Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

DEMAM FORMALISME AGAMA

Harian “The Jakarta Post”, Rabo 15 Juli 2009, melaporkan tentang keinginan Mayor Diani Budiarto dalam pencanangan  Bogor sebagai kota halal. Gagasan tentang Bogor sebagai kota halal, sebenarnya terjadi setahun terakhir yaitu ketika terdapat kolaborasi antara MUI dengan Mayor Diani dalam rangka melakukan pemberantasan penggunaan makanan, obat-obatan dan kosmetik non halal. Pada saat itu digagas pentingnya menjadikan Bogor sebagai kota halal. Gagasan ini semula diilhami untuk memberikan perlindungan bagi masyarakat muslim dari berbagai jenis makanan, obat-obatan dan kosmetik dari campuran atau elemen yang mengandung unsur non halal.

Gagasan untuk menjadikan kota sebagai kota halal tentunya bukan gagasan yang  mengada-ada jika  yang dimaksudkan adalah untuk melakukan perlindungan bagi warga masyarakat muslim yang memang perlu dilindungi.  Namun demikian hal ini  akan menjadi problem ketika ada penafsiran lebih jauh tentang kota halal tersebut.

Dewasa ini sepertinya ada demam formalisme agama. Ungkapan-ungkapan Islam banyak yang digunakan untuk melabel sebuah peristiwa, waktu bahkan tempat. Bogor sebagai kota halal tentu bukan salah. Kata halal adalah kata generik yang berarti diperbolehkan secara hukum. Jika makanan maka makanan tersebut diperbolehkan secara hukum. Ada dalil yang mendukung kebolehannya. Kata halal biasanya dilawankan dengan kata haram. Kata haram secara generik berarti ketidakbolehan berdasar atas dalil keagamaan. Ada teks yang menegaskan keharamannya.

Ketika sebuah kata halal dilabelkan pada kota, maka akan menuai kesulitan semantik sebab berarti kota yang sesuatu di dalamnya diperbolehkan atas dasar dalil agama.  Problem semantik ini tentu saja tidak sesulit secara empiris. Dalam bayangan awam tentunya kota halal adalah kota yang seluruh aktivitas warganya berdasar atas dalil agama yang sesuai dengan konsep Islam. Konsep ini tentunya secara empirik hanya bisa diterapkan jika seluruh warga kotanya beragama Islam. Sehingga konsep halal atau haram bisa berlaku di dalamnya.

Bogor atau kota lainnya di seluruh dunia dewasa ini tentunya kota yang multietnis, multikultural, dan multiagama. Di dalam kerangka ini, maka penerapan kota halal dalam arti yang sangat luas bertentangan dengan makna semantik dan empiris. Namun demikian jika yang dimaksudkan adalah memberikan label halal pada restoran, atau obat-obatan atau kosmetik yang disebabkan di dalamnya tidak terdapat elemen yang haram, maka tentunya ini sesuatu yang diperbolehkan.

Oleh karena itu, secara arif tentunya harus dinyatakan bahwa melabel sesuatu dengan dalil-dalil agama tentunya harus melihat bagaimana kondisi empiris sesuatu itu sehingga tidak membuat kerisauan bagi orang lain yang tidak sama dengan kita. Menerapkan ajaran agama di dalam kehidupan adalah sebuah keharusan. Islam pun mengajarkan agar kita memasuki Islam secara kaffah. Tetapi juga harus diingat bahwa kita tidak hidup dalam suatu komunitas yang sama tetapi kita selalu hidup dengan komunitas lain. Maka, menjaga perasaan, sikap dan tindakan kita terkait dengan orang lain merupakan suatu keniscayaan. Islam juga mengajarkan hablum minan nas, bukan hanya sekedar hablum minal muslimin.

Wallahu a’lam bi al-shawab

Categories: Opini