KONTRADIKSI PSIKHOLOGIS DA’I
KONTRADIKSI PSIKHOLOGIS DA’I
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Seperti biasanya, jika hari selasa, maka saya kebagian untuk memberikan ceramah pada Komunitas Ngaji Bahagia (KNB) yang diikuti oleh Jamaah Masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency dan Masjid Ar Raudhah pada Perumahan Sakura Regency. Pengajian dilaksanakan pada Hari Selasa, 19/12/2023 ba’da Shubuh. Alhamdulillah bahwa acara pengajian berjalan lancar dan yang penting diakhiri dengan sarapan nasi dan gule sapi, yang disediakan oleh Pak Budi dari Perumahan Lotus Regency.
Ada tiga hal yang saya sampaikan di dalam acara kuliah shubuh, yaitu: pertama, ungkapan rasa syukur kepada Allah karena nikmat kesehatan yang diberikannya. Melalui nikmat kesehatan tersebut, maka kita dapat mengikuti shalat jamaah, dzikir berjamaah, mendengarkan ceramah, dan juga silaturrahim. Jadi di dalam satu momentum, ada banyak pahala yang bisa didapatkan oleh seorang muslim karena aktivitas bersama yang dilakukan. Alhamdulillah wa syukru lillah.
Kedua, ceramah ba’da shubuh ini membicarakan tentang bagaimana seorang da’I menghadapi kontradiksi dari makna lafdzi ajaran agama Islam tentang dakwah. Kontradiksi tersebut tentu bukan pertentangan yang saling tidak membolehkan atau satu melarang dan satu membolehkan akan tetapi kontradiksi psikhologis yang bisa dirasakan oleh para da’i di dalam aktivitas dakwahnya.
Saya memahami makna dakwah adalah ajakan langsung maupun tidak langsung agar mitra dakwah melakukan kebaikan sebagaimana pesan di dalam agama Islam. Jika selama ini dakwah itu dimaknai hanya ceramah saja, maka sesungguhnya dakwah memiliki makna yang luas yang terkait dengan ajakan untuk menjadi lebih baik dalam perspektif agama. Ingat bahwa ada kebaikan yang hanya menggunakan perspektif humanisme saja tanpa mengaitkannya dengan ajaran agama, khususnya agama Islam. Jadi akhirnya saya harus berkesimpulan bahwa semua bentuk kebaikan yang didasari oleh ajaran Islam yang bisa didengarkan, dilihat dan dirasakan oleh orang lain adalah dakwah.
Dijumpai statemen di dalam AlQur’an: kabura maqtan ‘indallahi ‘an taqulu ma la taf’alun. Yang artinya kurang lebih adalah: “sebuah dosa besar di sisi Allah, orang yang menyatakan dan tidak mengamalkannya”. Melalui ayat ini, maka Allah memberikan peringatan bagi para penyebar Islam, Da’i atau muballigh bahwa dakwah hanya dapat dilakukan jika orang sudah benar-benar mengamalkan apa yang disampaikannya atau yang didakwahkannya. Jika kita hanya menyatakan dan tidak melakukannya maka ancamannya adalah dosa. Jika kita hanya melihat ayat ini, maka orang akan menjadi takut untuk menyebarkan ajaran Islam. Islam yang disebarkan itu tidak hanya menjadi pengetahuan tetapi harus menjadi amalan.
Namun demikian, di sisi lain juga terdapat anjuran untuk menyampaikan ajaran Islam itu meskipun hanya satu ayat. Ballighu ‘anni walaw ayatan. Yang artinya: “sampaikan dariku meskipun hanya satu ayat. Artinya, seseorang dianjurkan untuk melakukan dakwah sesuai dengan kemampuannya. Meskipun wajib dakwah adalah wajib kifayah atau tidak mengikat orang perorang, sebagaimana wajib ain, akan tetapi tentu mendapatkan kebaikan jika melakukannya. Pada sisi lainnya juga terdapat dalil di dalam Alqur’an Surat An Nahl, 125 yang menyatakan: “ud’u ila sabili rabbika bil hikmati wal ma’idhotil hasanati wa jadilhum billati hiya ahsan”, yang artinya “ajaklah ke jalan Tuhanmu dengan kebijaksanaan dan dengan nasihat yang bijak dan ajaklah berdebat dengan kebijakan atau kebaikan”.
Melalui kontradiksi ini, maka saya sebut di dalam diri da’i terdapat suatu kondisi yang bisa dilabel dengan sebutan kontradiksi psikhologis. Di satu sisi ada kewajiban atau sunnah tetapi di sisi lain terdapat peringatan agar yang disampaikan hanyalah yang dilakukan saja. Di dalam menyikapi hal ini, maka kita harus mengedepankan dimensi kemanfaatan. Tanpa dakwah maka tidak mungkin Islam bisa menyebar sedemikian luas. Memang ada takdir Tuhan untuk beriman atau tidak beriman kepada Allah, akan tetapi untuk menjadi beriman tentu mengharuskan adanya washilah atau perantara dan yang menjadi perantaranya adalah para da’i atau para ulama. Itulah sebabnya Islam menyatakan: “al Ulama warastat al anbiya” artinya: “para ulama adalah washilah atau perantara para Nabi”.
Ketiga, Dakwah dapat dikategorikan dalam empat hal, yaitu: dakwah bil lisan atau bil kalam atau dakwah dengan menggunakan ungkapan atau pernyataan atau ceramah agama, diskusi dan sebagaimana yang bersifat oral. Lalu dakwah bil yad atau dakwah dengan kekuasaan. Dalam konteks ini dakwah dapat menjadi instrument untuk berdakwah, misalnya dengan membuat kebijakan-kebijakan yang bernuansa keagamaan. Kemudian dakwah bilhal atau dakwah dengan keteladanan prilaku atau dakwah dengan materi misalnya sedekah, infaq, membangun lembaga pendidikan, membangun masjid dan segala hal yang terkait dengan kebaikan fisikal maupun non fisikal. Dan juga tidak kalah penting adalah dakwah bil Qalam yaitu dakwah dengan menggunakan media tulisan.
Melalui kategori dakwah seperti ini, maka setiap muslim rasanya memiliki peran dalam berdakwah. Bisa dalam bentuk lesan, bisa dalam bentuk tulisan, bisa dalam bentuk bil hal, dalam bentuk merumuskan dan menetapkan kebijakan. Rasanya, setiap di antara kita bisa melakukannya, hanya dengan intensitas yang berbeda-beda dan kadar yang berbeda-berbeda pula.
Saya berkeyakinan, bahwa semua amalan yang ditujukan kepada orang lain dan di dalamnya terdapat pesan kebaikan langsung atau tidak langsung, maka semua itu adalah dakwah. Dan insyaallah kita semua telah melakukannya.
Wallahu a’lam bi al shawab.