KALA SALAFI WAHABI “MELARANG” DZIKIR PANJANG
KALA SALAFI WAHABI “MELARANG” DZIKIR PANJANG
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Komunitas Ngaji Bahagia memang bisa menjadi salah satu medium untuk saling memahami bagaimana selayaknya kita mengamalkan ajaran agama. Kita bisa melakukan anatomi atas pengamalan ajaran agama tanpa harus secara rumit-rumit memahaminya, misalnya dengan pendekatan fiqih yang tidak semua orang memahaminya. Islam yang sederhana, yang berusaha untuk memahami agama dengan semangat yang sesuai dengan kapasitas ibadah yang bisa dilakukan. Hari Senin, 26/06/2023, kita bicarakan hal tersebut.
Ngaji Bahagia tersebut bertepatan dengan program tahsinan Al qur’an dalam ayat Al Balad, pada ayat yang ke 13 sampai ayat ke 16. Setelah Ustadz Alif al hafidz menjelaskan arti dari ayat dimaksud, maka saya dimintanya untuk memberikan komentar. Secara etimologis, maka ayat tersebut berarti: “(yaitu) melepaskan perbudakan (hamba sahaya), atau memberi makan pada hari terjadi kelaparan, (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau orang miskin yang sangat fakir. Ayat ini ada kaitannya dengan ayat sebelumnya (ayat 12) yang mempertanyakan tentang “dan tahukan kamu apakah jalan yang mendaki dan sukar itu? Jawabannya pada ayat 13-16 tersebut.
Saya memberikan penjelasan tentang jalan rumit dan mendaki dengan solusi memerdekakan budak, memberikan makan pada anak yatim dan orang miskin itu susah dilakukan karena keegoan kita. Sebagai manusia yang mencintai harta, maka kita menjadi sulit untuk berbagai. Meskipun Islam sudah menjelaskan bahwa sebagian kecil harta itu ada hak bagi orang fakir dan miskin serta anak-anak yatim, akan tetapi tangan kita tetap dengan kuatnya mencengkeram atas harta yang kita miliki. Seakan bahwa harta itu sungguh milik kita. Semua lupa bahwa harta tersebut hanya titipan Allah yang sekali waktu bisa melayang. Bahkan hilang tidak berbekas. Tentu kita masih ingat cerita Qarun, Kapitalis awal, yang kemudian terbenam di bumi karena kekikirannya, meskipun dia sangat kaya raya.
Islam mengajarkan tentang keseimbangan. Kita diminta oleh Allah untuk bekerja keras. Kita diminta untuk beribadah yang kuat. Harus ada keseimbangan di antara keduanya. Jangan hanya bekerja keras saja untuk dunia, tetapi melupakan dzikir yang panjang untuk kepentingan akhirat. Ajaran keseimbangan inilah yang diajarkan Islam. Kita melakukan shalat, zakat, puasa dan amalan yang baik. Termasuk di dalamnya adalah melakukan dzikir. Dzikir bisa dilakukan dengan panjang, tetapi juga boleh dengan pendek. Semuanya adalah pilihan sesuai dengan kapasitas dan kemampuan kita.
Saya sampaikan salah satu di antara yang bisa dilakukan adalah dengan membaca surat Al Ikhlas. Kita bisa melakukannya. Di masa lalu, saya bisa membacanya dalam jumlah yang cukup. Di kala sedang mengerjakan tugas-tugas yang besar, seringkali kita dekat dengan Tuhan. Kita bisa bertaqarrub kepada Allah karena tugas-tugas yang kita lakukan. Tetapi di saat tugas kita kecil saja, maka hal-hal yang terkait dengan pendekatan kepada Allah itu lalu berkurang. Memang manusiawi. Sebagaimana kajian psikhologi agama, bahwa di kala orang sedang menghadapi masalah, maka yang diingatnya adalah Allah, akan tetapi di kala senang terkadang Allah itu dilupakan, meskipun tidak hilang sama sekali.
Berdasarkan tradisi yang kita terima dari para kyai di kalangan Islam ahlu sunnah wal jamaah, maka ada banyak dzikir yang kita baca dalam jumlah tertentu. Misalnya membaca Surat Al Ikhlas sebanyak puluhan kali atau bahkan ada yang ratusan kali. Bacaan atas Surat Al Ikhlas yang sedemikian disukai Kanjeng Nabi Muhammad SAW karena merupakan amal kebaikan yang tiada taranya. Bayangkan Sayyidina Ali itu melamar Sayyidatina Fathimah binti Rasulullah dengan bacaan surat Al Ikhlas tiga kali tersebut. Begitulah kehebatan Surat Al Ikhlas, surat yang intinya mengesakan Allah SWT. Surat di dalam Alqur’an yang menyatakan keesaan Allah atau ketauhidan yang tinggi.
