MENYIKAPI PERBEDAAN AWAL RAMADLAN 1445 H
MENYIKAPI PERBEDAAN AWAL RAMADLAN 1445 H
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Pada tahun 2024 Masehi atau tahun 1445 Hijriyah ternyata terdapat perbedaan dalam menetapkan tanggal 1 Ramadlan. Organisasi Muhammadiyah menetapkan tanggal 11 Maret 2024 sebagai awal Ramadlan, sementara NU dan Pemerintah menetapkan tanggal 12 Maret 2024 sebagai awal Ramadlan. Perbedaan ini tentu tidak mengagetkan, sebab tidak sekali dua kali hal ini terjadi tetapi sudah berkali-kali.
Hal inilah yang menjadi pokok pembahasan dalam ceramah saya di Masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency Ketintang Surabaya, 11/03/2024. Ceramah ini dilaksanakan ba’da shalat Isya’ dan diakhiri dengan shalat Tarawih dan Shalat Witir. Masjid al Ihsan memang menyelenggarakan ceramah secara rutin, setiap malam selama bulan Ramadlan. Tentu tujuannya adalah untuk memberikan pemahaman kepada para jamaah Masjid Al Ihsan.
Ada tiga hal yang saya sampaikan kepada jamaah shalat tarawih, yaitu: pertama, sudah saatnya kita bersyukur kepada Allah karena diberikan kesehatan sehingga insyaallah dapat melaksanakan puasa. Bukankah kita berdoa kepada Allah nyaris setiap hari dengan doa: “Allahumma bariklana fi rajab wa sya’ban wa balighna ramadlan.” Yang artinya kurang lebih adalah “Ya Allah berkahilah kami pada bulan Rajab dan Sya’ban dan pertemukan dengan bulan Ramadlan”. Kita semua bersyukur karena kita dapat berjumpa dengan bulan Ramadlan yang kita idamkan. Kita sudah dipertemukan dengan bulan Ramadlan tentu karena Allah mengabulkan permohonan kita. Oleh karena itu penting untuk memohon usia yang panjang yang sehat, yang mendapatkan cahaya Allah dan tetap di dalam keimanan kepada Allah. Doa itu adalah: “Allahumma thawwil umurana wa shahih ajsadana wa nawwir qulubana wa tsabbith imanana”.
Kedua, kita bersyukur kepada Allah karena Allah sudah memberikan kepada kita kekuatan untuk beribadah seperti ibadah puasa. Ibadah puasa adalah ibadah fisik. Kita sungguh bersyukur karena sudah melaksanakan shalat dan membaca syahadat. Kita sudah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad Rasulullah. Kita sudah menyaksikan dengan ucapan, dan hati kita bahwa Allah merupakan Tuhan seru sekalian alam, Tuhan yang menciptakan seluruh alam dan Tuhan yang menjadi tempat kita semua untuk mengabdi dan menyembahnya. Kita sudah melaksanakan shalat wajib dan shalat sunnah. Melaksanakan shalat merupakan bentuk pengabdian kepada Allah yang terbaik. Shalat itu tiang agama. “Ashhalatu ‘imaduddin. faman aqamaha faqad aqamaddin, faman hadamaha faqad hadamaddin”. “Shalat adalah tiang agama, siapa yang mendirikannya adalah mendirikan agama dan barang siapa yang meninggalkannya maka merubuhkan agama”. Kita mesti bersyukur kepada Allah atas semua hidayahnya, sehingga kita dapat menjadi umat Islam, umat yang disayang oleh Rasulullah dan umat yang dirahmati oleh Allah SWT. Lalu kita juga sudah mengeluarkan zakat sebagai kewajiban sebagai umat Islam. Kita harus menyisihkan sebagian kecil harta untuk kepentingan kaum miskin, kaum dhuafa’. Melalui ajaran tentang zakat ini, maka Allah mengajarkan agar sesama manusia saling menyayangi dan mengasihi. Dan di antara kita juga sudah ada yang melaksanakan umrah dan haji. Hanya saja untuk haji maka ada ketentuan bagi yang mampu.
Ketiga, sesungguhnya ada pertanyaan dasar tentang puasa, yaitu: kenapa puasa di Indonesia berbeda memulainya dan juga bisa berbeda mengakhirinya. Terjadinya perbedaan memulai dan mengakhiri puasa disebabkan oleh perbedaan metode di dalam menetapkan tanggal 1 Ramadlan dan 1 Syawal. Muhammadiyah menggunakan metode hisab dengan wujudul hilal. Dengan rumus hisab yang sudah disepakati oleh Majelis Tarjih di Muhammadiyah, maka ditetapkan selama hilal sudah wujud dalam derajad sekecil-kecilnya, misalnya 0,01 derajat maka hilal sudah wujud dan berarti bulan sudah berganti. Maka berarti tanggal 1 sudah berlangsung. Tetapi yang menggunakan metode ru’yatul hilal dalam wujud imkanur ru’yah, maka hilal akan dinyatakan sebagai awal ramadlan jika ketinggiannya sudah mencapai sekurang-kurangnya dua derajad. Bahkan Menteri-Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia dan Singapura (MABIMS) sudah menetapkan ketetapan baru sekurang-kurangnya tiga derajad. Jadi untuk menentukan tanggal 1 Ramadlan dan Syawal, maka ketinggian hilal harus tiga derajad. Jika kurang dari tiga derajad tentu tidak memenuhi standart ru’yah atau dilihat dengan mata meskipun melalui teknologi teleskop. Munculnya dua metode ini terkait dengan Sabda Nabi Muhammad SAW bahwa agar kita memulai puasa dengan munculnya hilal dan mengakhirinya dengan munculnya hilal. Jika hilal tidak kelihatan dengan ru’yah, maka agar diistikmalkan atau digenapkan menjadi 30 hari. Oleh karena lalu muncul penafsiran, ada yang melihat melalui perhitungan atau hisab dan ada yang melihatnya melalui pandangan mata atau ru’yah.
Jika kita puasa, maka kita harus yakin atas kebenaran apa yang kita lakukan. Agama itu terkait dengan I’tiqadiyah atau aqidah atau keyakinan. Maka kita harus yakin. Jangan sampai kita beribadah tidak dengan keyakinan. Bagi yang meyakini memulai puasa hari Senin, 11/03/2024, maka puasalah dengan keyakinan. Bagi yang puasa hari Selasa, 12/03/2024 maka puasalah dengan keyakinan. Inilah yang disebut sebagai religious internum. Keyakinan di dalam masing-masing agama di dalam dimensi ke dalam.
Namun demikian, ada yang harus diperhatikan adalah terkait dengan bagaimana kita mengangkat persoalan perbedaan awal Ramadlan, maka yang dilakukan adalah menghargai keyakinan yang berbeda dimaksud. Ada kebenaran bagi mereka sebab semuanya berada di dalam tafsir atas ajaran agama. Penghargaan dan toleransi ini yang disebut sebagai dimensi eksternum atau bagaimana membangun relasi yang baik di antara yang berbeda.
Inilah keunikan Indonesia. Negeri dengan organisasi keagamaan yang sangat banyak dan masing-masing memberikan penafsiran yang bisa sama dan juga berbeda. Dan keunikan lainnya, bahwa meskipun berbeda akan tetapi solidaritas, harmoni dan kerukunan intern dan antar umat beragama tetap terjalin dengan baik dan bermanfaat. Marilah kita jadikan perbedaan bukan sebagai factor menyebab disharmoni akan tetapi untuk merajut kerukunan. Bhinneka Tunggal Ika.
Wallahu a’lam bi al shawab.