QAULAN LAYYINAN SEBAGAI PRINSIP KOMUNIKASI SOSIAL
QAULAN LAYYINAN SEBAGAI PRINSIP KOMUNIKASI SOSIAL
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Jamaah Masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency telah mendapatkan siraman rohani dalam pengajian yang dilakukan pada setiap Hari Selasa, ba’da Shubuh. Dalam dua kali terakhir diisi oleh Pak Dr. Cholil Umam, dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel. Materi Pak Cholil tentu terkait dengan pemahaman dan pengamalan beragama, khususnya terkait dengan sabar dan cara melakukannya.
Pada Selasa, 23/01/2024, saya yang memberikan ceramah ba’da Shubuh dengan tema yang agak berbeda. Saya lebih kuat nalar sosiologisnya dibandingkan dengan nalar keagamaannya. Saya menyampaikan tiga hal terkait dengan relasi antara generasi muda, debat dalam koridor Keislaman dan bagaimana menjadikan qaulan layyinan dalam relasi antar manusia.
Pertama, sekarang adalah eranya kaum muda, yang sering dilabel sebagai generasi muda atau generasi milenial. Para milenial memiliki beberapa ciri khas dalam kaitannya dengan belajar social atau belajar kemasyarakatan. Ada sekurang-kurangnya lima ciri khas, yaitu belajar tentang pengalaman. Generasi milenial sebenarnya memiliki kecenderungan untuk belajar berbasis pengalaman dan bukan hanya belajar tentang pengetahuan. Jadi yang sebenarnya dicari adalah pengalaman di dalam kehidupan. Untuk menemukan pengetahuan cukup dengan gadget. Apa saja yang ingin dipelajari ada di situ. Tinggal klik dan klik.
Hanya sayangnya bahwa tidak semua generasi milenial belajar tentang pengalaman. Egoism kaum milenial terkadang bisa menjadi pemicu kenapa mereka tidak menjadikan pengalaman generasi sebelumnya untuk dijadikan kaca benggala. Ada banyak generasi milenial yang justru ingin menemukan jati dirinya dengan membongkar tradisi atau kebiasaan generasi sebelumnya. Ada sebuah buku yang menarik judulnya: “Millennials Kill Everything” yang ditulis oleh Yuswohady, Farid Fatahillah, Budi Triyaditia, dan Amanda Rachmaniar. Berdasarkan buku ini, maka generasi milenial memiliki perilaku yang berbeda dengan perilaku generasi sebelumnya, termasuk perilaku konsumsinya. Tidak hanya itu juga life style yang dilakukannya. Semua serba berubah dan mau tidak mau mereka harus diikuti.
Kedua, kita baru saja milihat penampilan dan ekpresi para calon wakil presiden dalam acara debat cawapres dalam pemilu 2024. Kita bisa melihat bagaimana performance Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres Nomor 02, yang berlaga di dalam debat cawapres untuk pilpres 2024. Kita melihat ada Prof. Dr. Mahfud MD, usia 66 tahun, Cak Muhaimin Iskandar 58 tahun dan Gibran Rakabuming Raka 36 tahun. Jika dilihat dari usia, maka Prof. Mahfud termasuk generasi baby boomer, Cak Imin generasi X dan Gibran generasi milenial atau generasi Y. Sebuah diskusi yang menarik untuk dicermati. Tidak hanya masyarakat Indonesia tetapi juga masyarakat dunia. Debat ini akan menentukan Indonesia masa depan. Debat ini menggambarkan bagaimana relasi antara generasi tua, yang diwakili oleh Prof. Mahfud dan Cak Imin dan generasi muda yang diwakili oleh Gibran.
Tanpa berupaya untuk mendowngrade siapapun, tetapi kita melihat bagaimana tampilan, ekspresi, penyampaian gagasan, dan gimmick yang menyertai perdebatan tersebut. Tentu ada yang menganggap debat itu biasa saja. Di dalam perdebatan pasti ada upaya untuk “mengalahkan” yang lain. Di dalam setiap perdebatan pasti menghasilkan pandangan siapa yang lebih baik dan sebagainya. Semuanya tentu didasarkan atas tafsir atau analisis yang selalu berkaitan dengan kepentingan siapa yang menganalisis dan untuk kepentingan apa dan siapa. Karena penilaian atas debat cawapres itu berbasis atas pemahaman atau tafsir siapa yang melakukannya, maka para penafsir lain tentu akan memahami apa dan siapa dia. Semuanya akan terpulang kepada masing-masing kita. Ada yang pro dan ada yang kontra. Biasa saja.
Ketiga, agama kita mengajarkan prinsip komunikasi yang disebut sebagai qaulan layyinan. Atau berkata dengan lemah lembut berbasis pada kasih sayang. Konsep qaulan layyinan itu berangkat dari perintah Allah kepada Nabi Musa dan Nabi Harun di kala keduanya akan berbicara tentang Millah Nabi Musa, yaitu jalan Tuhan yang Maha Esa dan Maha Rahman dan Rahim. Di dalam Surat Thaha ayat 44 dijelaskan panjang lebar tentang bagaimana suasana pertemuan Nabi Musa dan Harun dengan Fir’aun. Dijelaskan: “kala Nabi Musa dan Harun akan bertemu dengan Fir’aun yang sombong, merasa berkuasa penuh dan dhalim, maka Nabi Musa dan Harun diperintah oleh Allah agar tetap mengedepankan perkataan yang lemah lembut dan kasih sayang. Allah menyatakan: faqula qaulan layyinan la’allahu yatadzakkaru au yakhsya. Yang artinya: “maka berkatalah dengan lemah lembut, semoga dia (Fir’aun) menjadi ingat akan Allah atau takut. Allah memberikan gambaran kepada Nabi Musa dan Nabi Harun, bahwa ada dua potensi yang bisa didapatkan dengan berkata yang lemah lembut, yaitu agar seseorang bisa ingat terhadap Allah dan segala efek yang ditimbulkan dengan perintah Tuhan dan yang lain akan menjadi takut atas adzab Tuhan kepadanya. Untuk Fir’aun ternyata tidak sadar akan kedhalimannya dan kesesatannya bahkan tidak ada ketakutan atas adzab Allah, dan kemudian akhirnya ditimpa adzab Allah dengan tenggelam di Laut Merah.
Lalu apa kaitan antara generasi milenial, kampanye cawapres dan ungkapan yang lembah lembut dan menyejukkan? Ternyata bahwa generasi muda harus belajar dari para generasi sebelumnya tentang tetap pentingnya menjaga etika di dalam berdebat atau dalam relasi social baik antar sesama generasi milenial atau terhadap generasi yang lebih senior. Para generasi milenial yang belajar berbasis pengalaman, maka sebaiknya juga belajar dari generasi yang lebih senior tentang bagaimana tata krama di dalam perbincangan baik itu diskusi, debat atau pembicaraan non formal. Semua ada etikanya, dan di dalam Islam terdapat sebuah prinsip qaulan layyinan, yang artinya pernyataan yang diungkapkan harus dengan lemah lembut sehingga membuat lawan bicaranya senang dan menyenangkan.
Wallahu a’lam bi al shawab.