KAFIR: INSYAALLAH KITA TIDAK MASUK DI SINI
KAFIR: INSYAALLAH KITA TIDAK MASUK DI SINI
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Ada yang membanggakan dari pengajian di Komunitas Nagaji Bahagia (KNB), yaitu ngaji ini dipenuhi juga dengan gelak tawa selain berbagai penjelasan tentang agama dan ajaran-ajarannya. Bahkan menurut saya, ngaji gelak tawa ala KNB ini akhirnya menjadi ciri khasnya. Hal-hal yang serius pun bisa disampaikan dengan tertawa dan canda ria. Slogannya adalah minimal tertawa 17 kali. Dan insyaallah kita bisa bahagia karena tertawa sejumlah itu.
Saya akan melanjutkan pembahasan tentang kafir yang sudah dijelaskan pada pekan sebelumnya, 05/12/2023. Pada pembahasan sebelumnya sudah dibahas tentang makna kafir secara sosiologis, artinya bukan sebagaimana para ahli tafsir yang menafsirkan kata kafir, akan tetapi lebih terkait dengan penjelasan-penjelasan rasional sepanjang tidak meninggalkan makna teksnya sendiri. Jangan sampai jatuh kepada penjelasan kaum liberalis yang sering melepaskan diri dari teks yang sesungguhnya sangat penting dan mendasar. Ada tiga hal yang saya jelaskan di dalam tulisan ini.
Pertama, kafir itu menggambarkan akan ketidakpatuhan seseorang atas ajaran agama. Dia tahu agama itu ada dan agama mengajarkan tentang kebaikan individual maupun kebaikan social, namun dia tidak tertarik untuk menjalankan kehidupannya dengan moralitas agama. Mereka ini lebih senang menjalani kehidupannya dengan pedoman yang dianggapnya benar, misalnya mengikuti konsepsi kaum humanis. Saya menjadi ingat pemain bola yang sangat terkenal dari Belanda, Ruud Gullit, pemain yang sangat saya kagumi, yang pernah bermain di AC Milan dengan trio Belandanya, yaitu Ruud Gullit, Marco van Basten dan Frank Rijkard, yang merajai dunia sepakbola klub di Eropa. Ruud Gullit ini adalah orang yang agnostic dan di dalam kehidupannya dipandu oleh pemikiran filsafat humanisme.
Dewasa ini, semakin banyak orang Eropa yang atheis, tidak percaya keberadaan Tuhan. Saya pernah menulis di nursyamcentre.com tentang “Eropa Semakin Tidak Bertuhan”, 14/08/2023, yang berdasarkan survey The World Statistics, bahwa kebanyakan masyarakat di negara di Eropa tingkat kepercayaannya terhadap Tuhan itu di bawah 30 persen. Inggris, Belanda, Swiss, Jerman, Perancis, Spanyol dan lain-lain jumlah yang percaya Tuhan semakin sedikit. Sebaliknya, Indonesia semakin religious sebab 97 persen penduduknya mempercayai eksistensi Tuhan. Kita bersyukur di negeri yang indah dan damai ini dengan penduduknya yang sangat religious. (nursyamcentre.com 10/08/2023).
Kedua, kita hidup di negara yang multicultural dan plural. Jumlah sukunya sangat banyak, jumlah bahasanya juga banyak, selain itu agamanya juga beraneka ragam. Tentu saja kita membutuhkan berkomunikasi atau membangun relasi social dengan semua pemeluk agama. Tidak hanya berkomunikasi dengan sesama penganut agama Islam tetapi juga penganut agama Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu dan bahkan dengan penganut aliran kepercayaan. Disinilah terdapat konteks mengembangkan sikap toleran atau tenggang rasa. Kita boleh merasa benar sendiri atau menyatakan truth claimed, tetapi jangan lupa bahwa di tetangga kita ada yang berkeyakinan lain, beragama lain.
