• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

FENOMENA WISUDA: SEHARUSNYA UNTUK SARJANA

FENOMENA WISUDA: SEHARUSNYA UNTUK SARJANA

Prof. Dr. Nur Syam, MSi

Beberapa hari yang lalu, saya diwawancarai oleh Radio Suara Surabaya, 19/06/2023,  tentang fenomena wisuda yang diselenggarakan oleh sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah atas (SMA). Fenomena ini menarik untuk dicermati terkait dengan status wisuda tersebut dari sisi pendidikan dan juga  dimensi ekonomis. Sebagaimana dipahami bahwa kegiatan-kegiatan semacam wisuda tersebut tentu dibebankan kepada orang tua atau wali siswa meskipun dengan pembayaran tidak ke  sekolah tetapi lewat kesepahaman antar orang tua atau wali siswa.

Masyarakat Indonesia itu masyarakat yang latah. Artinya, kala satu lembaga pendidikan melakukannya, maka yang lain mengikutinya. Begitulah secara berantai kemudian nyaris semua sekolah melakukannya. Tidak hanya melakukannya di sekolah,  akan tetapi di rumah makan, bahkan hotel. Macam-macam modusnya. Ada yang menggunakan tema kesenian, perpisahan dan sebagainya. Ramai-ramai.

Di dalam upacara itu didesain sebagaimana wisuda sarjana. Lengkap dengan toga dan ada yang menggunakan jas lengkap. Tidak hanya sekolah di perkotaan tetapi juga sekolah di pedesaan. Kalau tidak melakukan wisuda seperti sayur kurang garam. Bahkan ada di antaranya yang menganggap pagelaran wisuda itu sebagai prestasi. Makanya, sekolah pada berlomba-lomba menyelenggarakan wisuda dengan keunikannya.

Secara kronologis, upacara wisuda semula justru dilakukan oleh Taman Pendidikan Al Qur’an atau TPQ. Jika seorang siswa TPQ sudah dinyatakan lulus kitab standart baca Al qur’an sampai jilid terakhir dan sudah lancar membaca Al Qur’an sesuai dengan standart kelulusan, maka dilakukanlah wisuda. Tidak jarang orang tua memasang foto putra-putrinya di rumah. Di ruang tamu. Biasanya lengkap dengan toga dan pakaian wisuda ala wisuda mahasiswa lulusan strata 1, 2 atau 3.

Kemudian ada beberapa lembaga pendidikan setara  SD yang melakukannya dan kemudian terus setingkat SMP danSMA. Akhirnya wisuda menjadi salah satu mata acara yang dilakukan oleh lembaga pendidikan Dasar dan Menengah serta Pendidikan Anak Usia Dini dan Taman Kanak-Kanak. Merebaknya kasus wisuda pada sekolah-sekolah tersebut, akhirnya memantik pelarangan yang dilakukan oleh pemerintah, misalnya Wali Kota Surabaya.

Wisuda itu identic dengan pencapaian akademis pada jenjang pendidikan tinggi, baik untuk program sarjana atau Strata 1, Pendidikan magister atau Strata 2 dan Pendidikan doctor atau Strata 3. Jadi yang memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan wisuda dengan pakaian khas adalah lembaga pendidikan tinggi. Memang yang menjadi dasar adalah dimensi historis. Tetapi yang jelas bahwa wisuda tersebut terkait dengan pengakuan atas ketercapaian atau achievement atas prestasi seorang mahasiswa. Orang yang diwisuda merupakan orang yang sudah mencapai derajad pendidikan tinggi, bisa dalam level Pendidikan strata sarjana, magister atau doctor.

Yang sungguh agak memprihatinkan adalah aspek pembiayaan wisuda. Banyak lembaga pendidikan yang melakukan wisuda di hotel atau rumah makan. Padahal pembiayaannya murni ditanggung oleh orang tua atau wali siswa. Jika seperti ini maka tentu akan memberatkan pada ekonomi orang tua atau wali siswa. Jika selama ini, untuk kepentingan pelepasan siswa dilakukan secara sederhana yang dilakukan di sekolah, maka dengan menyelenggarakannya di hotel atau rumah makan tentu akan menjadi beban tersendiri.

Di tengah kehidupan ekonomi yang tidak baik-baik saja, maka seharusnya semua pihak bisa melakukan “penghematan” dalam konteks tidak memberikan beban lebih kepada orang tua atau wali siswa. Dalam kata lain, orang tua bisa membiayai pendidikan anak-anaknya saja sudah merupakan keuntungan. Meskipun sudah terdapat Bantuan Operasional Sekolah (BOS) atau Kartu Indonesia Pintar (KIP), akan tetapi tetap saja orang tua memberikan sumbangan pembiayaan bagi anak-anaknya.

Belum lagi kemudian akan menimbulkan social prejudice, sebab ada sekolah yang siswa-siswanya berasal dari klas menengah ke atas, sehingga bisa memberikan sumbangan yang signifikan untuk pembiayaan pendidikan, dan ada anak yang datang dari keluarga yang berekonomi kelas menengah ke bawah. Bagi mereka ini yang terpenting adalah bisa menyekolahkan anaknya. Makanya jika kemudian diperlukan biaya yang lebih, maka tentu akan membebani ekonomi keluarga kelas bawah.

Sesungguhnya kita berharap bahwa lembaga pendidikan kita semakin arif dalam menyikapi atas kekuatan ekonomi masyarakat Indonesia, yang di dalam realitasnya masih banyak yang berstatus ekonomi klas bawah, sehingga di dalam menyelenggarakan acara apapun tentu juga harus mempertimbangkan keberadaan mereka ini.

Janganlah kita melakukan hal-hal yang di dalam konsepsi  pendidikan tidak memberikan sumbangan signifikan bagi peningkatan kualitas pendidikan, dan apalagi hanya untuk memperkuat penampilan luar saja, bahwa lembaga pendidikan bisa melakukan wisuda di tempat yang mewah.

Sungguh diperlukan kearifan bagi kita semua di tengah masih lemahnya perekonomian masyarakat sebagai akibat Covid-19 yang di dalam banyak hal menyebabkan semakin banyaknya masyarakat Indonesia yang berada di dalam kemiskinan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

Categories: Opini
Comment form currently closed..