• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

POLITIK ITU NEGOSIASI

POLITIK ITU NEGOSIASI

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Komunitas Ngaji Bahagia, bisa juga disingkat dengan KNB, memang sekelompok orang atau jamaah Masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency yang memiliki kesadaran untuk saling berbagi dalam apa saja, tidak hanya persoalan agama tetapi juga aspek social, ekonomi hingga politik. Berbagi dan Bahagia. KNB ini saya kira sudah cukup eksis sebab telah berjalan selama 1,5  tahun semenjak Covid-19 telah reda. Mulai  awal tahun 2022. Pengajian dilaksanakan setiap selesai shalat Subuh pada hari Selasa, sehingga juga bisa disebut “Pengajian Selasanan”.

Pada Selasa, 05/09/2023, pengajiannya terkait dengan perkembangan politik akhir-akhir ini yang memang menarik untuk dibicarakan oleh siapa saja. Termasuk KNB.  Yang  menjadi pemantik diskusi adalah Pak Mulyanta, Ketua RW 08 Kelurahan Gayungan  Surabaya. Pak Mulyanta termasuk orang yang sering terlibat di dalam kegiatan-kegiatan politik, karena menjadi salah satu tim relawan Calon Presiden. Sengaja tidak saya sebutkan tim relawan siapa.

Pak Mul, begitu biasa anggota KNB memanggilnya, menyatakan bahwa politik itu seharusnya tetap menjaga etika. Meskipun tujuannya untuk mencari kemenangan, akan tetapi tetap harus mengedepankan etika. Ada etika berpolitik. Di dalam politik itu harus tetap ada nilai-nilai yang dijadikan sebagai pedoman untuk berpolitik. Di dalamnya harus ada penghargaan atas komitmen yang sudah dibangun secara bersama. Beberapa hari yang lalu, Pak Anis telah melakukan deklarasi di dalam pencalonan presiden dan wakil presiden. Pak Anis telah memilih Cak Imin sebagai calon wakil presiden.

Hal ini yang kemudian menimbulkan tanda tanya, bahwa telah terjadi masalah etika politik. Berdasarkan berita-berita yang kita dengar dan baca bahwa pengusung koalisi perubahan, yang terdiri dari Partai Nasdem, PKS dan Partai Demokrat telah mengikat kesepakatan akan mengusung Pak Anis Baswedan sebagai Presiden dan salah satu usulan Partai pengusung koalisi untuk menjadi wakil presiden. Dari PKS misalnya Aher dan dari PD misalnya AHY. Ternyata Pak Surya Paloh ketua Partai Nasdem secara sepihak memilih Cak Imin, Ketua PKB, sebagai calon wakil presiden.

Di sinilah terjadi kisruh di dalam koalisi. Makanya Pak SBY lalu menyebutkan telah terjadi pengkhianatan atas komitmen di dalam koalisi. PD dengan Pak SBY dan AHY sangat menyesalkan atas Tindakan melakukan pengambilan keputusan secara sepihak yang dilakukan oleh Pak Anis, Pak Surya Paloh dan Partai Nasdem. Dari sini kemudian memunculkan istilah berpolitik harus tetap menjadikan nilai atau norma yang menghargai komitmen kebersamaan. Jadi harus tetap mengedepankan etika politik.

Seperti biasanya, maka saya memberikan tambahan komentar atas apa yang dinyatakan oleh Pak Mul tersebut. Ada tiga hal yang saya sampaikan, yaitu: pertama, sekarang ini ada kecenderungan yang kuat untuk mengekspresikan agamanya. Di mana-mana kita jumpai perilaku beragama yang semakin menguat. Ada dorongan yang kuat dari berbagai factor yang menyebabkan semakin menguatnya pemahaman dan pengamalan beragama. Karena factor media social, maka terdapat kecenderungan di kalangan masyarakat untuk beragama dalam coraknya yang tekstual atau kontekstual. Yang tekstual dipengaruhi oleh para pendakwah semacam kaum Salafi dan yang kontekstual dipengaruhi oleh para pendakwah di kalangan Islam ahli Sunnah wal jamaah. Kalangan Salafi lebih suka menyebut dirinya sebagai Ahlu Sunnah saja tanpa jamaah. Makanya, kala agama mereka di buli, maka sontak terjadi ledakan informasi untuk membuli balik. Pertanyaannya, apakah pemahaman dan pengamalan beragama itu berkorelasi dengan pilihan politik. Hal  ini yang masih kabur. Dalam pandangan kaum Islamis, maka ada figure yang disebut sebagai individu yang memusuhi agama.

