MENJADI PEMILIH CERDAS UNTUK INDONESIA KE DEPAN
MENJADI PEMILIH CERDAS UNTUK INDONESIA KE DEPAN
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Tema ngaji di Komunitas Ngaji Bahagia pada Masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency Ketintang Surabaya akhir-akhir ini juga terkait dengan politik. Tentu tidak bertujuan untuk mengarahkan pada pilihan atas capres atau cawapres tertentu, akan tetapi dikaitkan dengan pilihan-pilihan rasional sejauh yang bisa dilakukan. Maklumlah bahwa komunitas ini memang terdiri dari orang-orang yang terpelajar dan telah memiliki pengalaman tentang kehidupan termasuk dalam mengikuti berbagai pilihan umum atau pemilu, baik pada Pilkada maupun pilpres.
Pada pelaksanaan mengaji Selasanan, pada 19/09/2023, maka secara sengaja saya memilih tema tentang “Menjadi Pemilih Cerdas Untuk Indonesia ke Depan”. Tema ini saya pilih untuk memberikan gambaran bahwa hanya dengan pemilih cerdas saja, maka masa depan Indonesia akan dapat dipertanggungjawabkan. Jika di Indonesia itu mayoritas pemilihnya adalah orang-orang yang cerdas, maka masa depan NKRI tentu akan lebih baik. Mimpi atau visi di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang dikenal sebagai empat pokok pikiran, yaitu: mencerdaskan kehidupan bangsa, melindungi segenap warga negara, mewujudkan keadilan sosial dan menciptakan perdamaian abadi tentu bukan hanya tertulis di dalam teks akan tetapi menjadi kenyataan. Jika kita menginginkan terwujudnya empat pokok pikiran ini, maka tentu negara ini harus dipimpin oleh orang yang tepat.
Di dalam perhelatan memilih presiden dan wakil presiden, tahun 2024, maka tiga hal yang harus dipertimbangkan, yaitu: pertama, menghindari politik uang. Sudah lazim di dalam berbagai pemilihan, baik pilpres, pilkada atau pemilihan DPR/DPRD, maka telah menjadi rahasia umum dengan ungkapan wani piro. Intinya, berani berapa agar pilihan itu dijatuhkan kepada siapa yang dituju. Jadi pilihan akan diarahkan kepada siapa yang bayar. Siapa yang bisa membayar lebih tinggi maka dialah yang akan dipilih. Inilah yang disebut sebagai politik plutokrasi atau negara yang dikuasai oleh orang kaya. Siapa yang memiliki uang dialah yang akan menguasai negara atau menguasai politik.
Secara empiris money politics telah menjadi tradisi di dalam berbagai pilihan. Bahkan semua yang berkaitan dengan pilihan maka di sana akan didapatkan adanya politik uang dimaksud. memang politik uang itu seperti kentut. Dirasakan baunya tetapi tidak diketahui barangnya. Politik uang itu seperti tuyul. Makhluk halus yang diyakini oleh masyarakat khususnya di Jawa sebagai makhluk yang tidak kasat mata tetapi dapat mengumpulkan uang dalam jumlah besar. Ada banyak orang kaya yang kemudian diduga memelihara tuyul. Ada banyak macam cara orang untuk memperoleh kekayaan di dalam keyakinan Jawa, misalnya babi ngepet. Semuanya tidak dapat dibuktikan secara empiris tetapi diyakini keberadaannya. Politik merupakan peristiwa empiris sehingga harus juga didekati secara empiris, di antaranya adalah dengan menolak uang sogok, uang suap atau pemberian berupa uang di dalam proses politik.
Kedua, gunakan akal sehat untuk memilih. Kita bersyukur memiliki kemampuan untuk memilah dan memilih. Kita diberikan oleh Allah peralatan akal yang lengkap. Tidak hanya kemampuan rasional, yang memberikan solusi untung dan rugi, tetapi juga diberi kemampuan emosional yang mempertimbangkan setiap pilihan prilaku atau tindakan dengan berbasis pada pilihan hati. Hati Nurani itu merupakan suara dari dalam yang dipandu oleh etika dan pedoman kebaikan dari ajaran agama. Kita juga diberikan oleh Allah kemampuan sosial atau sosial intelligent sebuah kemampuan untuk merasakan baik buruknya tindakan atau prilaku berbasis pada rasa kemanusiaan. Jika kita melakukan kebaikan pada orang lain maka kita bahagia, dan jika kita melukai hati orang lain maka kita menjadi menderita. Dan yang tidak kalah penting bahwa kita diberikan oleh Allah sebuah karunia yang besar ialah spiritual intelligent atau perasaan ketuhanan yang bersumber dari roh kita yang memang berasal dari Allah SWT.
Melalui kemampuan yang lengkap tersebut, maka manusia akan dapat memilih mana yang paling anfa’ atau paling bermanfaat. Bukankah Islam mengajarkan khairun nas anfa’uhum lin nas, sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya. Jika kita memilih pemimpin yang benar berbasis dengan empat kecerdasan tersebut artinya kita sudah memilih untuk kebaikan bagi diri, komunitas dan masyarakat Indonesia.
Ketiga, pilihlah yang terbaik di antara yang baik. Pilihlah yang baik di antara yang kurang baik. Kita semua harus berkeyakinan bahwa di antara capres dan cawapres tersebut pasti ada yang lebih baik. Di antara capres dan cawapres tersebut tentu tidak semuanya sempurna atau tidak semuanya bernilai sangat baik atau baik, akan tetapi hendaknya dipilih pasangan yang masih memiliki kebaikan, yang memiliki kemandirian di dalam melihat problem bangsa. Ada juga yang secara religious lebih baik, atau ada juga yang memiliki prinsip terpercaya dan jujur. Kita meyakini bahwa untuk memimpin bangsa yang besar ini memang diperlukan kekuatan fisik dan batin yang baik. Oleh karena itu hendaknya juga dipilih yang kekuatan batinnya sangat memadai dan hal itu dapat dilihat pada prilaku religiositasnya. Kita meyakini sebuah asumsi bahwa orang yang religiusitasnya baik, tentu berpeluang memiliki prilaku yang baik di dalam kehidupan. Selain itu juga capres dan cawapres yang tidak diragukan keindonesiaannya, dengan prinsip menegakkan Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Kebinekanaan.
Tentu kita semua sudah memiliki preferensi siapa di antara capres dan cawapres tersebut yang sesuai dengan kehendak dan keinginan kita. Kita sudah memiliki pilihan berdasar atas pilihan rasional tetapi jangan lupa juga mendasarkan pada pilihan supra rasional. Dan Islam sudah memberikan instrumennya yaitu dengan shalat istikharah.
Wallahu a’lam bi al shawab.