SEGENGGAM KEKUASAAN LEBIH PENTING DIBANDING SEKARUNG EMAS
SEGENGGAM KEKUASAAN LEBIH PENTING DIBANDING SEKARUNG EMAS
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Anekdot ini disampaikan oleh Kyai Syarifuddin Wafa, seorang narasumber pada acara halaqah Politik Sunan Bonang dalam acara Tour de Wali yang diselenggarakan oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Gedung Grand Javanila, Tuban, 07/09/2023. Acara ini dihadiri oleh Menteri Ketenagakerjaan Dr. Ida Fauzia, DPR Pusat Ratna Juwita Sari, dan sejumlah pimpinan PKB baik pusat, wilayah dan cabang Tuban. Hadir juga para Kyai, di antaranya Kyai Cholilurrahman, Kyai Mohammad Fauzan, dan sejumlah kyai dan pengurus NU Cabang Tuban.
Anekdot ini, menurut Kyai Wafa adalah ungkapan yang disampaikan oleh Kyai Cholil, guru saya, di dalam banyak kesempatan. Kyai Cholil menyatakan bahwa memiliki kekuasaan itu lebih penting di dalam percaturan kemasyarakatan, pemerintahan dan kenegaraan. Selain ungkapan ini, juga disampaikan bahwa pemimpin itu harus memiliki moral yang bagus, memiliki kedekatan dengan masyarakat dan memberikan solusi atas masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakatnya.
Saya dan Kyai Wafa didapuk sebagai narasumber di dalam acara ini. Tentu posisi saya adalah sebagai akademisi yang memberikan gambaran secara realistis tentang bagaimana politik Kanjeng Eyang Sunan Bonang di dalam kancah social politik pada masanya. Saya sampaikan tiga hal yang mendasar terkait dengan acara Sarasehan Tour de Wali.
Pertama, kita harus selalu bersyukur kepada Allah atas kenikmatan yang diberikan oleh Allah kepada kita. Bisa sehat dan bisa hadir pada acara penting ini merupakan bagian dari rahmat Allah SWT kepada kita semua. Kita bisa menjadi umat Islam tentu juga merupakan kenikmatan Allah yang tiada taranya. Betapa banyak di dunia ini, orang yang tidak bisa menjadi muslim meskipun kebenaran ajaran Islam itu telah sampai kepadanya. Ada yang menjadikan Islam hanya sebagai ilmu pengetahuan sehingga tidak tergerak hatinya untuk menjadi muslim atau tidak mendapatkan hidayah dengan ilmu keislamannya, dan ada yang belajar Islam lalu menjadi muslim dan ada yang menjadi muslim seperti kita. Menjadi Islam dulu dan baru belajar tentang Islam.
Kedua, sebagai akademisi, saya mengapresiasi atas upaya yang dilakukan oleh Cak Imin. Betapa lamanya Cak Imin berupaya untuk menjadi tokoh di negeri ini. Baliho pencalonannya sebagai Presiden Republik Indonesia sudah sangat lama dipampangkan. Terkadang bahkan menggunakan baliho dengan latar Panglima Santri. Semenjak tahun 2013 balihonya banyak menghiasi jalan-jalan utama di Republik ini. Di kota, di desa dan seluruh pelosok Nusantara terdapat namanya di dalam Baliho yang didirikannya.
Ketiga, PKB berusaha merenda masa lalu, yaitu melalui Tour de Wali. Upaya yang dilakukan sebagai konsekuensi sebagai warga nahdhiyin yang memang menyukai ziarah wali. Terutama para walisanga di Jawa. Secara historis, Islam hadir di Jawa di kala Kerajaan Majapahit berada di ujung kehilangan pamornya sebagai kerajaan besar. Majapahit sedang mengalami masa powerless. Negara tanpa kekuasaan. Yang dimiliki hanyalah kekuasaan simbolik dan bukan kekuasaan realistic. Nama kerajaan dan rajanya masih ada, tetapi otoritas kekuasannya sudah sangat menurun. Di saat seperti ini, maka muncullah Islam sebagai agama baru yang menawarkan ajaran keselamatan, kedamaian dan kerukunan, maka lambat tetapi pasti penduduk Jawa yang beragama Hindu Buddha lalu beralih ke agama Islam.