Ada seorang jamaah tetap Komunitas Ngaji Bahagia, Pak Hardi, yang menyatakan bahwa pernah mengamalkan bacaan surat Al Ikhlas dalam jumlah yang banyak. Tetapi kemudian dilarang oleh seorang Salafi yang menyatakan bahwa bacaan surat Al Ikhlas dalam jumlah banyak tidak ada dasarnya di dalam Islam. Semenjak itu lalu saya berhenti. Demikian pula cerita Pak Suryanto, yang juga menyatakan bahwa kala membaca bacaan wirid-wirid yang panjang maka dinyatakan oleh Kaum Salafi tidak ada tuntunannya di dalam Islam. Jadi yang diamalkannya untuk membaca dzikir-dzikir dalam jumlah yang banyak lalu dihentikan.
Tetapi Pak Suryanto juga menyatakan bahwa pernah juga mendapatkan pencerahan dari orang NU yang menyatakan bahwa membaca dzikir yang panjang adalah upaya untuk melakukan kebaikan. Upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sebagai upaya, maka tidak ada salahnya kala kita membacanya. Sama halnya dengan orang yang bekerja keras, maka peluang untuk mendapatkan yang lebih juga pasti ada, sedangkan yang usahanya sedikit juga peluangnya mendapatkan sedikit.
Dari uraian tersebut, kemudian saya jelaskan dengan bahasa empiris tentang bagaimana para ulama, para waliyullah dan para cerdik pandai dalam Islam melakukan ibadah yang seakan-akan dianggap berlebihan. Kita mengikuti pandangan yang netral saja. Tidak melarang juga tidak mewajibkan. Membaca wirid itu intinya adalah perbuatan untuk memuja dan memuji Gusti Allah. Membaca wirid yang panjang adalah bagian dari iyyaka na’budu. Kepada-Mu Ya Allah kami menyembah, kami berserah diri, kami memuja-Mu. Bisa jadi ada amalan Nabi Muhammad SAW yang tidak diceritakan oleh Aisyah RA, yang merupakan ibadah yang khusus terkait dengan kenabiannya.
Lalu ada orang atau ulama, kyai atau waliyullah yang berusaha untuk menyingkap tabir atas upaya dzikir atau wirid dengan upayanya yang sangat serius. Maka kemudian ditemukan rumus misalnya dzikir tahlil atau la ilaha illallah sebanyak 165 kali. Itu adalah rumusan yang ditemukannya setelah melampaui proses panjang dalam beribadah kepada Allah. Jadi bisa terdapat sejumlah orang yang melakukannya dan ada sejumlah orang yang tidak melakukannya. Sama dengan halnya, ada yang berislam dengan berjenggot dan tanda hitam didahi. Tetapi juga ada yang tidak memilih bertanda Islam seperti itu.
Hal ini merupakan pilihan, sebab di dalam Islam sebagaimana Imam Ghazali menyatakan bahwa ada lima hukum Islam yang selayaknya dijadikan sebagai pedoman. Ada yang wajib, ada yang sunnah, ada yang mubah, ada yang makruh dan ada yang haram. Membaca surat Al Ikhlas tentu pasti bukan haram dan juga bukan makruh. Tetapi bisa mubah, sunnah tetapi juga bukan wajib. Membaca Surat al Ikhlas merupakan membaca Kitab Suci dan mendapatkan pahala. Maka dipastikan hukumnya adalah sunnah. Sedangkan yang tidak dilarang dan tidak diwajibkan adalah mubah atau kebolehan. Jadi dipastikan boleh dilakukan membaca Surat Al Ikhlas dalam jumlah yang bisa dilakukan.
Dengan demikian, melarang membaca Surat Al Ikhlas dalam jumlah tertentu, saya kira berlebihan, seakan-akan Islam itu hanya mengenal dua hukum saja yaitu haram dan wajib. Oleh karena itu, bagi yang menyukai bacaan-bacaan Al qur’an surat apapun silahkan, berapa jumlahnya juga terserah. Yang terpenting kita meyakini bahwa di sana ada kebenaran dan kebaikan yang hanya Allah saja yang berhak menilainya.
Wallahu a’lam bi al shawab.