BERSYUKURLAH MENJADI ORANG INDONESIA
BERSYUKURLAH MENJADI ORANG INDONESIA
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Mengapa kita harus bersyukur sebagai bangsa Indonesia? Ada apa sesungguhnya? Pertanyaan-pertanyaan ini patut untuk dikemukan apalagi dalam konteks peringatan 78 Tahun Kemerdekaan Indonesia yang jatuh pada hari Kamis, 17 Agustus 2023. Saya tentu akan membahasnya dari perspektif agama dan masyarakat, sebagai bagian dari kajian yang selama ini saya tekuni.
Pertanyaan ini sesungguhnya muncul pada saat pengajian rutin Selasanan pagi bada Shubuh di Masjid Al Ihsan Perumahan Lotus Regency Ketintang Surabaya, 14/08/2023. Pertanyaan ini terkait dengan masih kuatnya keyakinan orang Indonesia atas keberadaan Tuhan dan sangat sedikit yang tidak percaya keberadaan Tuhan, sementara itu di Eropa justru sebaliknya. Dewasa ini semakin banyak orang yang tidak percaya Tuhan atau bisa dinyatakan sebagai atheis.
Berdasarkan Survey yang dilakukan oleh The World of Statistic 2022, bahwa negara dengan tingkat terbesar percaya kepada Tuhan adalah Indonesia sebesar 97 persen, dan disusul oleh Turkey dengan 91 persen. Sementara di Eropa misalnya di Italia, sebagai pusat ajaran Katolik, maka keyakinan adanya Tuhan tinggal 50 persen dan sisanya adalah kaum atheis atau sekurang-kurangnya tidak yakin Tuhan itu ada. Di Eropa Barat jauh lebih parah lagi. Di Inggris, Jerman, Perancis, dan lain-lain justru yang percaya kepada Tuhan berada di bawah angka 30 persen. Maka, Eropa sedang menuju menjadi negara atheis. Inilah yang menyebabkan kita bersyukur karena masyarakat Indonesia itu masyarakat yang sangat religious. Masyarakat yang meyakini bahwa ada kekuatan Tuhan dibalik alam semesta ini.
Besarnya keyakinan atas keberadaan Tuhan itu tentu saja terkait dengan lingkungan social, di mana kita ada atau di mana kita dilahirkan. Inilah yang menyebabkan kita harus bersyukur kepada Allah terlahirkan yang tanpa keinginan kita untuk lahir di Indonesia. Kita lahir di Bumi Pertiwi Negara Republik Indonesia. Saya yang lahir pada tanggal 7 Agustus 1958, kini sudah 65 tahun, bersyukur karena lahir pada jam dan hari Indonesia. Seandainya saya lahir pada jam yang berbeda saja, maka saya akan lahir di Afghanistan atau Irak atau Suriah. Karena saya lahir pada jam yang bertepatan di Indonesia, maka saya lahir di Indonesia dan menjadi warga negara dan bangsa Indonesia. Terlepas dari takdir Tuhan yang saya harus lahir dari Rahim Ibu saya dalam pernikahannya dengan Bapak saya. Takdir itu telah tertulis di Alam Roh, 50 juta tahun alam roh, yang tidak bisa diprediksi berapa lamanya.
Berdasarkan teori ilmu sosial, paradigma Perilaku Sosial, maka manusia itu dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya. Kita lahir di Indonesia, dari orang tua di Indonesia, yang ketepatan beragama Islam, maka saya menjadi Islam semenjak lahir. Begitu lahir langsung diperdengarkan adzan dan iqamah. Pertama kali lahir ke dunia sudah diperdengarkan nama Allah yang maha besar. Itulah sebabnya kita dapat beragama Islam karena keadaan lingkungan kita. Bahkan seandainya kita lahir dari Rahim orang Buddha atau Hindu dan lahir kita di Bali, maka kita akan menjadi beragama Hindu. Jadi, lingkungan memiliki pengaruh yang besar di dalam kehidupan kita.
Sebagai umat Islam kita tentu bersyukur atas karunia Tuhan terbesar di dalam kehidupan ini, sebab semenjak bayi hingga hari ini kita masih menjadi penganut agama Islam yang setia. Kita tetap meyakini keberadaan Allah dan juga sekuat-kuatnya menjalankan perintah Allah. Tidak ada di dalam hati sedikitpun untuk mengingkari keberadaan Allah. Bagi kita Allah itu wujud, ada. Allah itu kekal. Allah itu yang awal tiada awalnya dan yang akhir tiada akhirnya. Allah itu berbeda dengan makhluk. Keyakinan itu telah terpateri semenjak kita belajar di Masjid, di Sekolah dan pengajian-pengajian mulai di masa kecil hingga sekarang.
Semua ini terjadi bukan tanpa sebab, bukan tanpa musabab. Kita dapat menjadi umat Islam adalah berkat perjuangan para pendahulu kita, para waliyullah. Tanpa kehadiran mereka di Bumi Nusantara pada awal abad ke 11-18, maka kita tidak akan menjadi umat Islam. Dan terus sampai sekarang para ulama, kyai dan ustadz terus mendedangkan adanya keyakinan kepada Allah, kapan dan di manapun. Inilah keuntungan kita di Indonesia.
Para waliyullah, yang dikenal sebagai Walisanga, adalah penyebar Islam di Nusantara. Mereka berdakwah pada saat pemerintahan akhir Majapahit, dan sukses untuk mengislamkan Jawa dan juga mengislamkan Nusantara. Melalui ikhtiar, doa dan dakwahnya tersebut, maka masyarakat Nusantara bisa menjadi umat Islam. Masyarakat Indonesia dapat menjadi umat beragama. Oleh karena itu, jika kita tidak bersyukur atas semua ini, maka rasanya kita telah mengingkari upaya-upaya Islamisasi yang dilakukan oleh leluhur kita.
Kita bersyukur bahwa Islam masih dominan di Indonesia. Dengan angka prosentase sebesar 87 persen umat Islam di Indonesia, maka menempatkan Indonesia sebagai negara dengan umat Islam terbesar di dunia. Perkembangan Islam dalam performance keislaman juga terus membaik. Berkat organisasi NU dan Muhammadiyah dan lain-lain yang sepaham dengan Islam moderat atau Islam rahmatan lil alamin, maka dinamika relasi antar umat beragama juga sangat baik. Nyaris tidak kita jumpai konflik social yang didasari oleh keyakinan beragama.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Wapres, Prof. Dr. KH. Ma’ruf Amin, pada waktu Pembukaan Raker Ikatan Pesantren Indonesia (IPI) di Surabaya, 11-13/08/2023, bahwa ulama internasional di bawah koordinasi Grand Syekh Al Azhar pernah datang ke Indonesia dengan menyatakan bahwa Indonesia adalah masa depan Islam. Dinyatakannya jika di masa lalu itu kitab berbahasa Arab diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, maka ke depan haruslah Kitab Berbahasa Indonesia diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab. Indonesia adalah contoh toleransi dan kerukunan umat beragama.
Kenyataan seperti ini yang mengharuskan kita bersyukur kepada Allah SWT sebab karunia menjadi orang Indonesia ternyata karunia terbesar di dalam kehidupan kita, baik sebagai individu, anggota keluarga dan anggota masyarakat, negara dan bangsa.
Wallahu a’lam bi al shawab.