PERTUNJUKAN KEADILAN SEMU DI INDONESIA
Baru saja pertunjukan saling umpat di lembaga terhormat, pansus Bank Century, DPR, tergelar antara Ruhut Sitompul dan Gayus Lumbuun, maka kemudian tersaji pula pertunjukan tentang Artalyta “Ayin” Suryani, seorang narapidana kasus kolusi, menempati ruang “mewah” di Rumah Tahanan Pondok Bambu, Jakarta. Kejadian ini terungkap setelah Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum melakukan inspeksi mendadak di Rumah Tahanan, Ahad, 10 Januari 2010. Artalyta Suryani memang ditakdirkan untuk selalu menjadi berita utama di media.
Persoalan ini mungkin saja tidak akan pernah terungkap, seandainya tidak ada satu tim yang dibentuk oleh pemerintah untuk menangani mafia hukum pasca kasus cicak lawan buaya yang terjadi beberapa saat yang lalu. Satuan tugas ini memang baru bekerja di awal Januari ini dan ternyata bisa memperoleh temuan yang “luar biasa”, yang kira-kira saja sudah menjadi bagian dari tradisi dunia rumah tahanan di negeri ini.
Sebagaimana laporan Tempo, 11-17 Januari 2010, bahwa Ayin memang orang hebat, bahkan dikatakan sebagai Ratu Lobi. Kehebatan Artalyta yang pengusaha tersebut dapat dilihat dari jejaringnya yang sangat luas dan berkualitas. Tidak hanya para pengusaha yang memang dia berada di situ, tetapi juga pejabat bahkan presiden. Kehebatan itu tentu saja bisa dilihat dari kemampuannya untuk melakukan lobi ke berbagai elit. Yang menarik tentu saja adalah keterlibatannya untuk menjadi Bendahara PKB, partai yang didirikan oleh Gus Dur. Meski dia mengaku beragama Budha, tetapi jaringan keberagamaannya melampaui agamanya itu. Konon dia bertemu dengan Jaksa Urip Tri Gunawan di gereja. Kita tentu tidak tahu, apakah kepergian Ayin ke gereja untuk tujuan ibadah atau untuk kepentingan berkenalan dengan Urip. Bahkan, konon katanya, Ayin juga yang mempertemukan Gus Dur dengan SBY pada tahun 2004, ketika SBY mencalonkan diri sebagai presiden berhadapan dengan Mega. Ketika itu, SBY diterpa isu bahwa isterinya, diberitakan beragama Kristen. Padahal sesungguhnya, Ibu Kristina beragama Islam. Untuk menepis isu itu, maka SBY harus bertemu Gus Dur. Artalita kemudian yang menfasilitasi pertemuannya. Tentu saja pantas, sebab waktu itu Artalyta menjadi bendahara PKB.
Pertunjukan di negeri ini tentu belum akan berakhir. Kasus Bank Century justru memasuki hari-hari penting. Kita belum tahu bagaimana akhir pertunjukan ini. Apakah akan happy ending atau akan sebaliknya. Pansus tentu saja sudah bekerja sesuai dengan tupoksinya. Para pejabat juga sudah memberikan jawaban sesuai dengan lakonnya masing-masing. Namun tentu saja masih ada pertanyaan sisa, apakah dominasi politik masih berkuasa, ataukah dunia politik yang selama ini sangat powerfull akan bisa direduksi oleh fakta lapangan. Pagelaran lewat Pansus Bank Century akan membuktikannya. Kemudian juga pengadilan yang akan membuktikannya.
Ketika kasus Bank Century masih dalam proses penyidikan, ternyata juga tersaji kasus lain yang membuat wajah peradilan menjadi kusut. Kisah Ayin tentu saja menarik, sebab apa yang tersaji di hadapan kita adalah bagaimana para nara pidana ternyata bisa melakukan sesuatu yang sama dengan orang yang memiliki kebebasan penuh. Nara pidana yang semestinya memiliki kebebasan yang terbatas, ternyata tidak berlaku bagi orang-orang yang memiliki kemampuan plus. Kita semua tentu menduga, bahwa banyak orang yang seperti Ayin ini. Ayin hanyalah salah satu representasi dari pelayanan istimewa yang diberikan kepada orang yang memiliki kemampuan plus dimaksud.
Inilah gambaran wajah buruk dunia peradilan kita. Ternyata apa yang pernah disampaikan oleh Donald Black, bahwa hukum lebih luwes ke atas ketimbang ke bawah atau hukum lebih keras ke bawah daripada keatas adalah sebuah kenyataan di negeri ini. Ketika Donald Black merumuskan formula teoretiknya tersebut tidaklah melihat betapa banyak kasus seperti ini di negara-negara berkembang lainnya. Tetapi ternyata bahwa kasus seperti ini bisa menjadi fenomena umum yang terjadi di negara berkembang. Kasus di Indonesia ini juga menggambarkan bahwa persoalan reformasi hukum belumlah selesai.
Reformasi hukum memang masih menjadi persoalan setelah 11 tahun perjalanan reformasi. Di instansi yang menjadi penyangga hukum, ternyata reformasi tersebut belumlah memenuhi rasa keadilan yang didambakan masyarakat. Terbukti dengan masih kelabunya wajah peradilan kita hingga dewasa ini. Kasus Urip, kasus Bibit dan Candra, kasus Ayin, kasus Anggodo dan sederet kasus lainnya masih memberikan gambaran bahwa ada sesuatu yang macet dengan reformasi hukum. Makanya, semoga usaha yang dilakukan oleh Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum akan dapat menjadi penyangga bagi proses reformasi hukum di Indonesia.
Wallahu a’lam bi al shawab.