TANTANGAN IAIN KE DEPAN
Di dalam bukunya Asrori S. Karni, Etos Studi Kaum Santri, 2009, yang membicarakan tentang wajah baru pendidikan Islam di Indonesia, ada hal yang membuat saya menjadi berpikir bahwa belum ada sesuatu yang baru sebagai trend yang dapat dibicarakan tentang IAIN termasuk IAIN Sunan Ampel. Jika UIN dibahas panjang lebar bahkan dalam catatan khusus, maka IAIN hanya dibicarakan secara selintas. Ada tiga UIN yang dibahas, yaitu UIN Jakarta, UIN Jogyakarta dan UIN Malang. Ini menandakan bahwa membicarakan UIN dengan konsep-konsep integrasi keilmuan dengan berbagai variasinya ternyata jauh lebih menarik, sementara cerita tentang IAIN tidak ada yang bisa dirajut secara khusus.
Ini tentu saja adalah pandangan subyektif saya tentang perbandingan antara UIN dan IAIN yang memang tersaji akhir-akhir ini. Meskipun orang bisa saja berbeda pendapat, akan tetapi gambaran tentang menariknya UIN dengan berbagai varian program studi dan cita-cita pengembangan ilmu keislaman yang multidisipliner, memang jauh lebih atraktif. Sehingga membincang UIN dengan pernik-perniknya juga menjadi lebih menarik.
Dunia memang sudah sangat berubah, sehingga siapapun yang tidak merespon perubahan tersebut, maka akan tertinggal. Memang harus diakui, bahwa ada perubahan orientasi orang dalam pendidikan. Maksud saya, bahwa ada perubahan orang dalam menentukan pilihan pendidikan bagi anak-anaknya. Program studi yang memiliki kedekatan dengan dunia kerja jauh lebih diminati dari pada yang berjauhan dengan dunia kerja. Tantangan ini tentunya harus direspon secara memadai oleh semua pengambil kebijakan di dunia pendidikan tinggi.
Tantangan lain adalah ketatnya persaingan di antara perguruan tinggi, baik yang negeri di bawah Departemen Agama (Depag) atau Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) maupun yang swasta di bawah keduanya. Ketatnya persaingan tersebut dapat dilihat dari semakin banyaknya perguruan tinggi yang mengembangkan program studi umum, seperti Perguruan Tinggi (PT) di bawah Depag, misalnya UIN atau IAIN yang memperoleh wider mandate, sementara Universitas atau Institut di bawah Depdiknas juga membuka program studi ilmu-ilmu agama (Islamic Studies) yang semakin menguat, seperti Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Universitas Airlangga (UA), Universitas Gajah Mada (UGM), bahkan Universitas Trisakti untuk program studi Ekonomi Syariah.
Ke depan, tantangan IAIN yang hanya khusus mengembangkan Islamic Studies tidak hanya datang dari UIN dan STAIN tetapi juga datang dari perguruan tinggi ternama di negeri ini, yang membuka program studi ilmu-ilmu keislaman. Dan seperti yang dapat dilihat, maka program studi ilmu keislaman yang digelar oleh PTN atau PTS ternama jauh lebih diminati dibandingkan dengan yang di IAIN. Masyarakat kita memang masih melihat kulitnya dari pada isinya. Meskipun ahli-ahli keislaman atau guru besar keislaman tentu jauh lebih mapan di IAIN atau UIN akan tetapi masayarakat lebih bangga menjadi alumnus UA atau UNJ atau UGM dalam bidang studi Islamic Studies dibanding dengan alumnus IAIN.
Di dalam kerangka mengejar ketertinggalan pengembangan keilmuan keislaman tersebut mereka juga sangat agresif. UNJ misalnya, harus mengembangkan Program Studi Keislamannya dengan menggandeng Perguruan Tinggi Islam ternama di luar negeri. Maka, mereka melakukan kerjasama dengan Cairo University, Minea University, Canal Suez University dan juga Al Azhar University. Kurikulum program Studi Islamic Studies direview oleh Cairo University. Selain mereka juga aktif melakukan peningkatan kualitas dosen ilmu-ilmu agama Islam melalui program short course Bahasa Arab atau pertemuan ilmiah yang dilaksanakan oleh perguruan tinggi di Mesir. Pada akhir tahun 2009, misalnya mereka mengirimkan dosennya untuk pendidikan Bahasa Arab dan juga mengikuti pertemuan ilmiah di Minea University tentang pengembangan Islamic Studies. Melalui pengembangan kualitas program studi dan kualitas dosennya serta keunggulan imaje yang dimiliki oleh perguruan tinggi tersebut, maka tantangan IAIN tentu akan menjadi semakin banyak.
Tantangan ini tentunya tidak boleh dibiarkan. Akan tetapi harus dijawab. Jawabannya adalah melalui pengembangan dan penguatan program studi di IAIN Sunan Ampel. Jika PTN di bawah Diknas sedemikian ekspansif dalam pengembangan program studi keislaman, maka IAIN harus memberikan jawaban dengan cara mengubah institusinya menjadi lebih terbuka dan luas, yaitu menjadi UIN. Melalui perubahan ini, maka tantangan perubahan zaman, tantangan kelembagaan dan tantangan kualitas ke depan akan dapat diminimalisasikan.
Untuk itu, maka pengembangan kualitas dosen –dalam hal ini disebut sebagai internasionalisasi dosen—dan pengembangan kelembagaan atau penguatan kelembagaan harus dilakukan. Jika tidak, maka IAIN hanya akan menempati PT kelas ke empat seperti yang kita rasakan dewasa ini.
Wallahu a’lam bi al shawab.