MUSIBAH, TAKDIR DAN TAWAKKAL
MUSIBAH, TAKDIR DAN TAWAKKAL
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Manusia sungguh makhluk yang lemah dalam kaitannya dengan pengetahuan tentang apa yang akan terjadi ke depan. Manusia tidak memiliki seperangkat pengetahuan untuk mencandra masa depan. Yang diketahui adalah masa lalu. Sesuatu yang sudah dialami atau diketahui saja yang bisa dijelaskan sementara apa yang akan terjadi besuk manusia tidak kuasa memahaminya. Di sinilah keterkaitan antara musibah, takdir dan tawakkal.
Inilah kata kunci dalam ceramah Selasanan, 22/08/2023, yang biasa dilakukan pada Masjid Al Ihsan, Perumahan Lotus Regency. Acara ini dilakukan ba’da shalat shubuh setelah membaa Surat Al Waqi’ah dan doa. Acara ini merupakan agenda Masjid Al Ihsan yang diikuti oleh jamaah shalat Shubuh dalam durasi waktu 45 menit. Jam 05.00 sampai jam 05.45 WIB. Komunitas Ngaji Bahagia ini sudah berjalan selama tiga tahun, dan acara ini tentu diharapkan akan terus berlangsung sebagai sarana untuk “watawa shaubil haq wa tawa shaubish shabr”.
Di dalam acara ini saya menjelaskan tiga hal, dalam kaitannya dengan salah satu ayat Alqur’an yang menjelaskan tentang relasi antara musibah, takdir dan tawakkal. Ayat tersebut berbunyi: “Qul lay yushibana illa ma kataballahu lama huwa maulana wa ‘alallahi fal yatawakkalil mu’minun”. Yang artinya: “katakanlah: tidak sekali-kali akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah pelinduang kami, dan hanya kepada Allah orang-orang beriman harus bertawakkal”. (Alqur’an, At Taubah: 51).
Pertama, Jika kita pahami ternyata ada beberapa aspek mendasar dari ayat ini, yaitu adanya mushibah, adanya ketentuan Allah, sesuatu yang telah tertulis atau takdir, dan tawakkal bagi orang mu’min. mushibah secara tekstual berarti kejadian. Namun demikian di dalam Bahasa Indonesia diserap artinya sebagai sesuatu yang negative atau kejadian yang tidak dikehendaki. Musibah lebih dimaknai sebagai kejadian yang tidak mengenakkan, tidak menyenangkan dan bahkan menyengsarakan. Jadi, mushibah dimaknai sebagai sebuah kejadian yang sung-sungguh tidak diharapkan. Kejadian adalah istilah generik untuk menggambarkan terjadinya sesuatu yang menimpa atau mengenai manusia.
Kedua, segala sesuatu yang terjadi di dunia sudah terdapat catatannya. Di dalam konteks ini disebut sebagai takdir atau ketentuan Tuhan yang bersifat azali. Semua yang terjadi di dunia ini sudah terdapat catatannya semenjak 50 juta tahun sebelum diciptakan alam dan segala isinya. Percaya kepada takdir Tuhan adalah bagian dari rukun iman. Siapapun yang beragama Islam harus meyakini keberadaan takdir Tuhan yang akan berlaku bagi manusia. Kapan kita hidup, kapan kita mati, siapa jodoh kita, bagaimana rezeki kita sudah ada takarannya. Hanya saja ada takdir yang mu’allaq atau tergantung dan ada yang mubram atau pasti. Yang mu’allaq misalnya adalah yang terkait dengan usaha. Terjadinya perubahan pada kehidupan manusia di dunia termasuk takdir yang mua’allaq. Sedangkan kematian adalah takdir yang pasti. Setiap yang hidup akan menemui kematian, dan kapan kematian itu datang sangat tergantung kepada kepastian Tuhan. Tidak ada yang tahu kapan kematian tersebut akan datang kepada manusia.
Ada istilah yang menarik misalnya menjemput takdir. Maknanya bahwa takdir tentang usaha atau kerja dan hasilnya itu dapat diupayakan. Kepastian seseorang akan memiliki rezeki merupakan takdir Tuhan, akan tetapi hasil dari rezeki dapat ditentukann oleh upaya yang dilakukan. Di dalam tradisi Jawa disebutkan ono pakon ono pakan artinya bahwa jika seseorang melakukan sesuatu baik atas inisiatif sendiri atau atas inisiatif orang lain, maka didapatkan rewardnya atau hasilnya. Besar kecilnya hasil dapat bergantung kepada usahanya.
Ketiga, tawakkal atau pasrah atas hasil yang didapatkan. Tidak setiap usaha dipastikan ada hasilnya. Terkadang sudah usaha semaksimal mungkin ternyata hasilnya tidak optimal. Sudah bekerja keras dengan mempertimbangkan semua variable yang menyebabkan keberhasilan, akan tetapi hasilnya tidak optimal. Inilah yang sering disebut sebagai factor X. sebuah factor yang ternyata di luar nalar dan perhitungan manusia. Semua strategi telah diupayakan realisasinya, akan tetapi ternyata ada hal yang tidak diperhitungkan dan menggagalkan rencana yang sangat terukur.
Di sinilah Islam mengajarkan agar berdoa. Selain orang sudah berusaha, maka selayaknya juga berdoa. Bahkan doa dapat memegang atau menjadi kata kunci penting. Saya menyatakan bahwa doa memiliki kapasitas 60 persen, sedangkan usaha itu kapasitasnya 40 persen. Manusia tidak boleh merasa bahwa usahanya dipastikan berhasil, akan tetapi harus tetap berdoa untuk kesuksesannya, dan jika semua sudah dilakukan, maka akan menerima apa yang didapatkannya, dan di sinilah kita harus pasrah kepada-Nya. Allahlah yang akhirnya menjadi penentu akan kegagalan atau keberhasilan usaha yang dilakukan.
Wallahu a’lam bi al shawab.