• May 2024
    M T W T F S S
    « Apr    
     12345
    6789101112
    13141516171819
    20212223242526
    2728293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

TUGAS MANUSIA UNTUK  MENJAGA KEBAIKAN: THEO-ANTROPOSENTRISME

TUGAS MANUSIA UNTUK  MENJAGA KEBAIKAN: THEO-ANTROPOSENTRISME

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Ada banyak perspektif di dalam melihat kebaikan. Ada beberapa pemikiran filsafati yang mendasari tentang kebaikan. Saya hanya akan membahas tiga saja dari sekian banyak pemikiran filsafat yang mendasari cara orang melihat kebaikan. Tetapi sebelum membahas tentang kebaikan, maka apa sesungguhnya kebaikan itu? Bagi saya, kebaikan adalah pemikiran, sikap dan tindakan seseorang yang mengandung makna tidak merugikan manusia dan alam, serta berada di dalam konteks kemaslahatan.

Dari pengertian ini, maka ada beberapa hal yang perlu dipahami, yaitu: pemikiran yang terkait dengan kemaslahatan, sikap yang terkait dengan kemaslahatan, dan tindakan yang terkait dengan kemaslahatan. Sesuatu yang maslahat pasti tidak merugikan orang lain, tidak merusak alam dan variannya, dan pasti akan memberikan keuntungan bagi kehidupan manusia dan alam. Di dalam kemaslahatan tersebut dipastikan terdapat keseimbangan di dalam menjaga relasi antara alam dan manusia.

Pertama, secara filsafati,  ada kebenaran yang dipandu oleh humanisme. Pandangan humanisme terkait dengan pemahaman, sikap dan tindakan yang memanusiakan manusia. Pandangan yang menjunjung tinggi atas martabat dan harkat manusia. Humanisme menganggap bahwa manusia adalah pusat. Di dalam kajian antropologi disebut sebagai antroposentrisme, atau menempatkan manusia sebagai pusat segala-galanya.

Di dalam kehidupan ini ada orang yang menyatakan bahwa yang penting berbuat baik. Perbuatan baik tersebut tidak harus dikaitkan dengan norma agama atau norma moral yang berbasis agama. Ukuran baik dan buruk ditentukan oleh kegunaannya atau usefulness. Jika sesuatu ada manfaatnya berdasar atas ukuran pandangannya dan diterima oleh masyarakat sekitarnya, maka dianggap sebagai kebaikan. Tidak perduli apakah hal tersebut sesuai atau tidak sesuai dengan ajaran agama. Jika ada yang sama hanya dianggap sebagai kebetulan. Ada banyak orang atheis yang berpandangan dan menjadikan humanisme sebagai pilihan di dalam kehidupannya.

Kedua, secara filsafati, ada kebenaran yang dipandu oleh filsafat materialisme. Pandangan materialisme terkait dengan pemahaman, sikap dan tindakan yang mengagungkan atas kekuatan materi di dalam kehidupan manusia. Materi adalah segala-galanya. Bagi kalangan ini, maka yang baik itu selalu diukur dari aspek materi. Jika mengikuti cara berpikir kaum Marxian, maka yang menentukan perubahan social adalah ekonomi atau yang secara konseptual disebut sebagai economic determinant. Kebaikan itu ditentukan oleh bagaimana kesuksesan seseorang dalam kehidupan ekonomi. Semakin banyak materi, maka semakin baik kehidupannya. Dengan demikian untuk mengukur kebaikan itu akan ditentukan oleh seberapa kekayaan yang dimilikinya. Jadi yang dianggap berhasil adalah orang yang bisa masuk dalam daftar orang-orang kaya baik secara nasional atau internasional. Jumlahnya di dunia hanya satu persen saja.

Ketiga, secara filsafati juga dikenal kebenaran yang dipandu oleh agama. Ada ragam pandangan misalnya theosentrisme. Di dalam konteks ini, theosentrisme merupakan pemahaman, sikap dan tindakan yang menganggap Tuhan adalah segala-galanya. Pandangan serba Tuhan. Jika antroposentrisme beranggapan bahwa serba manusia, maka theosentrisme berpandangan serba Tuhan. Pandangan theosentrisme itu melihat manusia sebagai sesuatu yang pasif dan Tuhan yang aktif. Semua didesain Tuhan, dan manusia hanyalah pelaku saja. Atau dengan kata lain bisa dinyatakan sebagai serba takdir dan manusia tidak memiliki kekuasaan apapun di dalam kehidupan ini.

Di dalam Islamic theology, maka pandangan ini bisa dikaitkan dengan aliran jabariyah atau determisme. Manusia tidak memiliki kekuatan dan kekuasaan apapun, manusia hanyalah pelaku yang menjalankan desain Tuhan. Seseorang berperilaku baik atau buruk itu merupakan takdir yang sudah ditentukan oleh Tuhan. Yang lebih ekstrim, manusia masuk surga atau neraka itu sudah merupakan ketentuannya. Pandangan theosentrisme itu seakan-akan menafikan utusan Tuhan, Nabi dan Rasul, yang diberikan kekuasaan oleh Allah untuk mengajak kepada kebaikan.

Saya berpendapat bahwa diperlukan suatu konsep yang dapat mewadahi kebaikan yang berbasis pada takdir Tuhan dan upaya manusia untuk merealisasikannya. Konsep tersebut adalah theo-antroposentrisme. Kebaikan itu terletak di antara takdir Tuhan dan upaya manusia. Tuhan itu Maha Baik dan penuh dengan kebaikan. Tuhan itu Maha Kasih Sayang dan penuh dengan kasih sayang. Agar manusia berada di dalam kebaikan, maka Tuhan menurunkan Rasul dan banyak Nabi yang bertugas pada komunitas-komunitas di seluruh dunia dengan tugas membimbing manusia di dalam jalan kebaikan.

Di dalam theo-antroposentrisme, maka manusia dapat memilih di antara pilihan yang sudah didesain oleh Allah. Ada pilihan jalan yang baik dan benar serta ada pilihan jalan sesat dan salah. Semuanya sudah diberitakan oleh Rasul dan Nabi-Nabi yang bertugas untuk menjadi pengingat bagi manusia di dalam menjalani kehidupannya. Makanya dikenal ada orang yang baik dan ada orang yang jahat, yang ukurannya adalah bagaimana kehidupan yang bersangkutan didasari oleh etika yang diajarkan oleh Tuhan melalui washilah para rasul dan nabi sesuai dengan teks ajaran agama.

Kebaikan dengan demikian adalah hasil negosiasi antara etika religious dan perilaku manusia. Bisa saja ada kebenaran bagi kaum humanis meskipun tidak mendasarkan pandangannya pada teks suci, namun bagi kaum agamawan, maka kebenaran itu haruslah hasil negosiasi antara kebenaran Tuhan dan kebenaran hasil pemahaman manusia atas kebenaran Tuhan.

Jadi tetap ada negosiasi antara teks dan konteks. Ada negosiasi antara theosentrisme dan antroposentrisme. Dan tugas manusia adalah menjaga agar kebaikan tetap menjadi arus utama di dalam kehidupan.

Wallahu a’lam bi shawab.

 

Categories: Opini
Comment form currently closed..