Sebagaimana yang saya jelaskan pada ngaji kemarin, maka kita harus membangun toleransi social tetapi bukan toleransi teologis. Kita boleh membeli dagangan orang China yang beragama Buddha, dan kita boleh meminjam uang dari Bank Syariah tetapi miliknya orang beragama lain. Boleh. Kita boleh bertamu dan bahkan berceramah di Gereja tetapi kita harus bersikap tidak membangun sikap toleransi teologis. Yaitu menyamaratakan ajaran teologis, ritual dan konsekuensi beragama, dan menjadikan satu kesatuan. Yang seperti ini tidak boleh. Jangan. Kita boleh melakukan relasi social dengan mengembangkan sikap saling menghargai dan saling menghormati keyakinan dan ritual agama lain. Lakum dinukum waliyadin. Bagimu agamamu dan bagiku agamaku.
Ketiga, usahakan jangan mengafirkan orang lain apalagi terhadap sesama muslim. Kita jangan sampai terpancing untuk menyatakan orang yang sudah menyatakan asyhadu anla ilaha illahllah wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah kemudian dinyatakan sebagai kafir. Orang yang sudah bersyahadat itu artinya sudah mukmin, sudah beriman kepada Allah SWT. Ada yang memang berhenti pada syahadat saja dan ada yang sudah berlanjut dengan melakukan ritual-ritual keagamaan. Sudah melakukan shalat, zakat, puasa dan bahkan haji. Tentu saja orang yang seperti ini sangat tidak layak dinyatakan sebagai kafir. Jika terdapat perbedaan pandangan atau tafsir atas ajaran agama, tentu hal itu sebagai kewajaran. Bukan hal yang aneh. Yang tahu dengan tepat apakah tafsir ajaran Islam tentu adalah Nabi Muhammad SAW, sedangkan sahabat, tabi’in dan tabiit tabi’in tentu menafsirkan atas ajaran agama sebagaimana yang diceritakan oleh sahabat-sahabat Nabi Muhammad. Antar sahabat Nabi sendiri juga bisa berbeda dalam menafsirkan atas ucapan, sikap dan tindakan Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu tentu tidak tepat jika atas perbedaan ini lalu melabelnya dengan kafir.
Nabi Muhammad SAW pernah menyatakan: “sesungguhnya Rasulullah bersabda: seandainya seseorang mengatakan ‘wahai kafir’ kepada saudaranya, maka tuduhan kafir itu akan kembali kepada salah satu di antara keduanya” (HR. Bukhari). Kiranya hadits ini dapat menjadi pengingat agar kita tidak mudah menberikan label kafir kepada orang lain. Kita harus hati-hati tentang pernyataan tersebut, agar kita bisa selamat.
Jika sekarang ini, terutama di media social, maka jangan kita ikutan dengan ungkapan yang mengandung ungkapan takfiri ini. Ucapan yang mengkafirkan atas orang lain. Misalnya menyatakan bahwa Islam Nusantara itu lebih kafir dari orang kafir. Pernyataan ini seperti ini tentu mengandung bias yang menyesatkan. Islam Nusantara itu hanya labeling untuk menggambarkan mengenai Islam yang barada di wilayah Nusantara, yang tentu saja tetap memiliki rujukan teologis, ritual dan akhlak yang sesuai dengan Islam di Timur Tengah. Yang berbeda hanya cabang-cabangnya saja atau masalah furu’iyah.
Dengan demikian, kita tentu berharap bahwa umat Islam di Indonesia akan lebih arif dan bijaksana dalam menyikapi perbedaan dan tidak selalu menyatakan yang berbeda dengan kelompoknya sebagai kaum bid’ah, kaum kafir dan sebagainya. Semoga Allah SWT menyelamatkan bangsa Indonesia dari disharmoni yang disebabkan truth claimed tafsir yang berlebihan.
Wallahu a’lam bi al shawab.