Jika ditelusur secara historis, maka Islam datang di Jawa sebelum tahun 1082 (wafatnya Fathimah binti Maimun) atau bersamaan dengan kekuasaan Kahuripan dengan rajanya Airlangga. Para saudagar Islam dan ahli tasawuf kemudian secara silih berganti masuk ke Nusantara, dan pada awal abad 14 para wali tersebut membangun organisasi kewalian, yang disebut sebagai walisanga. Walisanga merupakan kumpulan para Wali penyebar Islam di Nusantara, khususnya di Jawa. Pada tahun 1478 M Kerajaan Majapahit runtuh dan kemudian digantikan dengan Kerajaan Demak dengan rajanya Raden Fatah. Titik kulminasi penyebaran Islam terjadi pada era umat Islam telah memiliki kerajaan dengan kekuasaannya yang besar. Jadi ada tiga tahap di dalam proses penyebaran Islam, yaitu dakwah melalui individual, ke dakwah kelembagaan dan kemudian dakwah melalui kerajaan atau kekuasaan.
Jadi, proses penyebaran Islam melalui kekuatan individual ke kerajaan tersebut membutuhkan waktu selama empat abad. Tentu merupakan waktu yang lama, sebab yang dihadapi adalah para pemeluk agama yang sudah mengakar kuat dan memiliki tokoh-tokoh agama yang sangat mapan. Sunan Bonang misalnya pertama kali berdakwah di Kediri harus berhadapan dengan para tokoh agama, misalnya melawan Buto Locaya dan Nyai Plencing, penganut ajaran Bhairawa dan pertarungan dimenangkan oleh Sunan Bonang. Kemudian Sunan Bonang berdakwah di Tuban dan dakwahnya menyebar sampai ke Pulau Bawean, bahkan ke Bali dan Nusa Tenggara. Sunan Bonang hidup pada pertengahan abad ke 15 (lahir 1465).
Berdasarkan penelitian tentang para waliyullah di Tanah Tuban, maka didapati realitas bahwa pada abad ke 16, Tuban sudah menjadi daerah muslim terbukti dari banyaknya waliyullah yang makamnya terdapat pada hampir semua desa di Tuban. Ada sebanyak 193 waliyullah yang berdakwah di daerah Tuban dan mereka memiliki keterkaitan genealogis. Dari penelitian tentang “Tuban Bumi Wali The Spirit of Harmony: Melacak Jejak dakwah Waliyullah” (2022) bahwa Tuban merupakan daerah awal Islam di wilayah Jawa bagian Timur. Kira-kira usia Islam di Tuban itu nyaris sama dengan Islam di Gresik.
Melihat pola dakwah para Walisanga tersebut memberikan kesimpulan bahwa dakwah harus memasuki kekuasaan. Jika dakwah Islam tidak memasuki kekuasaan, maka proses dakwah akan mengalami kelambatan. Oleh karena itu, jika dakwah hanya selalu berada di luar kekuasaan, maka Islam tidak akan menjadi ruh bagi penyusunan kebijakan dan tidak akan bisa menjadi instrument bagi pembangunan kesejahteraan umat.
Itulah sebabnya menjadikan kekuasaan sebagai sarana untuk mewujudkan politik Islam menjadi penting. Bukan Islam politik yang menginginkan terbangunnya khilafah, akan tetapi menjadikan Islam sebagai etika dalam membangun umat. Islam menjadi ruh bagi terciptanya masyarakat yang sejahtera di dalam koridor NKRI dengan dasar negara Pancasila, dan kebinekaan sebagai bagian kehidupan masyarakat Indonesia.
Jadi yang diperlukan adalah bagaimana memenangkan umat Islam dalam percaturan politik agar umat Islam dapat menjadi pemain dan bukan hanya menjadi penonton. Dan ini semua tergantung kepada kesadaran kita untuk berjuang berdasarkan atas pilihan rasional bahkan pilihan suprarasional. Jadikan keduanya sebagai piranti untuk menjadi pemain di negeri sendiri.
Wallahu a’lam bi al shawab.