MEMPERKUAT IMAN DI TENGAH PENETRASI MEDIA SOSIAL
MEMPERKUAT IMAN DI TENGAH PENETRASI MEDIA SOSIAL
Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Iman tentu terkait dengan keyakinan akan keberadaan yang gaib. Di antara yang gaib itu yang terpenting adalah tentang keberadaan Tuhan atau Allah SWT. Semua umat Islam harus percaya atau yakin bahwa Allah SWT adalah Tuhan yang pasti ada meskipun keberadaannya tersebut barada di dalam kegaiban. Artinya Dzat Tuhan itu ada tetapi manusia tidak mampu untuk melihatnya, kecuali Nabi Muhammad SAW yang diyakini pernah bertemu dengan Allah SWT. Berdasarkan keyakinan di dalam agama Islam maka juga dinyatakan bahwa orang yang masuk surga akan bisa bertemu dengan Allah SWT. Tentu saja akal manusia tidak bisa membayangkan tentang bagaimana pertemuan dimaksud.
Allah sudah menggariskan bahwa manusia hendaknya berpikir tentang ciptaan Allah dan tidak berpikir tentang dzat Allah. Bahkan para ahli teologi atau ilmu ketuhanan juga tidak dapat menjelaskan tentang bagaimana Dzat Allah SWT. Manusia dengan kemampuan tertinggipun tidak akan mampu untuk menjelaskan tentang eksistensi Tuhan apalagi Dzat Tuhan tersebut.
Iman merupakan urusan keyakinan. Artinya bahwa manusia harus meyakini tentang dunia kegaiban yang tidak dapat diobservasi. Tuhan hanya dapat diyakini eksistensinya dan tidak pernah diketahui keberadaan dan wujudnya. Itulah sebabnya menurut para ahli sosiologi agama, bahwa Tuhan itu adalah misteri yang tidak dapat dipahami dengan akal semata. Tuhan merupakan misteri kehidupan manusia yang paling asyik dicarinya. Dan sepanjang sejarah kemanusiaan, maka manusia terus mencari untuk menemukan Tuhan. Dan berakhir pada dua sisi kehidupan: ada yang menemukan Tuhan berbasis pada ajarannya dan ada yang tidak berhasil menemukan karena ketidakmampuan untuk memahaminya.
Orang awam dalam beragama, sebagaimana kebanyakan umat Islam, tentu yang terpenting adalah meyakini bahwa Allah itu ada. Dan tidak perlu bertanya apa dan bagaimana Allah itu. Percaya saja. Lalu sebagai konsekuensi kepercayaannya itu, maka kita sedapat-dapatnya menjalankan ajaran agama dengan sebaik-baiknya. Mungkin saja juga dengan pengamalan agama yang belum optimal. Tetapi yang penting bahwa syarat dan rukun untuk melakukannya sudah terpenuhi.
Sebagaimana yang saya sampaikan di dalam ceramah di Masjid Al Ihsan, 13 Juni 2023, saya nyatakan bahwa insyaallah kita sudah menjadi bagian dari ashabul yamin. Berita gembira dari Allah SWT bahwa orang yang sudah beriman dan menjalankan ajaran agamanya, maka bisa masuk dalam kategori golongan kanan. Sedangkan perkara kita akan menjadi bagian dari sepertiga yang awal akan masuk surga atau sepertiga yang akhir masuk surga itu merupakan hak prerogatifnya Allah. Kita pasrah kepada Allah dengan tetap berharap semoga kita memperoleh rahmat Allah untuk bisa menjadi penghuni surga.
Kita sekarang hidup dalam dunia media sosial yang hiruk pikuk. Dunia media sosial itu seperti mall atau pasar raya. Apa saja ada. Mau hiburan, mau mendengarkan pengajian, mau mendengarkan orang baca Alqur’an, mau melihat pertandingan olah raga, mau mendengarkan music, mau mendengarkan lawakan, dan sebagainya. Kita mau mendengarkan ungkapan yang menyejukkan atau ungkapan yang menyakitkan juga ada. Oleh karena itu, jika kita ingin berselancar dalam dunia media sosial maka kita akan mendapatkan semuanya. Namun demikian, yang justru penting adalah memilah mana yang baik dan memilih mana yang bermanfaat. Unggahan yang berisi pembunuhan karakter, bullying, hoaks, pornografi, pornoaksi, unggahan kebencian dan sebagainya seharusnya jangan dilihat. Anehnya, unggahan yang mengandung dimensi seksualitas justru menuai banyak viewer. Di sinilah arti pentingnya melakukan pemahaman atas konten media sosial mana yang bermanfaat dan mana yang tidak. Dari sini akan bisa diketahui tingkat kedewasaan atau literasi media tersebut sudah dimiliki atau belum.
Yang paling krusial di dalam menghadapi media sosial adalah bagaimana mempertahankan keimanan kita kepada Allah. Apakah semakin kuat atau goyah. Sekarang ini banyak sekali muatan media sosial yang mengacak-acak keyakinan kita tentang agama. Ada yang datang dari sesama saudara Islam yang mengharubirukan informasi tentang ketuhanan misalnya dengan ungkapan-ungkapan berbasis tafsir atas ketauhidannya. Misalnya mengenai Tuhan yang memiliki tangan, wajah, duduk di arsy dan lainnya. Tuhan memiliki jisim sebagaimana terdapat di dalam teks Alqur’an. Selama ini kita, kaum ahli sunnah wal jamaah, berkeyakinan bahwa teks tersebut dapat ditafsirkan dengan pemahaman yang lebih luas, misalnya tangan ditafsirkan dengan kekuatan atau kekuasaan, wajah diterjemahkan dengan kekuatan atau kekuasaan, Tuhan turun dalam sepertiga malam diterjemahkan dengan keberkahan dan sebagainya. Bukan hanya ini, misalnya dengan alasan ingin kembali ke Alquran dan Sunnah, maka semua amalan agama yang tidak sesuai dengan tafsirannya dianggap sebagai kesesatan atau dhalalah, bahkan dikafirkan.
Unggahan di media sosial ini tentu akan bisa berpengaruh terhadap pemahaman keagamaan. Ada yang menjadi ragu dengan pemahaman beragama selama ini, ada yang berubah dengan luar biasa perubahannya dan ada yang tetap teguh dengan paham beragamanya yang lama, tidak bergeser sedikitpun. Di sinilah paham kita tentang agama sedang dipertaruhkan.
Kita tentu berharap di tengah asupan konten media sosial yang bermacam-macam tersebut, kita akan tetap memiliki keyakinan tentang paham keagamaan sebagaimana yang diajarkan oleh para ulama ahlu sunnah wal jamaah. Apapun unggahan orang lain yang menggugat pemahaman beragama, tetapi kita harus tetap berada di dalam keyakinan yang selama ini menjadi pegangan mendasar.
Tetaplah di dalam agama Islam dengan keyakinan dan peribadahan yang diajarkan dari generasi ke generasi berikutnya oleh para ulama Islam ala ahlu sunah wal jamaah. Genggamlah Islam yang memberikan keteduhan dan bukan pertengkaran.
Wallahu a’lam bi al shawab.