PERGURUAN TINGGI DAN INTEGRITAS PUBLIK
Secara historis, bahwa Perguruan Tinggi (PT) memiliki peran signifikan dalam sejarah kehidupan umat manusia. Jika dicermati, maka peran tersebut dapat diketahui dari bagaimana PT menjadi tempat bagi persemaian mimpi dan keinginan untuk terus melakukan perubahan, baik perubahan yang terjadi secara tidak direncanakan, ataupun perubahan sosial yang direncanakan.
Perubahan sosial yang tidak direncanakan misalnya adalah sebagai respon terhadap kejadian-kejadian yang berada di sekelilingnya dan juga perubahan yang memang direncanakan, seperti keterlibatan PT dalam proses pembangunan masyarakat.
Salah satu yang sekarang dan yang akan datang sangat strategis dimainkan oleh PT adalah bagaimana institusi ini dapat terlibat di dalam proses menciptakan public integrity yang sekarang sedang menjadi persoalan di negeri ini.
Integrity di dalam kamus dinyatakan sebagai ”ketulusan hati, kejujuran, integritas atau keutuhan. Di antara makna etimologis itu yang sering menjadi bahan pembicaraan adalah integritas dan kejujuran. Makanya, di dalam membicarakan tentang integritas atau kejujuran, biasanya dikaitkan dengan tindakan para pejabat publik atau orang-orang yang banyak bersentuhan dengan public affairs. Misalnya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang sekarang memang menjadi pokok pembicaraan di berbagai kalangan. dan juga banyak dilakukan usaha untuk pemberantasannya.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah melakukan survei. Dari Survei Integritas Publik KPK terhadap 10 Departemen dan Unit Pelayanan Terbaik, sebagaimana yang diumumkan Wakil Ketua Bidang Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi, M Jasin, di Gedung KPK, Jakarta, Rabu 4 Februari 2009. Dari hasil survei terungkap, Perum Pegadaian menempati peringkat pertama departemen atau instansi yang memberikan manfaat terbaik. Posisi kedua ditempati PT Pos Indonesia, diikuti PT Taspen, Departemen Kesehatan, Departemen Koperasi dan UKM, Badan Pengawasan Obat dan Makanan, PT Pelni, PT Pertamina, Departemen Luar Negeri, dan PT Sucofindo.
Namun demikian, dari aspek pelayanan dan integritas publik, KPK juga pernah melakukan survei terhadap 30 depertemen/instansi. Menurut Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan, M Jasin, Jumat (28/3), mengatakan survei yang dilakukan di 30 departemen/instansi itu menggunakan skala 1 sampai 10 untuk mengukur integritas sektor publik. Penilaian dilakukan dengan menggabungkan pengalaman integritas, merefleksikan pengalaman responden terhadap tingkat korupsi yang dialami, serta refleksi terhadap faktor penyebab korupsi. Dalam skala 1 sampai 10, Depkumham memperoleh skor integritas 4,15. Skor itu adalah yang terendah dari 30 departemen/instansi yang rata-rata mendapat skor 5,53.
Data KPK menyebutkan keterpurukan Depkumham itu terjadi di tiga unit layanan, yaitu Kenotariatan (skor 4,13), Keimigrasian/Paspor (skor 4,21), dan Lembaga Pemasyarakatan (skor 4,33). Skor integritas Depkumham yang di bawah rata-rata 5,53 menandakan departemen dan unit layanan di lingkungan itu tinggi pengalaman korupsi dalam setiap tahap suatu layanan. Selain itu, skor tersebut menandakan masyarakat masih permisif terhadap perilaku korupsi.
Selain Depkumham, sepuluh departemen/instansi yang memiliki skor integritas rendah adalah Badan Pertanahan Nasional (4,16), Departemen Perhubungan (4,24), PT Pelabuhan Indonesia (4,76), dan Kepolisian Republik Indonesia (4,81). Kemudian, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (4,85), Departemen Agama (5,15), PT. Perusahaan Listrik Negara (5,16), Departemen Kesehatan (5,25), Mahkamah Agung (5,28), dan Departemen Kelautan dan Perikanan (5,41).
Sementara itu, tiga departemen/instansi yang tertinggi skor integritasnya adalah Badan Kepegawaian Negara (6,51), Departemen Dalam Negeri (6,25), dan PT Pertani (6,17). Survei integritas sektor publik yang digagas KPK itu melibatkan 60 unit layanan di 30 departemen/instansi tingkat pusat yang tersebar di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Selain itu, survei juga mengikutsertakan 3.611 responden yang merupakan pengguna langsung pelayanan publik.
Hasil survei menyebutkan petugas pelayanan publik masih berperilaku koruptif. Hal itu terlihat dari 31 persen responden yang merasa mengalami perbedaan prosedur layanan. Kemudian, 20 persen responden menyatakan petugas di unit layanan sudah terbiasa menerima tip, hadiah, atau imbalan lainnya.
Perilaku koruptif petugas itu diimbangi sikap permisif masyarakat. Sebanyak 75 persen hingga 100 persen pengguna layanan di 10 departemen/instansi menganggap pemberian hadiah merupakan hal yang wajar. Sementara itu, 20 persen pengguna layanan publik mengaku pernah menawarkan hadiah kepada petugas. (Republika Online, 29/03/08).
