• May 2024
    M T W T F S S
    « Apr    
     12345
    6789101112
    13141516171819
    20212223242526
    2728293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

QAULAN SADIDAN: NYATAKAN APA ADANYA

QAULAN SADIDAN: NYATAKAN APA ADANYA

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Kita hidup di dalam dunia social dengan berbagai ragam suku bangsa, etnis, dan juga tradisi. Itulah sebabnya kita hidup di tengah pluralitas dan juga multikulturalitas. Ada berbagai macam suku bangsa, etnis, penggolongan social, penggolongan agama dan juga model relasi social. Semuanya memang telah menjadi kodrat di dalam kehidupan manusia. Tidak ada suatu masyarakat yang hanya terdiri dari satu golongan social. Mungkin di masa lalu ada, tetapi sekarang di tengah kemudahan migrasi dari satu wilayah ke wilayah lain, maka peluang untuk hidup dalam pluralitas dan multikulturalitas itu sangat besar.

Di Amerika Serikat, maka terdapat suatu ras baru yang merupakan campuran antara ras kulit putih dengan kulit berwarna, yaitu orang Amerika yang berasal dari Eropa dan Orang Amerika Latin, sehingga menghasilkan satu ras baru, America-Latino. Kulit mereka tidak kemerah-merahan dan juga tidak keputih-putihan tetapi merupakan paduan di antara dua warna kulit. Misalnya penyanyi Shakira, J. Lopez, dan petinju Mohammad Ali. Merupakan hasil ras campuran yang justru terkadang eksotik warna kulitnya. Demikian pula di Eropa dan Australia. Di Indonesia kita juga melihat ras campuran antara orang kulit Putih, Eropa, dengan orang kulit berwarna, Jawa atau Sunda, yang kemudian menghasilkan ras baru, sebenarnya, yaitu ras campuran seperti Sophia Latjuba, Tamara Blezinsky, Tamara Geraldine, Cinta Laura, Mawar Eva De Jongh, Caitlin-Halderman,  dan lain-lain.

Hidup itu bagaikan berada di taman bunga. Sebuah taman bunga akan menjadi indah jika di dalamnya terdapat bunga yang warna-warni. Demikian pula di dalam kehidupan. Jika di dalam masyarakat terdapat berbagai warna kulit, ukuran badan, perangai dan prilaku yang berbeda-beda maka hidup akan menjadi indah. Itulah sebabnya kita harus memahami orang lain, tidak dengan menggunakan ukuran kita saja, akan tetapi dengan melakukan negosiasi pemahaman, sehingga akan memproduk kesepahaman yang mengasyikkan.

Saya meyakini bahwa di antara semua pedoman kehidupan baik yang berbasis agama atau social, maka sebenarnya ada yang disebut sebagai pola umum yang berlaku mendasar. Setiap ras, suku bangsa, golongan social dan agama tentu ada yang khusus yang memang menjadi inti di dalam kehidupannya, akan tetapi tentu ada yang menjadi milik bersama yang bersumber dari resources yang berbeda, misalnya berbeda agamanya tetapi ada “kesamaan” dalam hal-hal yang bercorak umum. Misalnya kesopanan, kebaikan sikap dan prilaku, dan relasi social yang sepadan, seimbang dan harmonis.

Di dalam membangun relasi social, tentu semua suku bangsa, ras, dan antar golongan memiliki hal yang sama yaitu berkata dengan jujur, apa adanya, tegas, dan tidak menyembunyikan sesuatu yang sudah diketahui oleh banyak orang. Di dalam relasi social dipastikan orang tidak suka untuk dibohongi, tidak suka dilecehkan, tidak suka untuk dikibuli, dan tidak suka untuk direndahkan.

Hidup itu memang perlu ketegasan. Perlu kejujuran. Di dalam memilih sesuatu juga harus disertai dengan ketegasan. Orang sering salah mengartikan bahwa berkata dengan tegas itu sama dengan berkata dengan keras. Padahal itu dua hal yang sangat berbeda. Jika kita menyamakan antara ketegasan dan kekerasan, maka kita akan bisa menyatakan bahwa kebanyakan orang Medan atau Papua itu keras, sebab suaranya yang memang sering keras. Padahal bersuara keras merupakan bagian dari tradisi dan gaya berbicara orang-orang tersebut.

Tegas secara Bahasa berarti mengungkapkan sesuatu apa adanya. Apa yang dinyatakan memang benar sesuai apa yang dipahami atas kenyataan yang diketahuinya. Sedangkan secara istilah tegas berarti mengungkapkan sesuatu dengan bahasa yang lugas, jujur, tidak berbelit-belit, apa adanya, dan tidak menyembunyikan sesuatu yang benar dan tidak berbasa-basi.

Ketegasan sesungguhnya sangat diperlukan di dalam semua lini kehidupan. Misalnya seorang pemimpin, maka harus memberikan perintah yang tegas sehingga dapat dipahami oleh stafnya dengan benar. Bayangkan jika perintah tersebut mengandung makna yang bermacam-macam, maka staf akan merasakan kebingungan untuk melaksanakannya. Termasuk di dalam memberikan fatwa atau judgement,  maka juga harus tegas. Jangan sampai fatwa itu membuat orang yang melaksanakannya merasakan tidak nyaman. Termasuk juga di kala harus membuat regulasi, maka pasal-demi pasal harus memberikan kejelasan apa dan bagaimana konsekuensi hukum itu bagi para pelanggarnya.

Sesungguhnya Islam sudah memberikan pesan yang sangat jelas. Qulil haqqa walau kana murran. Berkatalah yang benar walaupun dirasakan pahit. Quill haqqa itu bermakna berkata dengan jujur,  tegas, apa adanya. Bisa jadi pengungkapannya menggunakan cara yang sopan, sebab ketegasan tidak ada artinya jika kemudian justru tidak menyadarkan orang lain atau menyakiti orang lain. Ketegasan dan kesopanan itu ibarat dua sisi mata uang. Di satu sisi harus tegas, dan di sisi lain harus sopan.

Islam memberikan panduan bahwa qaulan sadidan, qulan kariman, qaulan layyinan itu tidak berdiri sendiri-sendiri tetapi merupakan satu kesatuan. Di dalam ungkapan kejujuran dan ketegasan terdapat ungkapan lemah lembut dan ungkapan yang menghargai orang lain.

Alangkah indahnya ajaran Islam dalam persoalan relasi social. Semua ini bersesuaian dengan hakikat human relation, human right, human expression, and  human dignity. Jika umat Islam dan umat agama lain bisa mengamalkan yang seperti ini, maka dijamin bahwa kerukunan, harmoni dan keselamatan dipastikan eksis di tengah kehidupan kita.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

Categories: Opini
Comment form currently closed..