MENGAPA IAIN SA HARUS BERUBAH?
Dalam tulisan kemarin, saya ungkapkan bahwa karena adanya tantangan perubahan, kompetisi dan tuntutan kebutuhan, maka IAIN SA harus berubah. Lalu perubahan macam apa yang seharusnya dilakukan. Maka ada salah satu yang mendasar adalah perubahan institusi dari IAIN menjadi UIN. Mungkin Akan ada pro dan kontra tentang rencana ini. Tapi melihat kuatnya keinginan untuk berubah di kalangan yang pro futuristik, maka keinginan ini rasanya tidak bisa ditunda. Jadi pilihan untuk menjadi UIN kiranya tidak bisa ditunda.
Akhir-akhir ini, memang ada kegelisahan yang terus menggelayut di dalam pikiran saya. Pertama, persoalan nomenklatur fakultas yang tidak lagi mampu untuk menampung dimensi keilmuan yang terus berkembang. Seperti diketahui bahwa semenjak tahun 2000, maka ada kebijakan baru tentang perluasan wewenang yang diberikan kepada Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI), yang disebut sebagai wider mandate, yaitu dengan diperkenankan PTAI membuka program studi umum. Maka berbondong-bondong PTAI lalu membuka prodi umum, seperti: sosiologi, psikhologi, bahasa inggris, matematika, ilmu politik, ilmu hukum dan sebagainya. IAIN SA juga memperoleh prodi umum, yaitu Sosiologi, Komunikasi, Psikhologi, Sastra Inggris, yang semuanya melalui rekomendasi Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dan program studi Politik Islam, Pendidikan Matematika, Pendidikan Bahasa Arab, yang memperoleh ijin operasional dari Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Dirjenpendis). Prodi ini yang sekarang menjadi bagian penting dari pengembangan kelembagaan IAIN SA.
Problem nomunklaturnya, bahwa prodi umum ini berada di fakultas yang secara substansial dekat dengan keilmuan ini. Prodi Sosiologi, Psikhologi dan Komunikasi berada di Fakultas Dakwah, Prodi Sastra Inggris di Fakultas Adab, Politik Islam di Fakultas Ushuuddin, prodi Pendidikan Bahasa Inggris, Matematika dan Pendidikan Bahasa Arab berada di Fakultas Tarbiyah. Makanya di awal saya memimpin IAIN Sunan Ampel, maka yang saya pikir adalah bagaimana nomenklatur tentang fakultas ini bisa diubah. Saya merasa bahwa Fakultas Dakwah tidak mampu untuk menjadi tempat untuk menaungi beberapa prodi umum. Demikian pula Sastra Inggris tidak bisa ditampung oleh Fakultas Adab. Oleh karena itu, maka saya usulkan dan diberitakan di koran-koran bahwa harus ada perubahan nomenklatur yaitu Fakultas Adab dan Humaniora, Fakultas Dakwah dan Ilmu sosial, Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum, Fakultas Tarbiyah dan Kependidikan dan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat. Bahkan perubahan nomenklatur ini sudah disetujui oleh Senat IAIN SA.
Kedua, keinginan untuk menjadi pusat ekselensi dosen. Saya merasa bahwa untuk menjadi ekselen bukan sesuatu yang mudah. Harus ada usaha. Untuk mencapai hal tersebut, maka semua harus dikerahkan. Dosen harus dipacu untuk mengembangkan kemampuannya. Program studi lanjut (S3) harus menjadi ideologinya. Jika tidak, maka akan ketinggalan. Dan yang sedikit melegakan bahwa komposisi dosen untuk program studi S3 adalah 60% Islamic Studies dan 40% program studi umum. Jadi ketika akan menjadi UIN, maka proporsi dosen ini relatif memadai. Akan tetapi dalam pengembangan rasa percaya diri, maka dosen-dosen itu harus didorong agar memiliki pengalaman internasional. Program yang saya sebut sebagai internasionalisasi dosen ini, baik yang berupa short course di luar negeri atau menjadi narasumber akademis di luar negeri tersebut akan didorong kuat di tahun-tahun depan. Diharapkan melalui pengalaman luar negeri tersebut, maka akan dapat membangun mimpi bagi mahasiswa tentang masa depan. Untuk penguatan pengalaman dosen maka diharapkan bahwa sebelum para doktor menjadi profesor, maka sudah pernah menjadi nara sumber di seminar internasional, baik yang dilakukan di dalam atau di luar negeri. IAIN SA telah memiliki sejumlah kerjasama dengan berbagai universitas di luar negeri yang kiranya bisa dijadikan sebagai sarana untuk melaksanakan kegiatan akademis ini.
Ketiga, menjadi pusat ekselensi akademis. Untuk menjadi pusat ekselensi akademis juga tidak semudah membalik tangan. Ada beberapa hal mendasar yang harus dilakukan. Di antaranya adalah menjawab pertanyaan seberapa banyak dosen yang mampu menulis di jurnal-jurnal akademis nasional terakreditasi, atau juga jurnal internasional. Demikian pula tulisan dalam bentuk buku yang monumental atau karya akademik populer. Semuanya ini memang harus menjadi ”ideologi” bagi seluruh dosen dalam rangka menuju impian menjadi ekselen dalam bidang akademis. Tidak ada sesuatu yang datang dengan sendirinya kecuali dengan usaha-usaha yang dilakukan secara maksimal.
Oleh karena itu, maka hanya ada satu hal yang ke depan harus dilakukan, yaitu: ”marilah menjadi yang terbaik.”
Wallahu a’lam bi al shawab.