• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

SEMUA ORANG MEMILIKI POTENSI KEBAHAGIAAN

SEMUA ORANG MEMILIKI POTENSI KEBAHAGIAAN

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Kabahagiaan sesungguhnya bukan karena banyaknya harta dan besarnya kekuasaan, akan tetapi pada hal-hal yang sepertinya biasa saja tetapi memiliki makna yang mendalam pada masing-masing individu. Memang tidak terdapat ukuran yang sama dalam memandang kebahagiaan. Masing-masing memiliki ukurannya sendiri-sendiri sesuai dengan tujuan dan makna kehidupannya. Ada yang mengukur dari asset yang dimiliki dan ada yang mengukur dari kekuasaan yang digapai. Tetapi sesungguhnya kebahagiaan itu ada pada diri masing-masing.

Ada beberapa ibrah untuk menjelaskan kebahagiaan. Jika ukurannya adalah harta, bisa jadi orang seperti Qarun,  maka ukuran kebahagiaan ada pada hartanya yang tidak ternilai. Atau seperti Bernard Arnault  dengan harta Rp3.285 Trilyun, atau Elon Musk yang asetnya Rp3.200  trilyun, atau Jeff Bezoss dengan asset sebesar Rp2,800 trilyun. Ukuran banyaknya asset bisa menjadi ukuran kebahagiaan. Jika orang Indonesia, maka Prayogo Pangestu dengan kekayaan sebesar Rp694,7 Trilyun atau Low Tuck Kwong dengan asset sebesar Rp439 Trilyun.  Merekalah orang-orang yang bahagia.

Apakah ini menjadi ukuran kebahagiaan. Belum tentu. Banyak asset atau kekayaan terkadang justru membelenggu seseorang untuk mempertahankan kekayaannya atau justru akan memunculkan kerugian yang membuat kebangkrutan. Itulah sebabnya orang kaya akan menjaga kekayaannya agar kekayaan itu seakan-akan kekal selamanya. Jadi seluruh hidupnya diabdikan untuk uang dan uang, harta dan harta, atau asset dan asset. Mereka orang-orang kapitalis yang selalu berpikir akumulasi modal.

Kebahagiaan itu ternyata ada pada ketiadaan beban. Selama masih ada beban di dalam kehidupan, baik beban individu, keluarga, komunitas dan masyarakat, maka selama itu pula seseorang belum bisa menikmati hakikat kebahagiaan. Untuk bahagia tidak berarti harus menarik diri dari kehidupan yang ada di tengah-tengah masyarakat. Tetapi hidup bermasyarakat yang membuat hati merasa tenang dan tenteram adalah cita-cita kehidupan manusia. Yang terpenting jangan ada beban di dalam kehidupan bermasyarakat dimaksud.

Kebahagiaan itu urusan hati dan bukan urusan kekayaan, jabatan dan pangkat. Kekayaan, pangkat dan jabatan tentu penting tetapi hal itu harus membuat ketentraman dan ketenangan. Harta yang banyak tentu boleh, jabatan yang tinggi tentu sah dan pangkat yang tinggi juga penting. Akan tetapi di atas hal tersebut, yang penting adalah ketengan batin. Jika mengikuti Syekh Hasan Syadzili, maka jangan sampai hati kita melekat kepada harta, pangkat dan jabatan tersebut. Jika harta, pangkat dan jabatan itu justru membawa ingat kepada Allah, maka  hal tersebut bisa menjadi instrument kebahagiaan.

Seseorang apapun kekayaan, pangkat dan jabatannya tentu tidak akan lepas dari masalah kehidupan. Seseorang  apapun kemiskinannya, ketiadaan jabatan dan pangkat juga tidak lepas dari masalah. Masalah itu hilang berganti. Hari ini masalah datang sore nanti hilang, dan besuk datang lagi dan malam hilang lagi. Disebut sebagai silih berganti. Kehidupan merupakan siklus masalah. Bagi orang yang mau hidup, maka harus berani untuk menyelesaikan masalah. Kapan dan di mana saja.

Kebahagiaan bukan hanya milik orang kaya saja, akan tetapi kebahagiaan juga milik siapa saja. Kebahagiaan bukan hanya milik para ulama atau kaum asatidz, kebahagiaan juga bukan hanya milik orang berpangkat, kebahagiaan juga bukan milik para penguasa, akan tetapi kebahagiaan adalah milik semua orang yang mampu untuk menyelesaikan problem kehidupannya. Jika hari ini ada masalah dan bisa diselesaikan, maka pada saat itulah kebahagiaan itu terjadi. Begitulah seterusnya.

Jika kita mengukur kebahagiaan itu dari kekuasaan, maka Fir’aun, Namrud, Jalud, Nebukanedsar, Jengis Khan, dan sebagainya adalah orang yang bahagia. Akan tetapi ternyata kehidupannya justru di dalam kegelisahan karena ingin mempertahankan kekuasaannya bahkan ada yang merasa menjadi Tuhan. Itu artinya bahwa kebahagiaan bukan karena kekuasaan, akan tetapi ada di dalam hati yang pasrah kepada kekuasaan Allah. Jika kita mengukur kebahagiaan dengan harta, maka Qarun seharusnya orang yang bahagia, akan tetapi nasibnya justru tragis karena Qarun dan hartanya ditenggelamkan oleh Allah ke dalam tanah.

Bandingkan dengan cerita-cerita tertulis seperti Dzinnun Al Mishri, Rabiah Al Adawiyah, Hasan Basri, Imam Ghazali, Imam Syadzili dan para ulama sufi yang larut di dalam jalan Ketuhanan. Maka hidupnya menjadi bahagian atau bahkan endless bliss sebagaimana ungkapan Sayyid Hossen Nasr, karena kebaktiannya kepada Allah SWT.  Hidup yang dipasrahkan kepada Allah semata jauh lebih mengenal kata bahagia dibandingkan dengan lainnya.

Islam mengajarkan kepada umatnya bahwa salah satu instrument untuk menggapai bahagia adalah dengan mengingat atau dzikir kepada Allah. Ketenangan hidup manusia ditentukan oleh kualitas dzikirnya. Semakin berkualitas dzikirnya, semakin besar peluang baginya untuk menemukan ketenangan jiwa. Sudah sering saya ungkapkan: ala bidzikrillahi tathmainnul qulub. Hanya dengan berdzikir kepada Allah saja, hati akan menjadi tenang.

Problemnya adalah seberapa besar kita dapat  memperkuat kualitas dzikir kepada Allah. Sebab untuk berdzikir kepada Allah tentu memerlukan persiapan batin yang baik dan juga persiapan mental yang baik. Tetapi sebagai orang awam di dalam ilmu keislaman yang khas,  maka yang terpenting adalah bagaimana kita dapat memperkuat konsistensi di dalam berdziki sesuai dengan kemampuan. Mula-mula memang harus dipaksa akan tetapi seirama dengan perkembangan waktu akan menjadi kebiasaan, dan lama kelamaan akan menjadi kebutuhan. Jika dzikir sudah menjadi kebutuhan, maka di situlah sebenarnya ketentraman akan terjadi kala usai melakukannya.

Hati akan menjadi gelisah kalau tidak beribadah atau berdzikir, dan hati akan menjadi tenang sesudah berdzikir kepada Allah. Semoga di hari raya 1445 Hijriyah ini kita dapat mengembangkan pengamalan beragama kita setahap lebih baik. Dan jika sungguh-sungguh insyaallah kita bisa.

Wallahu a’lam bi al shawab

 

Categories: Opini
Comment form currently closed..