BERPIKIR LALU BERDZIKIRLAH
BERPIKIR LALU BERDZIKIRLAH
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Banyak di dalam ayat-ayat Alqur’an yang memberikan gambaran agar manusia berpikir tentang ciptaan Allah. Bahkan secara tegas juga dinyatakan agar manusia berpikir tentang ciptaan Allah dan tidak berpikir tentang dzat Allah. Berdasarkan teori “batas akal”, maka manusia memiliki keterbatasan yang tidak bisa dilampauinya adalah keterbatasan untuk mengetahui tentang apa dibalik alam atau secara lebih spesifik apa yang ada dibalik tembok rumah. Jika kita tidak memiliki pengalaman sebelumnya, maka kita tidak akan mengetahuinya.
Meskipun manusia diberikan kelengkapan inteligensi, akan tetapi tetap saja tidak bisa melampaui batas kemanusiaannya. Yaitu tidak mengetahui apa yang akan terjadi. Manusia hanya berkemampuan untuk mengetahui apa yang sudah terjadi atau telah menjadi pengalamannya. Memang ada orang-orang khusus yang bisa mengetahui apa yang akan terjadi akan tetapi hal itu merupakan perkecualian dan jumlahnya tentu tidak banyak. Ada orang yang bisa menyibak apa yang ada di balik sebuah peristiwa. Hanya orang yang memiliki kedekatan khusus dengan Allah saja yang bisa melakukannya.
Di dalam Alqur’an banyak dijumpai kalimat yang memberikan peringatan kepada manusia untuk berpikir atas ciptaan Allah, misalnya ungkapan “afala tatafakkarun atau afala ta’qilun”. Dua-duanya memberikan gambaran agar manusia berpikir tentang ciptaan Allah dan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia. Diungkapkan agar manusia berpikir tentang bagaimana Allah menciptakan alam, bagaimana Allah mengatur alam, bagaimana Allah menciptakan manusia dan makhluk-makhluk Tuhan lainnya.
Sebagai perumpamaan misalnya Allah menjelaskan tentang bagaimana langit ditinggikan, bumi dihamparkan, gunung ditegakkan, dan alam diedarkan. Termasuk bagaimana manusia diciptakan dari segumpal darah dan hewan diciptakan serta ketiadaan kesia-siaan atas penciptaan Allah semuanya. Bahkan Allah menjadikan bulan, matahari, siang dan malam sebagai bagian untuk meyakinkan manusia tentang ciptaannya tersebut.
Di dalam Surat, Asy Syams, ayat 1 sampai 7 dinyatakan dengan tegas: “wasy syamsi wa dhuhaha, wal qamari idza talaha, wan nahari idza jallaha, wal laili idza yaghsyaha, was samai wa ma banaha, wal ardhi wa ma thahaha, wa nafsiuw wa ma sawwaha”. Yang artinya: “Demi matahari dan sinarnya pada pagi hari, demi bulan apabila mengiringinya, demi siang apabila menampakkannya, demi malam apabila menutupinya (gelap gulita), demi langit serta pembinaannya (yang menakjubkan) dan demi bumi serta penghamparannya dan demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaann) nya”.
Allah SWT mengarahkan akal manusia untuk memahami ciptaan-Nya. Akal manusia diajaknya untuk berselancar memahami bagaimana Allah menjadikan surya dengan sinar di pagi harinya, dan bulan yang mengiringi waktunya, menjadikan malam yang gelap gulita, menjadikan malam dengan sinar kegelapannya, dan menjelaskan bumi yang dihamparkan serta jiwa manusia yang diciptakannya. Ayat yang menjelaskan agar manusia berpikir tentang kejadian alam yang tidak sia-sia akan tetapi memiliki makna bagi kehidupan manusia.
Ayat-ayat dalam Surat Makiyyah atau yang diturunkan di Mekkah, sebelum Nabi Muhammad hijrah ke Madinah, kebanyakan mengungkapkan tentang iman berbasis pada pemikiran atau kejadian alam. Kejadian alam tersebut digunakan untuk memahami tentang keberadaan Allah sebagai dzat yang mencipta.
Manusia diminta oleh Allah untuk berpikir sebagai instrument untuk meyakinkan akan imannya kepada Allah. Dan kala iman itu sudah tertancap berdasar atas pemikirannya, maka Allah juga mengingatkan agar manusia mengingatnya dengan ungkapan apakah engkau tidak mengingatnya atau afala tatadzakkarun. Manusia diminta untuk berdzikir atau mengingat tentang Tuhannya, Allah SWT. Oleh karena itu, Islam memberikan instrument kepada manusia untuk mengingat Allah dengan bacaan-bacaan yang diungkapkan secara langsung di dalam Alqur’an atau diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW melalui sunnah-sunnahnya. Bahkan juga para ulama yang melakukan upaya untuk memberikan pedoman tentang dzikir kepada Allah.
Bukankah di dalam Islam terdapat banyak instrument untuk berdzikir, misalnya kalimat tauhid yang memiliki makna yang sangat mendalam bagi kehidupan manusia. Sebuah kalimat kepasrahan, ketundukan, kepatuhan dan pengabdian kepada Allah SWT. Sebuah kalimat yang mengesakan Allah dan meyakini kenabian Nabi Muhammad SAW. Jika ditipologikan maka ada tiga hal terkait dengan dzikir yaitu: pertama, doa atau permohonan kepada Allah tentang segala kebaikan, keselamatan dan kebahagiaan. Melalui permohonan tersebut manusia menginginkan agar kehidupannya selalu berada di dalam kebaikan, keselamatan dan kebahgaiaan. Kedua, doa dan permohonan kepada Allah agar dijauhkan dari ketidakbaikan, kejahatan dan kesengsaraan. Manusia selalu berdoa agar dijauhkan dari marabahaya, perilaku jahat dan neraka yang diyakini sebagai tempat siksaan. Ketiga, pujian kepada Allah SWT, yang berupa kalimat untuk menyucikannya, mengagungkannya, memujinya, dan bersyukur atas segala kenikmatannya.
Demikianlah Allah mengajarkan kepada manusia untuk berpikir atas semua ciptaan Allah yang selalu memiliki makna bagi kehidupan manusia, dan juga kemudian mengajarkannya agar manusia mengingatnya. Tidak berhenti kepada berpikir akan tetapi juga mengingat atas keagungan, kesucian dan segala puja dan puji hanya kepadanya.
Wallahu a’lam bi al shawab.