PUASA UNTUK UMAT TERDAHULU
PUASA UNTUK UMAT TERDAHULU
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Puasa merupakan ibadah yang universal dalam konteks semua agama memiliki ritual puasa meskipun tatacara dan jenisnya berbeda-beda. Tentu yang berbeda sekarang. Di masa lalu bisa saja puasa itu sama saja, yaitu menahan lapar dan minum dan relasi seksualitas di siang hari dan diperkenankannya di malam hari. Mengenai jumlah hari bisa saja berbeda, tetapi hakikat puasa adalah menahan hawa nafsu manusia yang seringkali kebablasan di dalam kehidupan.
Alqur’an menyatakan: “ya ayyuhal ladzina amanu kutiba alaikumus shiyam, kama kutiba alal ladzina min qablikum la’allakum tattaqun”. (Alqur’an, Surat Al Baqarah, 183). Yang artinya: “wahai orang yang beriman, diwajibkan atas kamu untuk berpuasa sebagaimana umat terdahulu agar kamu bertaqwa”. Ayat ini jelas menyatakan bahwa umat Islam dan umat sebelum turunnya Islam sebagai agama telah diwajibkan oleh Allah untuk melakukan puasa. Artinya dengan pendekatan doktriner harus diyakini bahwa ada puasa yang dilakukan oleh umat sebelum Islam, yaitu umat Nasrani, Hindu, Buddha dan Yahudi dan juga umat agama-agama lainnya.
Jika Alqur’an menyatakan agar umat Islam berpuasa sebagaimana umat sebelumnya ternyata memang benar adanya. Umat Yahudi melakukan puasa sebagaimana umat Nasrani, Yahudi, Hindu, Buddha dan Yahudi juga melakukan puasa. Ada beberapa penjelasan yang kita dapatkan di media social, bahwa umat Yahudi melakukan puasa dengan pantangan makan, umat Nasrani atau Protestan dan Katolik juga melakukan puasa menjelang paskah yang diakhir pada Jum’at Agung dengan pantangan makan, sedangkan umat Buddha juga melakukan puasa misalnya dengan pantangan makan dalam sehari. Bahkan di kalangan para Bante, maka mereka pantang makan pada jam 12 siang ke atas. Mereka hanya makan sekali saja sebelum jam 12 siang dan jika tidak makan sebelum jam tersebut, maka harus menunggu esok hari untuk makan. Di kalangan orang Hindu juga terdapat puasa dengan melakukan pantangan atas makanan.
Nabi Adam melakukan puasa tiga kali dalam sebulan, akan tetapi juga ada yang menyatakan bahwa puasa Nabi Adam adalah berpuasa sehari semalam dan ada juga yang menyatakan berpuasa pada tanggal 10 Dzulhijjah kala bertemu kembali dengan Hawwa. Namun juga ada yang menyatakan bahwa puasa Nabi Adam adalah selama 40 hari 40 malam setiap tahun.
Nabi Idris berpuasa sepanjang hayat. Setiap hari melakukan puasa dan mengakhiri puasa pada malam hari. Puasanya sebagaimana yang dilakukan oleh umat Islam sekarang. Berpuasa di siang hari dan berbuka di malam hari. Nabi Nuh berpuasa tiga hari setiap bulan, dan kala berada di dalam kapal sewaktu banjir besar melanda dunia, maka Nabi Nuh melakukan puasa setiap hari. Beliau di dalam kapal dengan pengikutnya selama enam bulan. Jadi berarti berpuasa setiap hari selam enam bulan. Nabi Ibrahim berpuasa sewaktu dibakar oleh Raja Namrud selama tujuh hari tujuh malam. Jadi Nabi Ibrahim berpuasa selama tujuh hari tujuh malam tersebut.
Nabi Dawud dikenal melaksanakan puasa yang hingga sekarang masih dikenal dengan puasa Dawud yaitu puasa dengan teknik sehari puasa sehari tidak. Puasa yang dilakukan dengan selang seling. Artinya bahwa pada era Nabi Dawud sudah dikenal puasa. Sedangkan Nabi Musa berpuasa selama 40 hari dalam setahun. Cara berpuasa Nabi Musa kemudian diikuti oleh umat Yahudi. Kemudian Nabi Isa juga melakukan puasa selama 40 hari selama 24 jam dan pantang memakan daging atau hewan yang bernyawa.
Puasa sesungguhnya merupakan ajaran universal yang dilakukan oleh Nabi dan Rasul dengan berbagai varian. Akan tetapi sebagaimana yang terjadi bahwa kemudian puasa-puasa yang dilakukan oleh para Nabi dan Rasul tersebut berubah sesuai dengan penafsiran ahli-ahli agama pada masa berikutnya. Perubahan tersebut tentu dapat dikaitkan dengan pemikiran dan pemahaman atas agama yang diyakininya. Sebagai contoh yang sangat realistis, Nabi Ibrahim dikenal sebagai Bapak Monotheisme atau Rasul yang secara tegas menyatakan bahwa Tuhan Maha Esa. Bisa saja dinyatakan sebagai keesaan Tuhan yang bersifat murni. Demikian pula ajaran Nabi Ismail yang menjadi nenek moyang Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi ajaran monotheisme tersebut kemudian menjadi berubah dengan menempatkan patung-patung sebagai sesembahannya. Dari monotheisme menjadi polytheisme. Semua suku di Jazirah Arab memiliki patung-patung Tuhan, tetapi yang terbesar hanya tiga saja, yaitu: Al Lata, Al Manat dan Al Uzza. Dengan demikian terdapat penafsiran yang berubah atas ajaran Nabi Ibrahim yang diteruskan oleh Nabi Ismail. Demikian pula ihwal perubahan puasa dari umat Nabi ke umat Nabi lainnya. Terjadi pemahaman yang bisa berubah sesuai dengan perubahan zaman.
Puasa di dalam Islam sudah berjalan selama 1400 tahun lebih. Namun demikian, puasa di dalam Islam tidak berubah, baik cara dan substansinya. Puasa dilakukan selama satu bulan, yaitu bulan qamariyah yang usianya 29 atau 30 hari. Adakalanya puasa dilakukan dalam 29 hari dan adakalanya dilakukan selama 30 hari. Ada perbedaan dalam menentukan kapan puasa Ramadlan dimulai dan kapan diakhiri. Ada dua metode yaitu rukyatul hilal dengan prinsip imkanur rukyah dan ada metode hisab dengan prinsip wujudul hilal. Meskipun berbeda dalam penetapan kapan puasa dilakukan, akan tetapi substansi puasa tetaplah sama, yaitu menahan makan dan minum serta tidak melakukan relasi seksual pada siang hari. Dan yang terpenting bahwa umat Islam yang berpuasa harus menjaga diri agar tidak terdapat perbuatan yang mengurangi dan membatalkan puasa.
Kita patut bersyukur meskipun puasa sudah berjalan semenjak Nabi Muhammad, Sahabat, Tabiin dan Tabiit-tabiin dan hingga sekarang ternyata ibadah puasa tersebut masih orisinal sebagaimana dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Bukankah hal ini menandakan orisinalitas Islam yang melampaui tempat dan zaman.
Wallahu a’lam bi al shawab.