Di dalam kerangka untuk membangun integritas publik tersebut, maka keteribatan seluruh komponen masyarakat menjadi penting. Integritas publik tidak hanya dibangun oleh pejabat, tetapi juga masyarakat secara luas. Makanya, seluruh komponen masyarakat harus terlibat di dalamnya. Seperti ulama, tokoh masyarakat, akademisi dan sebagainya. Keterlibatan akademisi sebagai komponen penting dalam pengembangan SDM melalui lembaga pendidikan menempati tempat yang sentral. Oleh karena itu, sudah seharusnya membangun integritas publik lalu melibatkan lembaga pendidikan tinggi. posisi startegis PT sebagai tempat untuk menggodok SDM berkualitas, cerdas, kompetitif dan bermoral menjadi sangat penting.
Korupsi tumbuh dan berkembang karena lemahnya integritas publik. Beberapa abad silam pakar gerakan reformasi di China, Wang An Shih mengisyaratkan korupsi muncul karena kekuasaan bermoral rendah dan hukum yang lemah. Akar persoalannya terletak pada simton kegagalan akuntabilitas dalam kinerja pemerintahan. Guru besar Public Policy, John F. Kennedy School of Government Harvard University, Robert Klitgaard juga mengungkapkan hal serupa. Dalam Workshop Koordinasi Nasional Jaringan Pendidikan Integritas Masyarakat (Public Integrity Education Network Indonesia atau PIEN) di Universitas Paramadina bekerjasama dengan TIRI-Making Integrity Work, 17-18 November 2009 ia mengutarakan pentingnya integritas publik di perguruan tinggi karena minimnya pendidikan integritas. Para akademisi maupun mahasiswa tidak dididik tentang cara menguatkan integritas atau banyak dari mereka bekerja di lingkungan yang tingkat integritasnya rendah. (Wayan Gede Suacana, 12/12/09).
Peran sentral dan strategis PT di dalam pengembangan integritas publik tentu tidak dapat dilepaskan dari peran PT secara umum, yaitu: pertama, peran check and balance. Peran PT sebagai penyeimbang kekuatan state and civil society tentu telah memiliki sejarah yang panjang. Semenjak dahulu PT telah terlibat di dalam geraka melakukan kontrol terhadap pemerintah. Banyak dosen dan mahasiswa yang terus melakukan kritik terhadap tindakan pemerintah yang dirasa menyimpang. Selama pemerintahan Orde Baru, tentu tidak terhitung banyaknya kritik yang dilakukan oleh dunia pendidikan tinggi terhadap praktik penyelenggaraan negara yang kurang sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku.
Kedua, peran mediator. Yaitu peran yang dapat dilakukan oleh institusi pendidikan tinggi untuk menjadi mediator dalam rangka hubungan masyarakat dan pemerintah atau state dan civil society. Banyak agen di lembaga pendidikan tinggi yang selalu menjadi penterjemah terhadap relasi antara negara dan masyarakat. Peran akademisi PT di dalam kerangke menjembatani hubungan antara negara dan masyarakat seperti menjadi agen pengembangan masyarakat, perencana program, konsultan pembangunan dan sebagainya. Bahkan di dalam kerangka pengembangan masyarakat, maka sinergi antara akademisi, pemerintah dan pengusaha juga menjadi sangat penting.
Ketiga, peran pressure group. Tidak dapat disangkal bahwa PT juga memiliki peran untuk melakukan tindakan penekanan terhadap berbagai kebijakan publik. Sebagai lembaga yang di dalamnya sarat dengan kemampuan kritis, maka pantaslah jika PT banya menjadi tumpuan untuk melakukan tindakan menekan kepada pemerintah. Banyak kegiatan demonstrasi yang dilakukan untuk menekan kebijakan publik. Demonstrasi tersebut bukan dilakukan sekedar show of force akan tetapi dalam banyak hal juga memuat kritik terhadap kebijakan pemerintah.
Keempat, peran akselerasi perubahan. Tidak diragukan bahwa peran akselerasi perubahan dapat dilakukan oleh PT. Di era pembangunan nasional, banyak inovasi pembangunan masyarakat yang diaransir oleh PT. banyak kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dilekukan secara memadai oleh PT. Oleh karena itu, tentu PT tentu memiliki sejumlah peran signifikan di dalam proses perubahan akseleratif yang dimainkannya.
Di dalam kerangka ini, maka PT dapat memainkan peran strategis yaitu sebagai institusi yang menyiapkan generasi yang akan datang yang memiliki integritas publik. Untuk mencapai ini, maka yang sangat penting adalah bagaimana menyiapkan generasi yang akan datang agar memiliki komitmen dan integritas dalam membangun masyarakat.
Sebagai institusi yang akan menyiapkan generasi ke depan yang lebih baik, maka peran strategis PT adalah menyiapkan pendidikan berbasis kejujuran. Oleh karena itu, perlu disiapkan infrastruktur kependidikan yang menjamin terjadinya pendidikan kejujuran. Tentu saja semuanya dimulai dengan merumuskan pendidikan berbasis kejujuran yang akan menghasilkan manusia Indonesia yang tidak hanya cerdas dan kompetitif tetapi juga memiliki moralitas yang memadai.
Makanya, visi pendidikan Indonesia mestinya juga harus ditegaskan, yaitu untuk mencetak manusia Indonesia yang cerdas, kompetitif dan bermoral.
Wallahu a’lam bi al shawab.