DRAMATURGI SIDANG BANK CENTURY
Setelah lama drama yang bertemakan cinta memenuhi negeri ini, mulai dari sinetron remaja yang bertema cinta, infotainment percintaan, lagu-lagu percintaan, tari dan seni percintaan dan juga semua pertunjukan yang bernada cinta, maka sekarang kita disuguhi drama baru melalui media yaitu drama politik. Drama tersebut akhir-akhir ini banyak menghiasi beberapa stasiun televisi. Dan sebagaimana sebuah pertunjukan, maka drama ini pun menghadirkan dunia panggung depan dan belakang, aktor dan berbagai perilakunya, baik yang kocak maupun yang serius, serta penonton yang sukanya berkomentar macam-macam, dan juga penonton yang keras yang menghadirkan kekerasan simbolik di dalam drama ini.
Meskipun saya tidak rajin menonton drama ini, tetapi saya tetap mengapresiasi bahwa memang harus ada tontotan lain di media televisi kita, biar tidak hanya opera sabun yang menyajikan gambaran kemewahan, kesejahteraan, tangisan, kesedihan, kekerasan dan sebagainya yang sering kali justru kelihatan lucu. Tetapi hidup ini memang harus ada yang ditertawakan dan ketika kita bisa mentertawakan sesuatu yang obyeknya jelas, maka sesungguhnya kita masih sehat. Bedanya orang sehat dan gila dalam hal tertawa adalah orang sehat bisa tertawa karena obyek tertawanya jelas, sedangkan orang gila tertawa pada obyek yang tidak jelas. Dan kita tentu harus bersyukur karena ketertawaan kita itu pada suatu obyek yang memang pantas untuk ditertawakan.
Dunia politik itu sarat dengan panggung depan dan panggung belakang, front stage dan back stage. Salah satu teoretisi yang melakukan pengkajian mengenai perilaku manusia dilihat dari dunia dramaturgis adalah Erving Goffmann. Orang sering terkecoh jika hanya membaca perilaku manusia dari panggung depannya saja. Oleh karena itu juga harus dilihat panggung belakangnya. Sehingga jika kita melihat seorang pelacur, juga jangan hanya dilihat dari tampilan depannya saja, tetapi sekali waktu lihatlah tampilan dunia batinnya. Ketika kita melihat perilaku politisi, juga jangan hanya melihat panggung depannya saja, tetapi juga lihatlah panggung belakangnya.
Pertanyaannya, adakah dunia dramaturgis di dalam sidang-sidang panitia khusus (Pansus) DPR untuk Kasus Bank Century. Jawabannya pasti ada. Hanya apakah kita bisa membaca ataukah tidak.
Meskipun samar-samar, tentu kita bisa membaca tentang bagaimana drama politik Bank Century ini tergelar. Dari panggung depan, dan sebagaimana dilihat di layar televisi atau terdengar di radio, bahwa peristiwa ini adalah peristiwa persidangan, di mana ada pemimpin sidang, ada penanya, ada saksi, ada notulen, ada panggung dengan ukuran yang jelas, ada dekorasi, ada tata krama dan sebagainya. Jadi ini memang drama sungguhan. Ada pelaku seperti Ruhut Sitompul, Gayus Lumbuun, Anas Urbaningrum, Idrus Marham, Boediono, Sri Mulyani, Robert Tantular dan sederet nama yang lain yang saya tidak hafal. Lakon ini menjadi menarik disebabkan oleh pelakunya adalah orang-orang top di negeri ini. Ada anggota DPR yang terhormat, ada Wakil Presiden, ada Menteri Keuangan, ada Konglomerat dan sederat jabatan lainnya.
Ada pertanyaan yang tajam, mengadili. Ada pertanyaan konfirmasi, meminta penjelasan. Ada juga pertanyaan yang lucu, agar kita bisa tertawa bukan mentertawakan. Tetapi semua pasti dirancang sesuai dengan skenario yang sudah dibicarakan sebelumnya. Tidak ada sesuatu tanpa skenario. Tidak ada sesuatu dilakukan secara tiba-tiba, semua pasti by design. Direncanakan. Ada yang diskenario agar semuanya menjadi datar-datar saja, tetapi juga sangat mungkin ada yang memang dibidik.
Robert Tantular, misalnya adalah salah satu yang dibidik. Sehingga koran-koran pada pagi harinya lalu mengemukakan komentarnya bahwa Robert Tantular adalah orang yang licik. Ketika giliran Boediono yang menjadi saksi, maka koran-koran lalu menyatakan bahwa ada pesanan agar pertanyaan kepada Boediono, datar-datar saja. Ketika Sri Mulyani selesai diperiksa, maka pagi harinya, koran memberitakan bahwa dia menuding ada kesalahan di Bank Indonesia. Ketika pertanyaannya datar-datar saja, maka dikomentari tim pansus masuk angin. Inilah dunia drama yang penafsirannya sangat ditentukan oleh para penontonnya. Ada penonton yang kritis, ada penonton yang lucu, ada penonton yang keras dan ada juga penonton pasif.
Drama ini memang masih akan berlangsung lama. Meskipun waktunya sudah ditentukan kapan selesainya. Lama dalam pengertian bahwa komentar, tanggapan dan respon penonton atau masyarakat belum akan selesai meskipun sidangnya sendiri selesai. Dan keputusannya juga akan diselesaikan secara politis. Makanya, nanti juga akan diambil keputusan yang resiko politisnya yang paling kecil.
Namun demikian, tentu tetap saja ada hal yang positif dalam penyidangan kasus Bank Century oleh Pansus ini, yaitu pembelajaran politik dan demokratisasi. Dari sisi pembelajaran politik, maka betapa siapapun di negeri ini tidak kebal untuk diperiksa dalam statusnya sebagai pejabat. Boediono, Sri Mulyani adalah orang penting di negeri ini, Wakil Presiden dan Menteri Keuangan. Keduanya harus terlibat sebagai saksi dalam kasus korupsi dan kolusi. Ini sebagai sebuah proses pembelajaran politik yang sangat baik. Kemudian dari sisi demokratisasi maka juga didapati hal yang sangat positif, bahwa di negeri ini, pertanggungjawaban kebijakan publik harus dapat diuji. Selain bahwa transparansi dan check and balance sudah dapat diterapkan.
Jadi, di tengah berbagai komentar “miring” tentang kasus persidangan Bank Century, tetap saja ada hal yang positif yang bisa diketengahkan.
Wallahu a’lam bi al shawab.