-ratanya adalah 73,80 pada tahun 2021 dan  meningkat dibandingkan dengan hasil survey tahun 2017 sebesar 71,21.

Menurut Imam Al Ghazali, bahwa untuk menggapai kebahagiaan, maka ada lima tahapan, yaitu: pengetahuan tentang diri, pengetahuan tentang Allah, pengetahuan tentang dunia, pengetahuan tentang akhirat dan kecintaan kepada Allah. Manusia harus tahu dirinya, tahu siapa dirinya. Tahu bahwa dirinya adalah makhluk yang tidak berdaya kecuali atas kekuatan yang diberikan oleh Allah SWT. Memahami atas diri akan menjadi jalan awal untuk memahami tentang hakikat manusia sebagai ciptaan Allah SWT. Lalu, manusia juga harus memahami siapa sesungguhnya yang menciptakan dunia dan seisinya, termasuk menciptakan dirinya. Dengan kelemahan yang dimilikinya, pantas jika dia harus menyandarkan dirinya kepada kekuasaan Tuhannya. Memahami diri dan memahami Tuhan menjadi bagian dari kalamullah: man ‘arafa nafsahu faqad  ‘arafa rabbahu. Orang yang memahami siapa dirinya dalam berhubungan dengan Allah, maka orang itu akan mengenal Tuhannya. Manusia juga harus memahami dunianya. Manusia hidup di dalam dunia, sehingga hukum dunia menjadi penting. Urusan duniawi harus diselesaikan dengan cara duniawi, samil memasrahkannya kepada Tuhannya. Dialektika manusia-Tuhan, Tuhan-manusia menjadi penting. Yang tidak kalah penting adalah pemahaman tentang kehidupan sesudah mati. Sesungguhnya yang mati adalah fisik atau jasadnya, sedangkan rohnya akan terus hidup di alam kubur. Roh akan menjalani siklus kehidupan untuk berada di alam kubur dalam rangka menunggu kehidupan di alam akhirat. Pengetahuan seperti ini, akan membawa seseorang untuk menjalani kehidupan yang penuh dengan harapan akan kebahagiaan kelak di alam akerat. Dan yang terakhir betapa pentingnya adalah mencintai Allah. Cinta kepada Allah itu sudah ditunjukkan oleh para rasul dan yang fenomenal adalah kecintaan Nabi Ibrahim kepada Allah melebihi cintanya kepada anaknya, Ismail.

Dengan pengukuran kebahagiaan yang bercorak fisikal dan spiritual tersebut, maka manusia akan memperoleh kebahagiaan yang sejati atau kebahagiaan yang hakiki. Di sinilah makna doa sapujagat yang sering kita baca, yaitu: “rabbana atina fid dunya hasanah wa fil akhirati hasanah wa qina adzaban nar”.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

 

Categories: Opini
Comment form currently closed..