Kedua, politik itu adalah negosiasi. Jadi yang penting adalah negosiasi yang melalui proses panjang atau pendek dan menghasilkan keuntungan secara bersama. Oleh karena itu yang terjadi adalah negosiasi yang smooth atau yang hard. Di dalam konteks misalnya koalisi perubahan yang digagas oleh Nasdem, PKS dan PD yang berakhir dengan kekecewaan PD atas pemilihan Cak Imin, maka ini bisa dikategorikan sebagai negosiasi yang keras. Bisa saja terjadi adanya ketidaksepakatan, sehingga ada yang mengambil jalan ketiga. Dan ketepatan yang mengambil jalan ketiga adalah pemilik suara terbesar dari pemilu sebelumnya, yaitu Nasdem dengan Surya Paloh sebagai pimpinannya. Jadi, fatsun politik itu tidak perasaan tetapi kepentingan. Ketemunya kepentingan itulah yang menjadikan partai yang berbeda bisa bertemu.  Jadi memang harus dikalkulasi betul tentang berbagai scenario yang bisa menggagalkan kebersamaan di dalam koalisi. Dan pada akhirnya, PD harus gigit jari dan terpaksa harus hengkang dari koalisi perubahan yang sudah digagas bersama.

Ketiga, ada yang menarik dari masuknya Cak Imin sebagai pendatang di dalam koalisi perubahan, sebab begitu masuk di dalamnya melalui negosiasi ternyata  langsung mendapatkan posisi sebagai calon wakil presiden, yang sesungguhnya juga sangat diminati oleh PD dan PKS. Meskipun PKS tidak hadir di dalam deklarasi di Hotel Majapahit Surabaya, tetapi belum tentu PKS akan hengkang dari koalisi perubahan. Tentu akan menghitung secara cermat apa yang didapatkannya jika terlibat di dalam  koalisi lain atau membuat poros baru. Sekali lagi bahwa negosiasi akan menjadi jalan utamanya. Sebagai contoh, wakil presiden itu ekivalen dengan berapa jabatan Menteri. Hal ini tentu ada hitungannya.

Tetapi yang lebih penting adalah koalisi antara Nasdem, PKS dan PKB. Koalisi di tingkat provinsi dan kabupaten sudah biasa terjadi, namun di dalam koalisasi nasional dalam system pemerintahan demokratis merupakan hal baru. Selama ini terdapat simbolisasi bahwa PKB adalah partai yang basis konstituennya adalah kalangan ahli sunnah wal jamaah yang memiliki paham dan pengamalan beragama yang bersearah dengan tradisi-tradisi local, sehingga dianggap tidak lagi mengamalkan ajaran agama yang murni. Sementara itu PKS adalah partai dengan basis konstituen yang terdiri dari kalangan Salafi Wahabi yang pada akar rumput sering benturan, sebab kalangan Sunnah sering menyatakan amalan kaum ahli sunnah wal jamaah sebagai amalan yang mengandung Tahayyul, Bidh’ah dan Churafat (TBC). Benturan ini relative keras terutama diperparah dengan media social.

Jika koalisi ini benar-benar terjadi, maka hal ini akan menjadi isu yang menarik di kalangan ahli ilmu social-politik, sebab akan dapat menghasilkan konsep yang tidak lagi bertumpu pada demarkasi hitam putih, ahli sunnah versus ahli sunnah wal jamaah atau antara PKS versus PKB atau antara FPI, HTI versus NU. Peristiwa akhir-akhir ini mengingatkan tulisan saya tahun 1990-an tentang “Jarak Ideologi Partai Politik di Indonesia”. Di dalam tulisan itu saya nyatakan bahwa jarak ideologi partai politik di Indonesia itu tidak tegas, tidak sebagaimana di Pakistan, Irak dan sebagainya. Di Indonesia itu meskipun ideologinya bisa berbeda-beda akan tetapi basis keindonesiaannya masih lebih dominan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Comment form currently closed..